Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDIANA JONES AND THE KINGDOM OF THE CRYSTAL SKULL Sutradara: Steven Spielberg Skenario: David Koepp Pemain: Harrison Ford, Cate Blanchett, Shia LaBeouf Produksi: Paramount Pictures
INDIANA Jones? Di usia yang sudah gayek itu? Menyaksikan seorang opa berloncatan dengan cambuk di antara lebatnya hutan? Hm....
Tetapi, tunggu dulu. Jika diingat-ingat, ketika kita masih duduk di SMA menyaksikan Indiana Jones and the Raiders of the Lost Ark (1981), yang terjadi adalah sebuah pengalaman yang menggairahkan, seperti duduk di atas jet coaster bersama sang dosen sejarah dan arkeolog Indy (demikian nama akrabnya) yang ganteng, kumal, penuh keringat serta aksesori topi fedora dan cambuk yang kelak menjadi ciri khasnya.
Kesuksesan duet dua sineas Steven Spielberg (sutradara) dan George Lucas (produser eksekutif) ini kemudian dilanjutkan dengan sekuel The Temple of Doom (1984) dan The Last Crusade (1989). Menanti 19 tahun kemudian untuk melahirkan kembali arkeolog idola kita ini memang sebuah perjudian besar. Dalam dua dekade itu sudah terjadi perkembangan teknologi, selera, dan rasa penonton muda masa kini. Lagi pula, itu tadi..., bagaimana kita bisa membayangkan seorang “opa” seperti Harrison Ford berlaga? Apa nanti enggak patah tulang punggungnya?
Ini ceritanya: setting diambil tahun 1957 ketika perang dingin masih memanas. Sang dosen Prof Henry Walton Jones Jr alias Indiana Jones dipecat dari tempatnya mengajar. Dia diajak si anak muda Mutt (Shia LaBeouf) untuk melakukan perjalanan arkeologis di Peru. Yang mereka temukan nun di sebuah gua megah di pedalaman Peru adalah sebuah tengkorak kristal berbentuk panjang yang sama sekali tidak mewakili tengkorak manusia. Pada saat itu pula, kita sudah mafhum, kelompok Rusia di bawah pimpinan Irina Spalko (Cate Blancett) juga menginginkan tengkorak kristal yang penuh kesaktian dan misteri itu. Maka terjadilah kejar-mengejar, tonjok-menonjok, tembak-menembak. Kini peran CGI menjadi penting (dan terlalu menonjol) sehingga adegan kejar-mengejar antara kelompok Indy dan kelompok Rusia hampir menyerupai video game yang megah.
Tetapi menyaksikan film ini memang punya peraturan: 1) Jangan terlalu serius, karena isi ceritanya nonsens; 2) Jangan terlalu pusing dengan kritik (termasuk media), karena toh penggemar Indiana Jones memang sudah fanatik dan kebal terhadap segala cercaan; 3) Jangan memperlakukan ini sebagai sebuah film, tetapi anggap saja sebagai sebuah permainan dengan kisah petualangan. Pokoknya, seperti yang ditulis G. Susatyo tentang Indiana Jones and the Temple of Doom (Tempo, November 1984), serial ini adalah “suatu ajakan ke dunia kanak, ke dunia fantasi, ke dunia subyektif”.
Nah, dengan paradigma seperti ini, kita bisa bergabung dengan gerombolan penggemar Indiana Jones yang fanatik, dan ikut menikmati kegombalan kisah itu, termasuk humornya yang cerdas dan komentar pedas Indy yang sudah menanjak tua tapi masih juga bujangan itu. Oh, jangan lupa, Indy bertemu dengan pacar lama, Marion Ravenwood (masih diperankan oleh Karen Allen), dan penonton akan diberi kejutan “domestik” di tengah riuh-rendahnya kejar-mengejar, gigitan jutaan semut merah, dan lilitan ular itu. Pokoknya itu adegan yang paling lucu, yang memecahkan segala ketegangan.
Akhirnya, gugatan tentang usia Harrison Ford tak lagi relevan. Sebab, ternyata ini memang tak lagi bertumpu pada adegan laga, tapi pada sentimentalitas reuni duo sutradara besar dan Ford sekaligus para penggemarnya yang kebal kritik itu. Dengan kata lain, menggunakan sikap “so what gitu loh”, film ini langsung menonjok keangkuhan kuasa para kritikus yang rewel dengan teori sinematik dan menduduki panggung box office dengan santai. Para gayek (baik sutradara maupun pemain) tinggal menangguk keuntungan sembari terkekeh-kekeh.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo