Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggap saja benda itu adalah dipan atau tempat tidur. Namun bentuknya tidak biasa. Rata di sebuah bagian lalu menurun di bagian lainnya. Benda itu disangga tiang-tiang besi sekitar dua meter, dipasangi roda yang memudahkannya bergerak ke sana-kemari. Seseorang mendorongnya dari satu pojok panggung ke pojok yang lain.
Di atas dipan penyair Jose Rizal Manua tertidur dengan posisi yang tidak biasa pula. Dengan suaranya yang lantang, dengan posisi yang tidak biasa itu, dia membacakan puisinya dengan kualitas yang terjaga.
Di bagian lain, sambil bergayut di menara yang mirip dengan menara air di rumah-rumah, seorang berpindah dari rangka-rangka besi. Cahaya dari atas seolah menyalibnya. Dialah Tuan Edan, yang diperankan Jean Maramis. Tawanya teramat renyah.
Sekitar 20 orang di bawahnya adalah tamu yang datang dengan berbagai kostum. Berpakaian rapi layaknya orang kantoran, ada pula yang berkepala gundul. Namun sejenak mereka berubah menjadi jongos. Mereka berpesta menikmati daging manusia. Di antara besi-besi itulah dia membacakan puisi.
Dari hati yang putih serta kebanggaan kami menerima kunjungan hadirin. Pesta ini bernama:
Makan malam di Rumah Edan
Karena saya sendiri bernama Edan
Jayalah Tuan Edan
Dan sang Tuan Edan disambut para tamu dengan kor: huk huk hukla.
Hukla adalah kata yang paling banyak bertaburan dalam puisi-puisi Leon Agusta. Tak ada makna khusus dari kata ini. Hukla adalah serangkaian sajak Leon pada pertengahan 1970-an. Kata itu merupakan suara yang dihadirkan di tengah kegalauan Leon. Kata itu sebagai ekspresi Leon atas kegetiran dan kegilaan zaman.
Malam itu, Selasa dan Rabu pekan silam, di Graha Budaya Bhakti Taman Ismail Marzuki, Jakarta, puisi-puisi milik Leon, yang masih gagah di usianya yang 73 tahun, dijadikan sebuah pementasan teater dengan judul Kapal Penyeberangan Hukla.
Leon sendiri mempersembahkan pementasan ini buat Chairil Anwar dan Asrul Sani, dua penyair yang dianggap memberi pengaruh pada karya-karyanya. Bagi Leon, puisi adalah penawar dari kata-kata yang kini telah teracuni oleh banyak hal. ”Menjadi pihak ketiga, kambing hitam, arogansi, dan dipakai untuk pencitraan,” katanya.
Dan, inilah sebuah pementasan pembacaan puisi yang tidak biasa. Afrizal Malna, penulis naskah, dan Aidil Usman, sang sutradara, meracik menjadi sebuah pertunjukan teater. Hasilnya, dalam durasi pertunjukan yang dipersembahkan Komunitas Gempita Indonesia, lebih dari 90 menit penonton disuguhi kata-kata beterbangan, berubah menjadi gerak, tarian, nyanyian, tawa, rintihan, juga dalam diam.
Mereka yang tampil sebagai pemain tak semua nama kondang di jagat puisi. Mereka datang dari dunia hiburan. Rahayu Saraswati, bintang film yang juga putri pengusaha Hashim Djojohadikusumo, ikut menyanyikan salah satu puisi. Ada juga Iwa K., lelaki yang dikenal sebagai rapper. Mereka menikmatinya. ”Ini pengalaman baru buat saya, bermain di sebuah pementasan teater puisi,” katanya.
Kita tahu puisi adalah kepingan-kepingan impresi yang pendek. Menuangkan menjadi sebuah naskah yang bercerita tentu membutuhkan energi dan daya yang tidak mudah.
Afrizal Malna, penulis naskah, membutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk merangkai lebih dari 70 buah puisi milik Leon Agusta menjadi sebuah naskah teater. Dia mengambil berbagai penggalan puisi Leon utuh maupun tak utuh dan menjahitnya dalam sebuah bingkai cerita. ”Menurut saya, setiap puisi Leon telah memiliki dramaturgi di dalamnya,” kata Afrizal Malna.
Aidil Usman, sang sutradara, menyulap panggung dengan menarik. Tiga pilar putih di sisi kanan panggung, sebuah altar yang berbentuk trapesium, kemudian ada panggung dengan jalan menanjak, zebra cross, dan kotak-kotak putih di bagian lantai panggung lainnya. Panggung lebih banyak gelap temaram dengan hanya beberapa cahaya lampu berwarna biru jatuh di sana. ”Itu metafora dari kapal penyeberangan ,” ujar Aidil.
Pertunjukan diawali dengan Leon Agusta muncul di sebuah lemari tanpa pintu membacakan Jiwa-Jiwa yang Hilang karya Chairil Anwar.
Pada 1960, Leon, yang punya nama asli Ridwan Ilyas, kehilangan ayah dan saudara kandungnya akibat pemberontakan PRRI, yang disebutnya sebagai perang saudara. Empat tahun berselang, dia memilih mundur dari pegawai negeri setelah ikut menandatangani Manifes Kebudayaan. Lama berselang, dia pun mendekam di penjara akibat dianggap terlibat dalam Peristiwa Malari. Dia menuangkan kegetirannya melalui puisi.
Dua peristiwa penting itulah, yakni PRRI dan Permesta, yang menjadi jalan masuk bagi Afrizal Malna untuk menuliskan naskah. ”Dalam perubahan politik, sesuatu pun ikut berubah. Kekecewaan terhadap politik menjadi problem pribadi. Pengembaraan identitas, budaya, juga spiritual,” kata Afrizal.
Dalam pengembaraan yang panjang, Leon berkisah tentang apa saja yang membuatnya gelisah. Teror dimulai pada awal pertunjukan. Di atas panggung bunyi bom dan suara senapan yang menyalak membabi buta membunuh siapa saja. Penembak berdiri berbaris di bibir panggung dan mengacungkan senapan ke arah penonton. Perang saudara, istilah Leon untuk PRRI.
Tentang keserakahan dan persaingan manusia yang ditampilkan dalam Hukla Final Pacuan Kuda. Dalam adegan ini dimainkan dengan menarik oleh enam orang berkepala plontos yang membawa panji-panji namun tanpa bendera, menggambarkan siapa pun tak ada yang mau menjadi nomor dua. Panji seperti tiang bendera yang berat, tapi mereka tetap mempertahankannya untuk menjadi pemenang.
Set pun lekas berubah. Kata Pengantar pada Hukla dibawakan tiga orang di balik rumah bertingkat dengan pakaian yang mewah. Puisi yang ditulis pada 1977 berkisah dengan berhati-hati dalam suasana kekuasaan rezim, termasuk untuk bernyanyi.
Tak melulu puisi-puisi itu ditampilkan dalam gerak melainkan juga nyanyian. Yuyun, penari dan dikenal sebagai vokalis band rock Discus, melafalkan puisi Leon menjadi sebuah lagu: aku tak setuju lahir di dunia, aku tak setuju kematian, aku tak setuju diriku....
Hukla adalah sebuah kata yang menyembur dari berbagai puisi karya Leon Agusta sekitar 35 tahun lalu. Hukla tak memiliki arti harfiah apa-apa, tapi malam itu ia tetap menjadi suara perlawanan seorang Leon Agusta.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo