Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASIH ada suara James Earl Jones yang, sekali lagi, mengisi suara Mufasa, Sang Raja. Masih ada lagu-lagu yang sama, dengan aransemen baru, seperti Circle of Life, Hakuna Matata, dan I Just Can’t Wait to be King.
Namun, karena film adalah sebuah peng-alaman audiovisual, nama dan suara Beyoncé Knowles-Carter (sebagai Nala) dan Donald Glover (sebagai Simba), yang menyanyikan Can You Feel the Love Tonight, ter-nyata tak cukup untuk menyihir kita sebagaimana yang terjadi kepada penon-ton yang menyaksikan versi animasi pada 1994.
Bahwa Beauty and the Beast (Bill Condon, 2017) yang dibintangi Emma Watson dengan segala perubahan yang dianggap “progresif” untuk ukuran Disney itu ber-hasil meledakkan sinema di seluruh dunia, tak berarti semua film animasi yang sukses akan sama bagusnya ketika diproduksi ulang menjadi film live-action. Tapi sutradara Jon Favreau menekankan ini bukan film live-action, melainkan sebuah pembuatan ulang dengan photorealistic computer-animated. Artinya, binatang-binatang agung itu, Mufasa, Scar, Simba, dan Nala, serta semua anggota masyarakat Pride Lands terlihat seolah-olah adalah bagian dari acara dokumenter National Geographic. Ternyata Favreau memang mengaku bahwa dia ingin tokoh-tokoh The Lion King buatannya secara visual persis seperti yang biasa ditonton dalam acara BBC Wildlife Documentary.
Penampilan visual para binatang, bah-kan termasuk si burung bawel Zazu (John Oliver), si babi hutan Pumbaa (Seth Rogen), Timon si meerkat (masih keluarga luak dari tanah Kalahari, Afrika), dan semua anggota kerajaan, dari kawanan gajah, ze-bra, banteng, hingga hewan kecil, betul-be-tul tampak seperti binatang yang kesasar dari film dokumenter ke layar lebar.
Tapi tunggu dulu.
Kerajaan Pride Lands, yang luasnya hampir tak terbatas, seluas “tanah yang dicium cahaya matahari” kecuali di bagian nun di sana yang penuh kegelapan dan bangkai gajah, adalah tanah yang kelak akan diwariskan kepada Simba, demikian kata Mufasa dengan suara James Earl Jones yang sungguh berwibawa (pantas saja dia tak diganti aktor lain). Simba (masa kecil: JD McCrary) sang putra mahkota yang pada awal film digendong Rafiki si mandrill (semacam keluarga babon) ada-lah pangeran bandel yang justru ingin me-nyenggol bahaya sembari menyanyi I Can’t Wait to be King. Dia tak menyadari betapa sang paman, Scar (Chiwetel Ejiofor), yang penuh dengan muslihat—visual Scar sangat garang, penuh siasat dengan mata yang “Seng-kuni”—menginginkan posisinya se-bagai calon raja.
Scar lantas merancang rencana agar Simba bisa tersingkir. Gagal. Dia merancang skenario kedua, yang kemudian berhasil, yang seperempat abad lalu menjadi salah satu adegan tragis yang paling dibicarakan sejagat ketika Simba menyaksikan tewas-nya Mufasa, sang ayah. Bagaimana Simba kecil yang berlari dengan kakinya yang kecil ke sana-kemari mencari pertolongan, terisak, bersuara parau merasa bersalah, berwajah ketakutan, dan kemudian me--nyusup-nyusup di antara tubuh sang ayah yang tak bernyawa.
Meski “hanya” kartun, adegan itu mem-buat kita banjir air mata. Bagian inilah yang memberi resonansi kepada kita se-ba-gai penonton, karena binatang sama seperti manusia: mereka memahami rasa kehilangan dan luka besar dalam jiwa. Sayangnya, begitu adegan ini “ditransfer” menjadi photorealistic computer-animated dalam The Lion King versi 2019, ada sesuatu yang hilang. Secara visual, para tokoh binatang itu memang terasa realistis. Tapi justru karena mereka realistis, dan mulut mereka mangap-mangap tanpa ekspresi, emosi penonton tak tersentuh bahkan pada bagian-bagian yang seharusnya sung-guh perih.
Yang mungkin diabaikan atau dilupakan Jon Favreau dan para bos Disney ada-lah kekuatan kartun justru karena kebe-basan-nya dalam memperlakukan tokoh-tokohnya selentur mungkin. Para artis bebas saja memiuhkan, membesarkan, dan mengecilkan wajah, tubuh, tinggi, dan besar tokoh-tokohnya, apakah itu binatang atau orang, termasuk ekspresi mereka yang bisa dibuat hiperbolis supermarah atau supersedih, sementara penonton tak akan memprotes karena memahami fitrah ani-masi.
Namun begitu kita disajikan visualisasi yang realistis—singa yang sungguh berben-tuk singa betulan dan banteng atau babi yang betul-betul seperti nyemplung dari serial National Geographic—binatang-bi-na-tang itu menjadi aneh ketika “diperintah-kan” bernyanyi atau berbicara karena mi-nim ekspresi. Akibatnya, jangan heran jika kita tak bisa hanyut oleh suasana cerita.
Tentu saja lagu-lagu yang kini dibawakan Beyoncé serta kemegahan suara dan vi-sualisasi tanah Afrika—padang pasir, juga hutan belukarnya yang masih murni—luar biasa. Juga harus diakui saat para comedic relief seperti Zazu berbicara dengan bawel atau Timon dan Pumbaa yang setia dan lucu memperlihatkan bahwa para komedian yang mengisi suara mereka adalah pilihan tepat. Karena komedian, mereka bebas me-mainkan volume dan ritme bicara masing-masing.
Durasi The Lion King versi baru ini jauh lebih panjang dibanding versi animasi. Karakterisasi di beberapa tempat diper-pan-jang, terutama bagian para hyena yang digambarkan jauh lebih berbahaya. Satu catatan yang perlu diingat bahwa ori-sinalitas kisah plot Simba sejak dulu menjadi satu titik lemah film ini. Meski para kritikus (Barat) menganggap plot The Lion King menggunakan kerangka dari kisah Hamlet karya William Shakespeare, sebetulnya cerita tentang Simba cukup mirip dengan film animasi Jepang berjudul Kimba the White Lion (baca “Kontroversi antara Kimba dan Simba”) ciptaan Osamu Tezuka, serial yang juga sempat populer di Indonesia ketika kita hanya memiliki satu saluran televisi.
Kalaupun sebagian besar kritikus men-cela dan menganggap The Lion King versi 2019 tak bernyawa, sementara saya sendiri meng-ang-gap film versi baru ini kehilangan gere-get, kritik yang bertubi-tubi ini tak akan ada pengaruhnya terhadap box office. Pas-ti-lah penonton akan berbondong-bon--dong menyaksikannya, apakah kare-na penasaran terhadap versi baru ini atau karena mereka penggemar fanatik Beyoncé.
LEILA S. CHUDORI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
imdb
THE LION KING
Sutradara: Jon Favreau
Skenario: Jeff Nathanson, Berdasarkan film The Lion King (1994)
Pengisi suara: Donald Glover, Beyoncé Knowles-Carter, Seth Rogen, John Oliver, Alfre Woodard, Billy Eichner, John Kani, James Earl Jones, Chiwetel Ejiofor
Produksi: Walt Disney Pictures
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONTROVERSI ANTARA KIMBA DAN SIMBA
NUN di tahun 1965, Osamu Tezuka menciptakan tokoh Kimba si anak singa yang bapaknya tewas dibunuh pamannya sendiri. Bagi generasi saya, ingatan yang tak ter-lupakan adalah si kecil Kimba yang berlari-lari—sebagai awal setiap episode—karena sang paman menyuruh dia pergi dari hutan kekuasaan bapaknya. Serial yang diberi judul Jungle Emperor ini lebih dikenal sebagai Kimba the White Lion.
Setelah Osamu Tezuka wafat, lahirlah film The Lion King. Tokoh utama Simba bernasib sama dengan Kimba. Aktor Matthew Broderick, yang mengisi sua-ra Simba dewasa dalam The Lion King, bah-kan mengaku, ketika ditawari pertama kali, ia menyangka akan bermain da-lam film Kimba versi Amerika. Sebab, Brode-rick juga mengenal film animasi Kimba.
Syahdan, sutradara The Lion King (1994), Roger Allers, menyatakan tak tahu-menahu tentang serial televisi Kim-ba the White Lion. Tapi Allers pernah me-ne-tap di Jepang pada 1980-an ketika Tezu-ka sudah dikenal sebagai Walt Disney versi Jepang.
Pada 1994, The Lion King diprotes di Jepang karena Kimba dan penciptanya dianggap sebagai salah satu ikon Jepang. Ratusan artis manga lalu membuat pe-tisi agar Tezuka diberi kredit sebagai inspi-rasi. Bahkan salah satu episode The Simpsons menyindir dengan adegan sua-ra Mufasa yang bergaung menasihati anak-nya dengan mengatakan, “Kau harus mencari pembunuhku, Kimba, eh, Simba.…”
Namun, hingga sekarang, pengharga-an terhadap Tezuka makin jauh dari harap-an. Ini sudah tahun 2019, siapa yang kenal Tezuka dan Kimba? Apalagi generasi masa kini tentu tak mengalami pe-nayangan serial televisi Kimba, kecua-li jika mereka merisetnya sendiri dari YouTube dan materi di Internet.
LEILA S. CHUDORI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo