ORANG film Indonesia memang tak perlu banyak mengeluh. Tiap
akhir bulan sejak 1976 di TVRI dalam acara jam 20.00 penyiar
Tuti Aditama memimpin acara "Film Kita Bulan Depan." Tujuannya:
membikin film Indonesia lebih disenangi masyarakat Indonesia.
Biasanya acara diisi oleh sejumlah sutradara atau bintang. ruti
mewawancarai mereka. Penonton agaknya ingin tahu bagaimana wajah
mereka di luar film, dan pengalaman kerja mereka di balik layar
putih. Bagaimana Leny Marlina bisa nangis? Bagaimana caranya
bikin adegan silat yang seru? Itu ular betul atau karet? Dan
Tuti Adhitama memang sering nampak memancing supaya dapat cerita
macam itu.
Kadang berhasil, kadang tidak. Bila tidak -- seperti akhir-akhir
ini sering terjadi - sutradara atau bintang hanya bersemangat
memuji filmnya. Atau menepuk dada tentang niat baiknya untuk
masyarakat. Kesempatan promosi nampaknya tak mau dilewatkan.
Seperti kata Yudi Astono, seorang produser dari Bashkara Indah
Film: "Ka]au saya di mana ada kesempatan mengatakan film saya
baik, ya saya katakan."
Membabi-buta
Tak semua pihak setuju. Penulis kritik film Harian Kompas, Kris
JB, mengecam: "Dengan cara promosi yang membabi-buta seperti
itu, ini bisa disebut penipuan pada penontom" Padahal, seperti
diakui sutradara Ami Prijono (Karmila), "penampilan dalam acara
itu saja sudah satu promosi:"
Ke harian Kompas memang banyak datang surat kritik kepada acara
itu. Untuk menjawabnya, pekan lalu Ishadi S.K. dari Direktorat
Televisi menjelaskan pelbagai kesulitan yang dihadapi TVRI.
Harus juga dipertimbangkan, kata Ishadi, pihak produser yang
telah mempertaruhkan modal yang cukup besar "berkepentingan agar
promosi filmnya tidak dirugikan."
Tuti Adhitama sendiri menyatakan kepada TEMPO: "Forum ini bukan
forum kritik, sehingga saya sendiri juga tak mau mengutik
walaupun saya juga banyak melihat kelemahan film kita." Penyiar
ini, yang di tahun 1960-an lulus dari George Washington
University sambil ia bekerja di VOA menyatalan tak mau
"gagah-gagahan mengritik" dalam acara TVRI itu. "Saya hanya
sebagai pewawancara," katanya. Kalau mau menunjukkan
pengetahuannya tentang film, dan penilaiannya sendiri, ia bisa
melakukannya di tempat lain misalnya di Femina, kata Tuti pula
yang kini juga penyumbang majalah wanita tersebut.
Di samping itu, Tuti Adhitama memandang film nasional sebagai
"anak yang masih perlu disayang." Ibaratnya anak, kata Tuti -
dia ibu dari dua anak yang remaja -- "jangan selalu dimarahi."
Wim Umboh, sutradara dari pelbagai film laris dan pemenang
beberapa piala Citra, nampaknya tak begitu enak dengan dianggap
sebagai anak yang masih perlu disayang. "Kita sudah cukup
dewasa," kata Wim, "kalau mau mengritik silakan." Tapi nampaknya
menyadari bahwa tak semua orang film termasuk satu kaliber, dia
mengusulkan, agar dalam acara "Film Kita Bulan Depan" itu ada
seleksi terhadap film yang ditampilkan. Wim setidaknya didukung
sutradara Wahyu Sihombing. Orang film yang jadi dosen teater di
LPKJ ini menyebut adanya banyak sutradara yang membuat film asal
jadi, hingga selain promosi, dalam acara itu boleh juga ada
kritik.
Aduh
Penonton memang bisa merasa dibohongi, oleh orang film yang mau
agar filmnya diselonongkan sebagai nomor wahid -- sementara di
bioskop film itu aduh. Dan sementara penjual film dapat
kesempatan bersuara seenaknya, para pembeli film -- yang juga
pembayar iuran TVRI - seperti cuma dianggap kuping kosong.
Karena itu agaknya tokoh Lembaga Konsumen, Permadi, menilai
acara "Film Kita Bulan Depan" sebagai "penipuan" jika dimasukkan
sebagai acara wawancara.
Menurut dia, acara itu harus masuk siaran niaga. Biar penonton
tahu itu iklan. Di TV London, kata Permadi, ada acara yang
mirip, tapi jelas seratus persen komersiil. Siapa saja dapat
memasukkan. Konsumen dengan begitu tidak jadi bingung, mana yang
berharga menurut penilaian TVRI, dan mana yang berharga menurut
si penjual barang.
Singkatnya: promosi ke arah penghargaan terhadap film Indonesia
memang perlu tapi melindungi kepentingan penonton Indonesia juga
perlu.
Untuk itu harapan tentu ditujukan kepada para orang film yang
jadi tamu TVRI. Tuti Adhitama sendiri, sebagai nyonya rumah
mereka, 'kan tidak bisa bilang "Stop, jangan ngecap"?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini