Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menelusuri Paviliun Indonesia

"AKAL Tak Sekali Datang, Runding Tak Sekali Tiba”, atau dalam baha-sa Inggris disebut Lost Verses, adalah tema pa--meran Paviliun Indonesia di Venice Biennale 2019.

20 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Karya Shilpa Gupta, Untitled, 2019. Alia Swastika

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tim artistik pameran ini terdiri atas Handiwirman Saputra dan Syagini Ratna Wulan (se--niman) serta Yakobus Ari dan Asmudjo Jono Irianto (kurator). Seperti tahun sebelumnya, komisioner utama proyek ini adalah Badan Ekonomi Kreatif.

Dua seniman bekerja secara kolabo-ratif untuk menonjolkan bagaimana sistem seni di Indonesia acap kali be-kerja dengan cara yang berbeda dengan sistem yang terjadi di Barat. Mereka meng-ganggu dan menggugat aturan, batasan, atau cara seni dikonstruksi seolah-olah universal. Lima karya di Paviliun Indonesia adalah Buaian (Ferrish Wheel), Transparent Cabinets, Round Table, Smoking Room, dan Narrative Machine.

Karya Handiwirman adalah sebuah bianglala yang idenya diambil dari tradisi ayunan kolektif yang biasa ditemukan dalam ritual adat di Bali. Handiwirman melihat bentuk tradisi ini sebagai jukstaposisi yang menarik di antara berbagai hal yang kontradiktif: individual/komunal, manusia/mesin, dunia dalam/dunia luar, privat/publik. Setiap lima menit, bianglala ini ber-putar otomatis dengan suara yang cu-kup menggetarkan.

Di sisi ruangan yang lain, Handi me-masang instalasi kotak kaca seperti smoking room, yang sekarang ini biasa dijumpai di bandar udara atau ruang publik, di mana rencana awalnya me--re-ka akan mengundang pengunjung untuk merokok di sana (hampir selu-ruh area Arsenale adalah kawasan be-bas asap rokok). Di sekelilingnya, kotak trans-paran terbuat dari akrilik karya Syagini Ratna Wulan, yang berjumlah 99 buah, bertebaran di seluruh sudut ruang. Dalam kotak-kotak ini, Syagini memasukkan obyek seni dengan teks yang merupakan bagian dari permain-an kisah, seperti dalam novel “pilih sendiri petualanganmu”. Karya Syagini ini memang pengembangan dari bebe-rapa kali presentasinya, terutama de-ngan menerjemahkan narasi ke ba-hasa Inggris dan perubahan konteks obyek di dalam kotak.

Ketika saya sedang berada di sana, be-berapa pengunjung mencoba meng-ikuti petunjuk permainan, dan berpindah dari satu kotak satu ke kotak lain untuk membangun cerita mereka sendiri. Tapi, selebihnya, pengunjung hanya berkeliling mengitari kotak-kotak, seperti tak begitu memahami kon-teks besar yang sedang ditawarkan para seniman. Sesekali mereka kaget ketika mesin bianglala bergerak, me--man-dangnya dengan heran karena, se--telah berputar, tidak terjadi apa-apa di sana. Beberapa pengunjung membaca teks-teks yang ada dalam kotak-kotak akrilik, yang memang puitis dan sastrawi, se-hingga seperti memberi ruang untuk mem-ba-ngun imajinasi di tengah karya-karya lain yang cenderung berbasis teks aka-demik.

Dibanding dua tahun lalu, ruang Paviliun Indonesia terasa lebih be-sar dan sangat menjanjikan untuk menam-pilkan karya-karya skala monumental. Tapi, sekali lagi, dengan konteks Veni-ce Biennale hari-hari ini, gagasan untuk membuat sesuatu yang besar dan monumental tidak lagi dianggap rele-van. Ide yang kuat dan keterkaitan dengan bagaimana urgensi dan kondisi dunia saat ini selalu menjadi hal yang menggugah ketika kita berada dalam konteks paviliun nasional di Venice. Relevansi itu tidak terlalu terasa ber-gema di Paviliun Indonesia.

Pemenang paviliun terbaik kali ini adalah Lituania, dengan bentuk per-tun-jukan menyerupai opera, Sun & Sea (Marina), yang dikerjakan oleh Lina Lapelyte, Vaiva Grainyte, dan Rugile Barzdziukaite. Dalam sebuah gudang tua di pelosok pulau (tidak gam-pang mencapai tempat ini), mereka menggelar pertunjukan opera dengan latar suasana liburan di se-buah pantai. Setidaknya 50 orang performer “berakting” seolah-olah me-reka sedang berlibur di pantai dengan suara nyanyian opera sebagai latar, terkadang diselingi suara kapal, pesa-wat, atau lainnya. Dalam siaran pers, mereka menyebutkan, dalam karya itu, mereka ingin menampilkan kerapuh-an tubuh manusia dan kerapuhan alam, kontradiksi antara kemauan kita me--nerima isu perubahan iklim dan ke-inginan untuk terus menikmati hidup.

Makin ke kini, paviliun nasional bu-kan hanya merupakan sebuah ruang untuk membicarakan apa yang ter-jadi dalam konteks tempat negara itu berasal, tapi juga merupakan se-buah cara buat meletakkan diri dan me-nyuarakan pernyataan yang menun-jukkan bagaimana kita berkait dengan dunia yang lebih besar. Tidak semua berhasil melampaui tantangan ini, tentu saja.

ALIA SWASTIKA, PEMERHATI SENI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus