Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAYAR transparan berukuran 7x14 meter itu menutupi panggung. Sorot lampu yang menerangi layar memunculkan repro lukisan karya Raden Saleh buatan 1857. Lukisan yang menggambarkan cerita penangkapan Pangeran Diponegoro, di rumah Karesidenan Magelang, pada suatu pagi, 28 Maret 1830.
Rekuiem karya Mozart berkumandang, membuka adegan pertama. Pangeran Diponegoro, yang diperankan Fajar Satriadi, berdiri menatap tajam tentara Belanda yang menangkapnya. Seorang perempuan bersimpuh meratapinya. Juga pengikutnya yang menyaksikan penangkapan itu.
Kemudian adegan-adegan semacam flash back mengalir. Bencana datang, Gunung Merapi meletus. Suara gaduh, rakyat berteriak-teriak membangunkan sang pangeran. “Njeng Pangeran, Gunung Merapi mbledhos. Njeng Pangeran, Gunung Merapi njeblug. Lindhu…, lindhu…, tulung…, ngungsi…, ngungsi…. ”Sang Pangeran bangun tapi kembali ke peraduan, bersama sang istri menggauli alam. Lewat adegan ini, Sardono ingin menunjukkan kepasrahan Diponegoro terhadap kehendak Sang Khalik. Itulah persetu-buhan Diponegoro dengan alam.
Sehamparan kain digelar, beberapa orang menaik-turunkan ujung-ujung kain itu. Adegan yang menggambarkan laut yang bergelora, ombak bergelombang, mengombang-ambingkan Diponegoro dan istrinya, menuju suasana samadi.
Opera Diponegoro karya Sardono W. Kusumo dipentaskan di Pagelaran Keraton Yogyakarta, Selasa pekan lalu. Rupanya, selama ini Sardono tak henti berproses. Sejak pementasan pertama pada 1995, dia terus mencari hal baru. Melalui berbagai riset, mengaktualisasi repertoar. Dan dalam pertunjukannya yang ketujuh ini, ia menghadirkan hal baru.
Riset terakhir dilakukan Sardono berdasarkan buku Peter Carey, berjudul The Power of Prophecy: Prince Diponegoro and the End of an Old Order in Java, diterbitkan KITLV Press, Leiden, 2007. Carey melakukan penelitian terhadap naskah-naskah Diponegoro, atas dukungan almarhum Sultan Hamengku Buwono IX, selama 25 tahun.
Buku Peter Carey yang baru diluncurkan beberapa bulan lalu ini mengungkap sisi-sisi kemanusiaan Pangeran Diponegoro. “Selama ini orang mengetahui Diponegoro sebagai pemberontak keraton dan komandan perang yang haus darah. Ternyata Diponegoro sangat humanis, sosok yang sebenarnya takut melihat darah,” kata Sardono.
Dari situ diketahui, tatkala Perang Diponegoro berkobar, sebenarnya sudah ada pasar rakyat di mana-mana. Karena itu, Perang Diponegoro bukan saja persoalan politik melainkan persoalan ekonomi. Pematokan tanah yang dilakukan pemerintah kolonial sudah memasuki areal pasar rakyat.
Dalam adegan ini, Sardono berhasil menampilkan suasana riil pasar rakyat ke atas panggung. Bahkan beberapa ekor sapi dan kambing yang dibawa ke pentas ikut menghidupkan suasana. Tawa penonton spontan lepas ketika sapi-sapi itu tak bisa menahan kencing. Begitu angin bertiup, tentu saja bau kotoran binatang itu ikut terbawa angin, terbang menghampiri hidung penonton.
Kehadiran Pasar Krempyeng di pentas itu, oleh penari Miroto, dinilai sangat pas. Menurut dia, tampilnya suasana pasar itu kelihatan sangat nyata, sangat menyentuh, dan bisa menjadi penegas kedekatan Diponegoro dengan rakyat. “Kedekatan Diponegoro dengan rakyat kecil muncul di panggung secara konkret,” tuturnya. Ternyata, beberapa di antara mereka benar-benar pedagang yang didatangkan dari Pasar Krempyeng asli, dari Pacitan, Jawa Timur.
Tapi ada tampilan yang mengganjal. Ada pengunjung pasar dan pedagang yang mengenakan celana jins. Padahal setting cerita itu terjadi pada 1825-an. Bagi Miroto, itu tidak soal. Menurut dia, Sardono tidak kecolongan, tapi justru konseptual. “Sardono tidak membatasi waktu. Perang Diponegoro juga bisa diletakkan dalam konteks sekarang,” kata Miroto.
Lewat karya ini, Sardono ingin menegaskan bahwa Pangeran Diponegoro bukan pemberontak keraton. Peperangan yang dikobarkan Diponegoro justru didukung lebih dari 50 persen pangeran di Keraton Yogyakarta. Penegasan itu tecermin melalui adegan Diponegoro menggendong Sultan Menol (Sultan Hamengku Buwono V) yang masih anak-anak sebelum memimpin perang.
Dibanding repertoar yang dipentaskan pada 2002, adegan ini baru. Adegan ini dimainkan oleh tim dari Yogya, dipimpin Bondan Nusantara dan R.M. Altianto. Menurut Bondan, adegan Diponegoro menggendong Sultan Menol merupakan sebuah simbol penghormatan Diponegoro kepada junjungannya, meski usianya masih kanak-kanak. “Kalau mau berontak kepada raja, bisa saja. Tapi Diponegoro tidak melakukannya. Dia bahkan memimpin perang karena tidak tahan melihat penderitaan rakyat,” kata Bondan.
Sultan Menol yang diperankan R. Giyan, bocah berumur lima tahun, hanya tampil tak lebih dari tiga menit. Dia muncul mengenakan pakaian resmi raja, lengkap dengan payung kebesaran dan abdi dalem sebagai pengawalnya. Setelah turun dari gendongan Diponegoro, Sultan Menol bermain othok-othok, dolanan khas anak-anak Jawa tempo dulu. Setelah itu, dia menghilang dari panggung.
Sardono memang ingin menampilkan sosok Diponegoro yang jauh dari perang fisik semata. Perang Diponegoro adalah perang melawan kolonialisme yang skalanya paling besar: melibatkan hampir dua pertiga Pulau Jawa, menelan korban sekitar 200 ribu warga masyarakat dan 15 ribu tentara kolonial. Ini merupakan benih nasionalisme yang mulai tumbuh saat itu.
Menurut Sardono, Diponegoro sosok yang istimewa. Keraton Yogya membuat tulisan khusus tentang Diponegoro. Keraton Solo juga membuat Babad Diponegoro. Bahkan bupati di wilayah Purworejo dan sekitarnya, yang tidak sepaham dengan Diponegoro, juga membuat catatan-catatan tentang Perang Diponegoro. Ketika diasingkan di Manado, Diponegoro sempat menulis otobiografi. Jadi, bahan penelitian Peter Carey ini sangat melimpah.
Selama ini, di kalangan masyarakat Jawa, status kepahlawanan Diponegoro memang masih menjadi kontroversi. Ada sebagian orang menganggap Diponegoro sebagai pemberontak terhadap kekuasaan keraton. Apalagi Diponegoro tinggal di luar lingkungan keraton, meski dia bergelar pangeran. Diponegoro dianggap telah mengobarkan perang dari kediamannya di Tegalrejo.
Lewat opera ini Sardono mampu mengubah citra Diponegoro sebagai seorang pangeran yang sangat humanis. Sewaktu Diponegoro menang perang, ia minta anak buahnya menutup matanya dengan kain, lalu minta para prajurit menuntunnya keluar arena perang. Alasannya, tidak tahan melihat banyak korban tewas.
L.N. Idayanie dan Heru C.N. (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo