Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yujiro Hayami dalam sebuah tulisannya menguraikan panjang-lebar soal pergeseran paradigma dunia dalam pembangunan ekonomi. Pada periode 1950-1970-an berlaku paradigma strategi industrialisasi atas dasar substitusi impor sebagai landasan untuk promosi berkembangnya industri modern berskala besar dengan dorongan intervensi pemerintah. Paradigma ini bergeser ke paradigma yang memandang bahwa pasar merupakan mekanisme universal dalam menciptakan alokasi sumber daya yang efisien dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berlaku dalam periode 1980-an. Paradigma baru ini dinamakan the Washington Consensus (WCS). Dalam masa periode ini, IMF dan Bank Dunia secara aktif mendorong pemerintah di negara berkembang untuk melakukan berbagai deregulasi.
Pada pertengahan 1990-an, paradigma WCS diganti oleh paradigma yang mengembalikan peran pemerintah secara positif untuk membangun berbagai institusi yang sesuai dengan kondisi dan situasi yang dihadapi. Paradigma ini dinamakan post-Washington Consensus (PWC). PWC ini difokuskan, antara lain, untuk penanggulangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat. Jadi, masalah kehidupan ini tidak lagi seluruhnya diserahkan kepada pasar.
Namun evolusi dunia itu tidak sesederhana bayangan yang tergambar dalam dikotomi pasar vs non-pasar. Pasar itu sendiri evolusinya sangat panjang. Jadi, ia tidak bebas dari sejarah (path dependence). Sejarawan Ricklefs (1998), misalnya, menyatakan bahwa pengaruh yang paling besar dan kekal dari kedatangan orang Portugis di Indonesia adalah terganggu dan kacaunya jaringan perdagangan sebagai akibat ditaklukkannya Malaka pada 1511. Tanam Paksa yang mendatangkan uang hampir 60 persen dari pendapatan nasional Belanda tahun 1860-65 juga mewariskan tatanan (institusi) ekonomi, politik, dan sosial budaya di Tanah Air. Ini hanya beberapa bukti bahwa pasar?dan sekarang globalisasi, yang dasarnya adalah pasar?tidaklah terlepas dari evolusi masyarakat dunia.
Pasar dalam pengertian interaksi supply dan demand tidak selamanya menguntungkan. Bahkan Brandts, Riedl, dan Van Winden (2004) dalam artikelnya Competition and Well-Being, Tinbergen Institute Discussion Paper (TI 2004-041/1), menunjukkan bahwa kompetisi dalam konteks di mana kontrak tidak dapat ditetapkan secara sempurna, tidaklah menentukan efisiensi atau pendapatan. Bahkan kompetisi dapat menurunkan kesejahteraan (well-being), termasuk di antaranya menurunkan keinginan untuk membantu orang lain. Jadi, kompetisi menurunkan (merusak) hubungan-hubungan sosial antara para pelaku pasar dan menurunkan kesejahteraan subyektif (subjective well-being). Hal ini akan merusak kesadaran untuk membangun masa depan bersama.
Lebih keras lagi adalah pandangan Zohar dan Marshal (2004) dalam bukunya Spiritual Capital, yang menyatakan bahwa kapitalisme sebagaimana yang kita kenal sekarang merupakan budaya yang mementingkan kepentingan jangka pendek diri sendiri, maksimisasi keuntungan, lebih mementingkan kepentingan shareholder, isolationist thinking, dan tidak mempertimbangkan akibat-akibat jangka panjang. Penulis buku ini mengibaratkan kapitalisme sebagai monster yang akan memakan dirinya sendiri. Selanjutnya, Robert A. Isaak dalam bukunya The Globalization Gap: How the rich get richer and the poor get left further behind (2004) mengulas secara lengkap bagaimana sisi gelap dari globalisasi yang pada intinya berlandasakan pada pasar itu.
Dengan dasar pemikiran di atas, adalah wajar apabila para petani dan "orang kecil" merasa khawatir akan Kabinet Indonesia Bersatu, yang oleh sebagian kalangan diduga akan lebih berpihak kepada pasar, yang penafsiran selanjutnya adalah pro-pengusaha. Penafsiran lebih lanjut, pro-pasar juga diartikan sebagai pro-IMF. Para petani tebu, misalnya, masih ingat bagaimana IMF menekan pemerintah dalam letter of intent untuk merelokasi pabrik-pabrik gula di Jawa ke luar Jawa. Kalangan petani dan usaha kecil juga merasakan bagaimana mereka terdesak oleh perusahaan-perusahaan besar, bukan hanya dalam hal pasar barang dan jasa, tetapi juga dalam hal pasar modal.
Mereka terdesak bukan karena tidak produktif, tetapi karena kultur dan struktur yang ada tidak berpihak kepada mereka. Sebaliknya, kultur dan struktur yang ada lebih banyak menekan para petani dan usaha kecil ini. Sebagai ilustrasi, para petani telah melakukan investasi yang besar dalam pertanian, misalnya karet 3,5 juta hektare, kelapa 3,7 juta hektare, kopi 1 juta hektare. Namun industri hilirnya tidak berkembang. Semua komoditas perkebunan, kecuali kelapa sawit, hampir seluruhnya adalah hasil petani. Petani, sebagaimana telah dikemukakan, hanya menerima "keringat".
Kabinet Indonesia Bersatu diharapkan dapat mengubah ini. Pro-pasar adalah pro-investor, bukan pro-rent seeker. Petani adalah investor yang tidak membebani negara dengan dana rekapitalisasi. Pandangan kita harus diubah. Pro-pasar adalah pro-rakyat, pro-petani yang sebagian besar sudah melakukan investasi yang besar dan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap bangsa dan negara. Pro-pasar juga pro-pengusaha yang memiliki karakter bukan rent seeker, tetapi pengusaha yang mampu bersenyawa dengan para petani dan usaha kecil untuk membangun negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo