Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Film Onde Mande! dirilis pada dua pekan lalu dan menjadi salah satu film rekomendasi pada musim libur sekolah.
Tema kedaerahan belakangan banyak menjadi pilihan sutradara dan digarap dengan apik.
Autentisitas dialog menjadi salah satu kunci utama.
Irama saluang yang kental dengan tiupan suling dan tabuhan perkusi bergema di satu studio bioskop XXI di Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan, pada Jumat, 30 Juni 2023. Musik tradisional Minangkabau itu menjadi pembuka Onde Mande! yang dirilis pada 22 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bintang utamanya adalah Shenina Cinnamon dan Emir Mahira. Kali ini pasangan yang bermain apik dalam Dear David, film produksi Netflix pada Februari 2023, itu tidak lagi memerankan anak SMA yang dilanda cinta di perkotaan. Mereka jadi pekerja yang bertemu di Desa Sigiran, di tepi Danau Maninjau, Sumatera Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bersamaan dengan alunan musik tradisional tersebut, pria tua benama Da Am (diperankan aktor teater, Jose Rizal Manua) sedang mengayuh dengan cepat sepedanya. Terdengar pula suara latar Da Am yang menceritakan pengantar tentang masyarakat setempat yang memegang erat budaya dan adat istiadat Minangkabau.
Film Onde Mande! ditulis oleh Paul Agusta, yang juga merangkap sebagai sutradara. Berkisah tentang Angku Wan, warga Sigiran yang memenangi sayembara sabun bernilai Rp 2 miliar. Hasil sayembara tersebut akan dipakai Angku Wan untuk membangun desanya. Dia mengajak sahabatnya, Da Am, untuk ke kota guna mengambil hadiah tersebut.
Masalah muncul setelah Angku Wan secara mendadak meninggal. Informasi kematian itu tidak disampaikan ke perusahaan sabun. Dibantu istrinya, Ni Ta (Jajang C. Noer), dan anaknya, Mar (Shenina Cinnamon), Da Am berpura-pura menjadi Angku Wan demi mewujudkan cita-citanya membangun desa mereka. Kelucuan dan kekonyolan muncul setelah kedatangan Anwar (Emir Mahira), karyawan perusahaan sabun, untuk memverifikasi identitas Angku Wan.
Cuplikan salah satu adegan film Onde Mande!. Dok. Visinema Pictures
Onde Mande!—secara harfiah berarti "wah, ibu"—merupakan salah satu film nasional yang mengangkat tema kedaerahan. Mayoritas adegan direkam di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, dan hampir semua dialog menggunakan bahasa Minang—penonton tetap bisa menikmati film ini dengan subtitle.
Mahdi Yusuf, penonton asal Depok, mengatakan, meski bukan orang Minang, dia tetap menikmati unsur komedi Onde Mande!. “Walaupun ceritanya masih sederhana dan kurang menantang,” kata dia di Pondok Indah Mall, Jumat, 30 Juni 2023.
Film bertema kedaerahan ini juga disambut baik oleh warga perantau yang merindukan daerah asalnya. Dessy Anggarini, misalnya. Perempuan asal Padang ini selama tujuh tahun terakhir bekerja di Jakarta dan tinggal di Mampang, Jakarta Selatan. Dessy mengaku terpukau oleh tata film yang menampilkan keelokan alam Maninjau. “Juga ada detail makanan khasnya,” kata dia, setelah menonton.
Menurut Dessy, Onde Mande! mengangkat budaya Indonesia, tapi dengan balutan komedi yang pas. “Ternyata plot twist-nya sedih. Akting Emir di akhir juga bikin banjir (air mata),” kata dia.
Sebagai penggemar film Indonesia, Dessy menonton banyak film yang mengangkat unsur kedaerahan. Menurut dia, Onde Mande! merupakan satu yang terbaik karena dikemas dengan akting dan dialog yang autentik. “Jadi bisa dipercaya bahwa orang Minang asli yang main,” kata dia.
Jose Rizal Manua mengatakan sejumlah aktor dipilih tak semata-mata karena kemampuan berakting, tapi juga latar belakang kesukuan. Jose Rizal sendiri lahir di Padang pada 1954 dari ayah asal Padang dan ibu asal Pariaman. Meski keluarganya hijrah ke Jakarta pada 1959, mereka sehari-hari tetap menggunakan bahasa ibu. “Logat Minang adalah bahasa keluarga saya,” kata dia saat ditemui di Taman Ismail Marzuki, Sabtu, 1 Juli 2023.
Untuk membangun keterikatan dan karakter dalam kultur Minang, sebelum syuting dimulai, Jose Rizal dan kawan-kawan mengunjungi Desa Sigiran, yang memiliki aksen berbeda dengan daerah lain di Ranah Minang. “Kami setiap hari ngobrol dengan warga, ke lapau (warung makan), dan minum teh talua (teh telur),” ujarnya. Dia berharap autentisitas yang mereka bawakan mampu mengangkat kecintaan publik terhadap budaya Minangkabau.
Beberapa tahun terakhir, banyak sutradara dan produser menyajikan cerita yang menggambarkan kehidupan, tradisi, dan nilai-nilai lokal. Mereka berusaha merangkul keragaman di masyarakat, menghormati warisan budaya, dan mempromosikan pemahaman antarbudaya lewat media film.
#Info Film 5.1.1-Meriah dengan Tema Daerah
Sebelumnya, ada Tarung Sarung (2020), film laga petualangan yang mengangkat budaya Makassar. Ada pula film Ngeri-Ngeri Sedap garapan Bene Dion Rajagukguk yang sempat menjadi perwakilan Indonesia dalam penghargaan Piala Oscar 2023. Pencinta sinema nasional juga sulit melupakan Nagabogar (1987), film komedi bertema perang yang mengangkat kehidupan keluarga dan masyarakat Batak.
Suma Riella Rusdianti, pengamat film yang juga pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, mengatakan film bertema kedaerahan merupakan sesuatu yang menyegarkan mata. “Karena, capek juga kita terus-terusan nonton film Indonesia yang Jakarta-sentris,” kata dia.
Menurut Riella, film dengan tema budaya daerah selalu menarik karena Indonesia kaya akan tradisi. Meski demikian, dia melanjutkan, ada juga film yang malah terjebak dengan hanya mengusung stigma suku tertentu.
Riella mengatakan, selain Jawa, Batak, dan Minang, banyak suku serta daerah yang dapat diangkat sebagai tema film. Dia mendorong pemerintah ikut mengeksplorasi budaya lewat film, seperti yang dilakukan Kementerian Pariwisata di Korea Selatan yang ikut menentukan kota-kota yang perlu dieksplorasi lewat sinema. "Jadi, orang bisa tahu lokasi-lokasi lain dan menjadi potensi pariwisata," kata dia.
Sutradara Paul Fauzan Agusta (kiri) saat konferensi pers film Onde Mande! di Cilandak, Jakarta, 15 Mei 2023. TEMPO/Febri Angga Palguna
Setelah menonton Onde Mande!, Riella memuji sutradara Paul Agusta yang konsisten menggunakan bahasa Minang—dibawakan secara apik oleh para aktor—di hampir sepanjang film berdurasi 97 menit itu. "Mereka pakai subtitle seperti Turah (2016). Jadi, kita punya banyak bahasa yang bisa dieksplor," ujar Riella.
ILONA ESTERINA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo