MASA lalu dan masa kini bersatu selama 2 malam di Teater Terbuka
TIM (30 dan 31 bulan lalu). Para pengendara mobil dan motor
menggerayangi loket, jauh sebelum'jam pertunjukan, dalam barisan
yang berdesak dan panjang. Mereka terus datang dan rela berdiri
di pinggiran, manakala tiada tempat lagi bagi pantat mereka.
Selama 2 jam kemudian Jack Lesmana dan barisannya yang terdiri
dari gembong-gembong jazz coklat dari 3 kota, menampilkan 2
babak mata pelajaran sejarah jazz. Rudy Jamil, orang paling lucu
malam itu tampil sebagai pion yang membuka mulut penonton untuk
tertawa terkekeh-kekeh. Sehingga manakala Benny Mustapa
meningkah drum serta Buby Chen meraba-raba pianonya, seluruh
jiwa di perut teater itu telah terbuka dengan santainya.
Memang patut diselidiki, kenapa orang begitu doyan pada musik
sekarang. "Ada yang datang ke pertunjukan jazz dengan memejamkan
mata, karena itu lebih nikmat", kata Jack tatkala mulai
mempromosikan jazz coklatnya. Ia mengingatkan orang pada musik
'Dixieland' dengan mengangkat lagu Sweet G Brown. Dengan formasi
Buby (piano), Trisno (sax tenor), Benny Mustafa (drum), Oele
(gitar), Perry (bas) dan Benny L, lagu itu melenting ke udara
membuat banyak orang tergerak goyang-goyang. Dalam hingar bingar
dan cuwat-cuwet yang terasa binal, orang merasa tiba-tiba sedang
berada dalam gedung bioskop yang memutar film-film tua
Hollywood. Hanya satu lagu, langsung Jack mengirim sebuah irama
swing dalam judul Flying Home. Maklum saja penampilan ini lebih
bersifat apresiasi daripada sebuah penampilan tampang dari
sebuah grup yang memang comotan Surabaya, Jakarta dan Bandung.
Kemudian Buby pindah tempat duduk ke belakang piano listrik
untuk sebuah lagu irama 'Bibop' yang bernama Barbados.
Kesempatan ini benar-benar saat baik Buby untuk menunjukkan
kebolehannya. Cukup adil juga, seberondong keplok tertumpah ke
panggung. Ini bukan sopan santun. Keplok juga untuk Broery yang
muncul dengan meminjam baju tutup Gatotkaca dan menyanyikan
dengan baik lagu How high the moon. Meskipun over acting-nya
belum lagi surut improvisasi nyong Ambon ini yang berkelak-kelok
dengan suaranya yang lantang, serak dan kadangkala jadi mesra
dan lembut menarik hati hadirin.
Periode 'Cool', yang kabarnya terlambat sekitar 1 dekade
menyerang Indonesia, diperkenalkan dengan lagu Out of nowhere.
Dengan hanya memakai baju kaos yang bertuliskan 'JAZZ',Jack
bersama Buby, Trisno, Oele, Perry Didi Tjia, Benny M. dan Benny
L, melewatkan sebuah nomor yang benar-benar santai. Buby juga
sempat nyabet lagu Jango yang kembali menunjukkan kebolehannya,
sementara Benny yang suka diberi gelar Gene Krupa-nya pribumi,
dengan simpatik dan tekun gemerisik, berderakan di belakang
drumpukulannya halus, kontrol ketat, enerjik dengan tiba-tiba
menimbulkan kejutlu kejutan yang pas. Petikan bas Perry juga
memberikan imbangan sepadam. Apalagi kemudian muncul Maryono
peniup yang terbilang "setan" juga di kanch tenor-sax
pribumi. Ia meniup instrumennya malam itu dengan cukup nekat
dengan segala nguak-nguiknya yang ekspresip. Walhasil, babak
pertama ditutup dengan baik oleh lagu ciptaan Benny berjudul
Silence for the Buffalo.
Busyet
Margie Segers tak muncul malam itu. Maklum ada soal dengan
Jack--yang menurut suara-suara gosip adalah perihal uang.
Syukurlah Rie Jamain dan Mona Sitompul di samping Broery,
lumayan juga sebagai barisan penyanyi. Meskipun Rien tampaknya
begitu loyo sementara Mona tidak sempat menumpahkan seluruh
kebolehannya. Rien barangkali memang tidak cocok untuk
pertunjukan yang sifatnya kolosal, karena suara kamarnya jadi
kehilangan pesona di tengah ribuan mata yang tak mungkin terlalu
lama dibuat bermesra-mesraan. Lagu Mahogany yang biasa
dinyanyikan Diana Ross memang tepat untuk dia, tetapi tempatnya
bukan di Teater Halaman.Lain halnya dengan Broery, meskipun
menarik lagu lembut bernama All in love is fair, toh tidak
ketutup oleh suara instrumen. Karena memang watak agresip nyong
Ambon ini punya sesuatu. Belum lagi bantuan Indra Lesmana yang
berusia 10 tahun -- putra Jack yang membuat orang-orang
terkesima karena pijitannya pada piano listrik. "Busyet", seru
beberapa penonton, "apa anak bayi itu pernah jatuh cinta?"
Dijawab Indra dengan sebuah ciptaannya yang berjudul Terlambat,
yang memamerkan bakat besar anak itu pada masa-masa yang akan
datang.
Para pengamat dan pencinta jazz pada umumnya menganggap
penampilan Jack dan kawan-kawannya berhasil. Hanya saja Tim
Kantoso berkeberatan atas dagelan-dagelan Rudy Jamil, karena
dianggapnya membuyarkan konsentrasi penonton untuk menekuni
sejarah hidup jazz--disamping disampaikan tidak terlampau urut.
Keberatan lain lagi, mungkin kurangnya dimasukkan unsur-unsur
lokal, paling sedikit dalam pemilihan lagu -- sebagaimana
dilakukan Jack dalam rekaman kaset. "Karakter lagu ikut
mempengaruhi sejarah masa itu. Saya menghendaki yang orisinil
dalam periode yang ingin saya ceritakan, dengan konsultasi pada
Buby Chen yang menguasai sejak ragtime hingga masa kini", jawab
Jack. Ia mengaku belum puas. Namun demikian penonton sudah
merasa jazz coklat mulai memiliki pesona dan hidup dengan pasti,
paling tidak di TIM. Mereka pulang sambil mengenang Buby, Benny,
Jack Indra Lesmana serta juga Abdullah yang sempat menampilkan
kebolehannya dalam menepuk-nepuk bongo. Akan Broery, ia memang
tampil membawakan sebuah lagunya dengan bantuan sebuah grup
vokal yang hangat juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini