Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGAPA Venice Bien-nale terasa tak lagi menginspirasi? Begitu-lah pertanyaan besar yang bergantung dalam benak saya ketika melangkah keluar dari Arsenale setelah mengunjungi rangkaian Venice Biennale 2019 di Italia. Pameran seni internasional tertua di dunia ini tak lagi menjanjikan kejutan atau proyeksi gagas-an estetika baru dan acap kali te-rasa justru berbalik pada praktik seni yang terlalu mudah diprediksi, sehingga terasa membosankan. Tahun ini Venice Biennale mengambil judul “May You Live in Interesting Time”, dengan kurator Ralph Rugoff, berkebangsaan Inggris. Rugoff meng-undang 70 seniman untuk terlibat me-respons gagasan kuratorialnya.
Dalam tema besar ini, Rugoff men-dedahkan fenomena masyarakat kontem-porer berhadapan dengan serbuan infor-masi yang menuntut kita untuk menguji kebenaran yang ada di dalamnya. Sema-cam refleksi atas dunia pasca-kebenaran (post-truth). Interpretasi atas inilah yang diharapkan bisa tersaji dari karya-kar-ya yang ditampilkan, terutama dalam pa-meran utama di Arsenale dan Giardini.
Dalam konteks sejarah seni, ada per-ubahan arah seni ketika pameran besar se--macam Venice Biennale lebih didorong men-jadi pengalaman sosial estetik, mem-buat sebuah pameran tidak lagi bisa di-eva-luasi karya per karya. Kritik seni lebih diarahkan untuk melihat bagaimana na-rasi dimunculkan melalui orkestrasi dan dramaturgi pertemuan antara satu seni-man dan seniman yang lain, atau satu karya dan karya lain, ketimbang melihat bagai-mana narasi individual seorang seni-man. Karena itu, perhelatan seni seperti Venice Biennale menantang seorang ku--rator untuk menjahit tiap lapis narasi dan interpretasi sehingga ia menjadi peng-alaman sosial sekaligus estetik yang meng-gugah bagi para pengunjung.
Dalam Venice Biennale 2019, pema-ham-an atas dunia yang beragam itu seakan-akan dipangkas, sehingga konteks budaya seperti tempelan yang artifisial. Kita me-mang melihat karya dari Amerika Selatan, Asia, atau Afrika, tapi mereka muncul dalam konteks yang kurang terhubung satu sama lain. Di sisi lain, seniman-seniman Eropa dan Amerika yang dipilih oleh kurator meng-garisbawahi seni yang berfokus pada bentuk dan material atau penjelajahan media baru. Dalam ruang semacam itu, bagai-mana dialog antarkonteks dan antar-budaya ini kemudian diciptakan?
Paviliun di Giardini dibuka dengan insta-lasi uap karya Lara Favaretto, yang seperti dimaksudkan untuk memberi sensasi ke-terkejutan, tapi menjadi pupus karena me-dia ini sudah sangat sering digunakan para seniman. Memasuki ruang demi ruang se-lanjutnya bagi saya adalah tamasya visual yang tidak begitu memberi kesan, karena tak ada karya yang menawarkan gagasan yang cukup mengikat. Sebuah ruang yang paling ramai diisi sebuah instalasi penuh spektakle oleh duo seniman Cina, Seng Yuan dan Peng Yu. Karya mereka, Can Not Help Myself, menjadi tontonan yang me-nyedot perhatian lebih karena sensasi ben-tuk dan persepsi yang ditimbulkan ketimbang konsepnya. Sebuah mesin yang biasa digunakan untuk proses konstruksi bangunan mereka sulap menjadi mesin buat mengisap cairan merah, yang secara lang-sung banyak ditafsirkan sebagai darah. Ada tabrakan yang menarik antara ga-gasan tubuh manusia, citraan industrial, dan bagaimana robot menjadi mesin yang diprogram untuk mengoperasikan ge-rakan.
Selain karya-karya yang sangat kuat meng-arah pada pendekatan spektakle, bebe-rapa karya seperti memberi ruang untuk medium konvensional, misalnya lukis dan patung, yang belakangan makin jarang ditemui dalam perhelatan seperti Bien-nale. Bahkan, setelah masuk ke ruang Giardini, pengunjung langsung di--hadapkan pada lukisan besar dari George Condo, Double Elvis, yang penting untuk me-nandai pernyataan sang kurator tentang ba-gaimana informasi dan kebenaran saling berkelindan. Lukisan ini merujuk pada kar-ya ikonik Andy Warhol, Double Elvis, yang dibuat pada 1993, tapi digubah dengan cara yang membuat citra Elvis Presley menjadi sangat jauh dari kesan glamor, dan justru menjadi cenderung liar serta brutal. Dari situ, pengunjung dapat menemukan seri-seri lukisan Julie Mehretu, Njideka Akunyili Crosby, dan Avery Singer; tiga seni-man perempuan dari tiga generasi dan konteks budaya yang berbeda-beda. Akunyili Crosby menunjukkan lukisan-lu-kis-an yang menggugah, menawarkan -kh-azanah kehidupan perempuan kulit hitam dalam kompleksitas kehidupan kon-tem-porer yang terbentang dari globalisasi yang intens dan kapitalisme yang mengakar kuat.
Dalam representasi gender, pameran ini memberikan ruang yang cukup besar bagi seniman perempuan dari Asia, Ame-rika Selatan, atau Afrika. Pertama kali-nya dalam sejarah Venice Biennale, perem-puan mempunyai ruang yang seta-ra dengan seniman laki-laki, dengan jum-lah yang berimbang. Penghargaan khusus dibe-ri-kan kepada seniman Amerika Sela-tan, Teresa Margolles, yang karyanya me-nunjukkan perhatian besar soal “perbatasan” sebagai teritori yang pe-nuh ketegangan dan kekerasan. Ia mengkonstruksi dinding per-ba-tasan Amerika Serikat dan Meksiko meng-gunakan material yang diambil dari situsnya langsung, sehingga isu ini tidak hanya menjadi bingkai konseptual, tapi juga material seni adalah bagi-an dari narasi dan sejarah itu sendiri.
Karya Shilpa Gupta, Untitled, 2019. Alia Swastika
Seniman perempuan lain yang menonjol adalah Hto Streyel, berkebangsaan Jer-man, yang memamerkan dua karya ma-sing-masing di Giardini dan Arsenale. Streyel selama ini dikenal sebagai seniman yang menggali isu politik berkaitan de-ngan penggunaan teknologi dan penye-bar-an informasi. Gagasan tentang sur-veillance, ketegangan antara ruang pri-vat dan publik, serta relasi kuasa yang ter-lihat dan tidak terlihat menjadi ling-kup diskusi yang menarik dari karya-kar-yanya. Kali ini Streyel menyajikan video ber-judul Leonardo’s Submarine, yang meng-investigasi bagaimana teknologi berkem-bang pada masa lalu dan memberi inspirasi besar bagai konteks sistem sosial masa kini.
Dari Asia, seniman India, Shilpa Gupta, menampilkan dua karya skala besar. Per-tama Untitled, dipajang di Giardini, me-ru-pakan instalasi pintu kinetik yang bergerak terbuka dan menutup hingga sebagian din-ding retak. Suara pintu menabrak dinding ber-gema cukup keras dalam ruangan (yang terasa terlalu sempit untuk karya itu), sehingga dengan sendirinya menarik per-hatian pengunjung. Karya kedua, For, In Your Tongue I Can Not Fit, dipajang di Arsenale, adalah imajinasi atas orkestra yang cukup masif, terdiri atas papan music score sebanyak 100 buah dengan sebuah mikrofon tergantung di atasnya. Di setiap papan itu, kita menemukan teks dari para penulis atau penyair yang ditahan oleh sebuah rezim karena pilihan politiknya. Shilpa Gupta adalah seniman yang sejak dulu menggeluti konteks batas, pemisahan, dan perbedaan ideologi politik-agama-ras sebagai basis dalam karya-karyanya.
Penghargaan tertinggi dalam Venice Biennale, yaitu Golden Lion untuk seni-man individual, kali ini jatuh kepada seni-man Afrika-Amerika, Arthur Jafa, yang kar-yanya secara radikal membicarakan problem rasisme masyarakat kontemporer, dengan menggabungkan berbagai gambar temuan (footage) dari sejumlah media untuk menggarisbawahi peran media dalam menunjukkan diskriminasi ras yang masih sangat kuat. Menggunakan narasi dari teman dan keluarganya, Jafa membingkai politik identitas ini dengan pendekatan personal yang bersifat kontra-diktif: menawarkan keintiman, tapi juga berbalut kekerasan.
Saya membayangkan, tanpa kehadiran seni-man perempuan atau seniman yang ber-asal dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin, Venice Biennale 2019 akan terasa sangat kering. Venice Biennale kali ini rasanya justru terlalu banyak memberi ruang untuk narasi yang sudah ketinggalan, seperti seorang demonstran yang kehabisan suara di tengah perjalanan.
ALIA SWASTIKA, PEMERHATI SENI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo