Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Estetika Kekerasan

Ekspresi rupa tentang kekerasan muncul dari balik selimut keindahan. Etik penciptaan terabaikan.

28 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BINATANG
Karya:Bunga Jeruk
Tempat:Lembaga Indonesia-Prancis, Yogyakarta
Waktu:22 Mei-2 Juni 2000
APAKAH ekspresi kekerasan dalam seni rupa identik dengan visualisasi yang langsung menyesakkan indra penglihatan? Tampaknya tak harus demikian. Pameran karya Bunga Jeruk seolah berusaha menepis anggapan itu. Kekerasan bisa saja bersembunyi dari tampilan visual yang elok dan sarat dengan citra rasa estetis. Perupa lulusan ISI Yogyakarta ini mengolah elemen medium tiga dimensi dengan menonjolkan pemahaman terhadap konsep estetis yang baku: keindahan rupa adalah yang menyenangkan, bukan menyesakkan.

Dengan mengusung tema kekerasan terhadap hewan piaraan, Bunga Jeruk menampilkan 10 karya berbentuk karya patung dan karya kriya (craft). Penggunaan teknik yang lebih cair ini memberi keleluasaan baginya untuk berekspresi. Tengoklah karyanya bertajuk Gara-Gara Telinga Panjang, yang menggambarkan sosok kelinci, yang sebenarnya sosok hewan piaraan yang lucu, tampak tak nyaman ketika sepotong tangan manusia mencengkeram kedua telinganya yang panjang. Karya ini berukuran kecil, dari materi kayu yang dipulas dengan warna primer. Kekerasan di balik keindahan adalah tema yang muncul pada karya berjudul Sop Kaki Kambing Muda, yang menampilkan anak kambing dari kayu yang dibalut warna kuning. Keempat kakinya terbenam dalam pencitraan cairan sop dari bahan resin transparan, satu adonan dengan warna hijau yang membalut bentuk kubis, merahnya tomat, dan wortel yang oranye. Pada karya berjudul Nggak Sempat Lari, Bunga Jeruk menyoroti tradisi kekerasan terhadap ayam jago yang siap diadu dan biasanya dimasukkan ke tas anyaman rotan. Tapi, Bunga Jeruk menggantinya dengan tas berbahan sintetis dengan motif tutul, mencitrakan kulit macan dengan ekor menjuntai. Ada lagi anjing hitam dengan puting susunya yang berjuntai dipaksa mengemudi sepeda roda tiga, dalam Dipaksa Melucu. ''Dengan cara-cara kekerasan, hewan piaraan menjadi sumber kesenangan," ujar Bunga Jeruk.

Bunga Jeruk membuat kursi bergaya 1960-an, dibalut pelapis sintetis yang mencitrakan kulit hewan bertutul dari keluarga macan, untuk menggambarkan nasib hewan liar tak lebih baik dari hewan piaraan. Inilah sebuah pilihan metafora yang menarik untuk menggambarkan kekerasan dalam bentuk keserakahan pola konsumtif manusia.

Tema kekerasan (politik, sosial, lingkungan) memang menjadi trend dalam seni rupa kontemporer Indonesia. Sejak angin reformasi bertiup, tema kekerasan cenderung diekspresikan secara lebih telanjang. Kekerasan diterjemahkan ke dalam bahasa rupa dengan pencitraan yang kelam, berdarah, sadistis, antidemokrasi, antilingkungan, dan biasanya masih diimbuhi dengan teks yang provokatif. Apa boleh buat, ekspresi rupa pun menjadi lebih sulit dibedakan dengan pamflet. Bunga Jeruk, 28 tahun, adalah perupa yang hidup di tengah-tengah trend itu. Tapi, ia agak menyempal. ''Saya tidak bisa mengekspresikan kekerasan secara telanjang," ujarnya. Mungkin ini disebabkan dorongan naluri keperempuanannya.

Tapi, boleh jadi tidak. Realitas kekerasan toh acap kali diselimuti kelembutan (keindahan). Contoh yang sederhana, beberapa waktu lalu bermunculan pedagang ayam yang menawarkan anak ayam yang membuat siapa pun jatuh hati karena sosoknya yang lucu. Toh, bulu halusnya masih harus disemprot dengan berbagai warna menyala untuk semakin menarik minat pembeli. Bunga Jeruk menampilkan kekerasan terhadap anak ayam ini lewat karyanya bertajuk Anak Ayam Turun Seribu, berupa sosok anak ayam dari kayu dalam warna-warna primer menyala, yang tiga di antaranya dikerangkeng dalam kandang berkawat yang diberi roda. Karyanya yang terdahulu juga menampilkan kekerasan berselimut keindahan, misalnya karya tiga dimensinya tentang kekerasan terhadap perempuan yang diproduksi budaya kapitalistis, Beauty Myth.

Karya-karya tiga dimensi Bunga Jeruk, seperti halnya karya beberapa perupa lainnya, sebetulnya mengandung problem etik. Problem etik itu terletak pada proses pengerjaan karya itu, yang dilakukan oleh tukang. Ini juga kecenderungan perupa kontemporer lainnya yang berekspresi di luar medium yang dikuasainya. Pada situasi ini, perupa hanya berperan menggarap gagasan estetis lewat desain, sementara pengerjaan wujud fisiknya dilakukan oleh tukang. Pengakuan peran orang lain dalam sebuah karya seyogianya harus menjadi cermin sikap antikekerasan, sebagaimana yang tecermin dalam gagasan tema pameran ini.

Raihul Fadjri--- SENIRUPA 2 ---Seni Rupa Video Menguak Tubuh dengan Seni Video Galeri Teguh memamerkan karya terbaru Rotraut Pape, seniman video Jerman. Mengangkat tema tentang hubungan manusia dan buah-buahan tropis.

RUANGAN yang sempit itu makin sesak oleh empat buah televisi. Keempat televisi diletakkan di atas rak bambu, berhadapan dengan sebungkah roti tawar kering, sebuah semangka, melon, lalu nanas. Sebuah lampu khusus menjadikan buah-buahan itu seperti sebuah sesajen. Ketika televisi dinyalakan, ia seolah menampilkan rontgen atas roti tawar dan buah-buahan.

Maka, televisi bak sebuah media yang memperlihatkan gerakan-gerakan elemen-elemen yang berada dalam buah-buahan. Elemen itu pecah menghablur, bergerak terus dengan frekuensi pengulangan tinggi. Yang menarik adalah visualisasinya. Di dalam roti tawar itu, terdapat bentuk-bentuk seperti pil atau tanda palang merah. Di dalam melon, terdapat kaset yang remuk, pecah, dan meledak. Setiap tayangan dilengkapi dengan tabel digit. Angka-angka ini berubah terus sejalan dengan metamorfosis. Sebuah proyektor di antara televisi kemudian segera memancarkan sosok mirip bayangan patung Buddha. Sosok itu sosok amorf: susut dan mengembang terus-menerus. Itulah instalasi Der Garten de Blauen Orangen ("Taman Bunga Jeruk") dari Rotraut Pape.

Instalasi ini berusaha mengetengahkan hubungan antara manusia dan buah-buahan tropis. Gagasan awal sesungguhnya "mistis". Pada suatu hari, seniman video kelahiran Berlin pada 1956 ini duduk di atas meja makan. Tiba-tiba, sepotong steak di atas piringnya bergerak, butiran nasi rampak ke udara, dan daun selada beterbangan. Ia teringat pada buah jeruk, nanas, dan semangka ketika buah-buahan itu masih murni di taman firdaus. Dan ia mengontemplasikan hakikat buah-buahan setelah terjadi dosa asal.

Mulanya sukar untuk menangkap gagasan Pape. Gambar-gambar video karyanya tidak menyubversikan pandangan visual kita. Tidak ada montase, kolase, atau manipulasi citra yang betul-betul mengganggu. Dan empat layar monitornya seolah fragmentasi terputus. Tapi ada satu hal yang membuat instalasi videonya berada dalam sebuah konteks pemaknaan. Di ruangan lain, terdapat sebuah tayangan video yang menampilkan wajah seorang wanita. Wanita itu mengunyah makanan. Pipinya mengalami deformasi terus-menerus, menggelembung, bengkak, lalu surut ceking. Semakin lama ia mengunyah, semakin besar gerahamnya. Seiring dengan gerak mulutnya, terdengar suara decak monoton. Lalu, di ruangan itu, terdapat sebuah proyektor yang menembakkan sekuen sebuah piring. Di piring itu terdapat irisan puding atau lapisan kue yang berubah warna, dari merah, kuning, berubah menjadi putih yang penuh noda, lalu mencair. Sebuah proses pembusukan makanan terjadi. Bintik-bintik itu seperti bakteri-bakteri, ulat-ulat, belatung-belatung, uget-uget yang bergerak-gerak.

Maka, pesan kritik firdaus Pape sampai. Kita sadar bahwa tayangan digit-digit rontgen adalah metafora tentang tingginya kuman-kuman dan amuba-amuba yang ada dalam makanan. Ini mengingatkan kita pada instalasi perupa video kita, Khrisna Murti, berjudul Makan Malam Bersama Lalat dan Ulat (1998)—sebuah karya untuk korban pemerkosaan. Di balik gorden, seniman pantomim Jemek Supardi ditampilkan berdialog dengan manekin, plus jamuan piring yang penuh ulat asli, yang kemudian ditayangkan kepada publik. Sementara ulat-ulat di situ lebih untuk metafora kekerasan, pada Pape untuk kehancuran biologis.

Konon, kekuatan seni virtual video dibandingkan dengan medium seni lain adalah kemampuannya yang tinggi untuk menampilkan parodi dan ironi kapitalisme dan hiperealitas pasar. Dengan teknologi penyuntingan komputer untuk mendistorsi skala obyek, melakukan slow motion, serta merelatifkan ruang dan waktu obyek, medium ini mampu menyuguhkan paradoks kapitalisme secara lebih tajam. Berdasarkan istilah Jean Luc Goddard, sineas Prancis yang juga seniman video, video mampu menampilkan chain-image, rantai kemajemukan realitas yang kontradiktif.

Karya Pape yang menggunakan resonansi magnetik ini sesungguhnya jauh dari enak untuk dinikmati—apalagi ruangan Galeri Teguh tidak memadai sehingga koordinasi semiotik di antara lima monitor televisi dan dua proyektor terasa tak lancar. Akibatnya, video art Pape kemudian terasa kering, formal, teknis, dan tidak meletupkan sesuatu yang sugestif. Toh, ia menggelitikkan suatu pengertian bahwa buah-buahan atau roti di supermarket—segala menu ikon kesehatan kapitalisme mutakhir—yang masuk ke dalam tubuh kita sehari-hari ternyata tak sebersih yang kita bayangkan. Tubuh kita penuh limbah racun.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus