Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INI pameran yang jarang. Di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Jakarta, disajikan karya gambar dan gra–fis bebas ditambah sejumlah karya gambar dan grafis te–rapan. Karya terapan disajikan berupa buku, ilustrasi, gambar iklan, karikatur, dan gambar kover majalah. Sebagian besar karya terapan itu pernah dimuat di majalah Tempo.
Itulah karya-karya dua seniman, S. Prinka (1947-2004) dan Prijanto S. (lahir 1947), yang bersama Wagiono S. adalah perintis yang kini disebut Program Studi Desain Komunikasi Visual Institut Kesenian Jakarta-penyelenggara pameran ini. Mereka juga, bersama beberapa alumnus Jurusan Grafis Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, mengibarkan Persekutuan Seniman Gambar Indonesia (Persegi) dengan berpameran di sejumlah kota, antara 1978 dan awal 1980-an, mempopulerkan seni gambar. Memang seni rupa modern Indonesia dimulai dengan istilah "gambar", ketika pada 1937 dibentuk Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi), tapi tampaknya makna "gambar" waktu itu dan "gambar" di masa Persegi (bukan Persagi) berbeda. Seni gambar pada zaman Persagi lebih mengacu pada istilah yang kini lazim dipakai, seni rupa. Sedangkan di masa Persegi, istilah gambar menunjuk pada karya seni rupa dua dimensional yang dibuat dengan bahan bukan cat, melainkan pensil, tinta, pena, arang, dan pastel.
Berhasilkah kampanye Persegi mempopulerkan seni gambar? Hanya dilihat dari pameran ini, menurut saya, berhasil. Namun pameran gambar tergolong jarang, bahkan melihat ke pasar seni rupa yang mulai tumbuh pada akhir 1980-an, bisa dikatakan hampir 100 persen yang diperdagangkan adalah lukisan cat minyak. Konon, di Eropa dan Amerika pun pasar seni rupa dikuasai lukisan cat. Bedanya, yang disebut gambar (drawing) di sana mempunyai suara juga, malah sampai ada pemalsu karya seni rupa spesialis gambar: Eric Hebborn, pelukis Inggris, yang suka memalsu karya gambar dari seniman ternama seabad sebelumnya.
Dalam pameran ini setidaknya bisa dilihat bagaimana gambar masuk ke dunia media cetak (dalam hal ini Tempo) dan ikut membentuk karakter media tersebut. Sejumlah artikel berita di Tempo tak diiringi oleh foto sebagaimana lazimnya, tapi oleh gambar. Halaman tulisan kolom, yang biasanya hanya dihias dengan foto profil penulisnya, kemudian ada gambarnya. Rubrik yang tidak menuntut foto, misalnya surat pembaca, di Tempo periode sebelum dibredel, dihiasi dengan kartun, dan kemudian karikatur sejak 1978. Karikatur itu pun dianggap rubrik, karena diberi nama: "Opini Prijanto S". Sengaja atau tidak, akhirnya nama ini tepat: karikatur di rubrik ini lebih menyampaikan pendapat pembuatnya, Prijanto S., yang sejumlah karyanya dipamerkan.
Dari pameran ini, kita menjadi mafhum bahwa gambar yang muncul di Tempo bisa seperti itu karena ada fondasi kuat pada kedua seniman ini, dilihat dari karya-karya bebasnya. Karya-karya Prijanto, misalnya, menyiratkan seniman satu ini memiliki daya imajinasi kuat dan dengan kepiawaiannya menggambar, jadilah karya-karya yang menyedot perhatian. Gambar banteng yang kulitnya ornamentik, berselimut yang penuh gambar. Lalu ada "ribuan" kecoak merajalela di bidang gambar warna-warni. Sebuah karya tinta dan pena berjudul The Dispute (1992) menggambarkan debat empat "orang"-untuk menggambarkan betapa serunya percekcokan karena masing-masing berpikir beda, kepala "orang-orang" itu juga berbeda: ada yang sepeti burung, kadal, bunglon, atau entah apa. Dan, ini yang merupakan kekuatan visualnya: garis-garis yang membentuk figur dengan distorsi seenaknya tapi tidak janggal (secara anatomis benar, misalnya), dan pembentukan ruang yang "gamblang" tidak ruwet.
Distorsi seenaknya tapi secara anatomis tidak janggal ini tampaknya yang membuat karikatur Prijanto "enak dilihat dan lucu". Dan hampir selalu antara teks dan gambar pun saling mendukung dan hasilnya ada senyum simpul pembaca. Lihat karikatur berteks "Gelisah amat nunggu telepon, memangnya bakal jadi menteri apa, pak?"). Yang mengucapkan kata-kata itu bertopang dagu, mulut menganga lebar, dan mata memandang langsung ke si "bapak" yang duduk dan di mejanya tergeletak telepon, sementara tangan kanannya mengendurkan ikatan dasi karena kata-kata si "anak" membuatnya susah bernapas.
Bukan hanya lucu. Tak percuma rubrik itu disebut "Opini Prijanto S". Soal yang pernah ramai pada 1979, penggusuran sawah untuk tanaman industri, inilah pendapat Prijanto: traktor bertulisan "Perkebunan" itu terus melaju, membuat para petani yang sedang menanam padi terpaksa mundur terus, hingga tanaman padinya di garis vertikal. Inilah "hil yang mustahal", meminjam kata-kata khas almarhum Asmuni dari Srimulat.
Menyatunya garis dan gagasan semestinya didasari satu sikap Prijanto-demikian Goenawan Mohamad, mantan Pemimpin Redaksi Tempo, dalam diskusi pameran ini. Dan sikap Prijanto, menurut saya, merupakan sikap yang santai tapi serius, pendapat subyektif yang jail, terkesan mewakili pendapat masyarakat luas (baca: rakyat bawah), tak terduga karena itu khas cerdas (ini opini Seno Gumira Ajidarma dalam diskusi dalam pameran ini juga). Segera saja ini mengingatkan pada sikap dan pendapat Umar Kayam dalam kolom-kolomnya dulu di Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, yang dibukukan antara lain dengan judul Mangan Ora Mangan Kumpul. Ekspresi tokoh-tokoh dalam kolom itu, yang wong cilik, saya bayangkan seperti ekspresi figur-figur dalam karikatur Prijanto (kover buku ini didesain oleh Prijanto).
Dan Prijanto hadir di Tempo karena ada S. Prinka, yang tentulah melihat coretan rekannya itu cocok dibawa ke majalah yang ia garap sisi visualnya. Dan dua orang ini hadir karena pemimpin redaksi majalah tersebut mengapresiasi karya-karya mereka. Dengan lain kalimat, ini seperti tumbu ketemu tutup (keranjang mendapatkan tutup-cocok sekali, karena biasanya keranjang tak bertutup), dua seniman itu mendapatkan habitat yang menyuburkan kreativitas mereka, dan sebaliknya habitat itu terbentuk karakternya antara lain oleh karya-karya keduanya. Mungkin ini soal sederhana dan memang seharusnya begitu. Namun antara isi dan sisi visual media yang "searah dan setujuan dan sejail" seperti yang terjadi di majalah ini rasanya jarang.
Dan "jail" tak harus "lucu", bisa juga liris dan unik, sebagaimana ilustrasi S. Prinka pada kolom Tempo dan "Catatan Pinggir" Goenawan Mohamad. Prinka suka menggabungkan dua benda yang tak masuk akal: steker yang dicolokkan ke buah jeruk, ulat yang menggerogoti kawat berduri, cangkir retak diikat rantai, seekor ikan diikat di tiang seperti orang yang dihukum yang menjalani eksekusi tembak, dan sebagainya. Juga benda-benda yang mungkin luput dari perhatian dan tak terbayangkan hadir dalam gambar di halaman majalah: peniti, botol susu, paku, jarum, benang, dan banyak lagi. Prinka sebenarnya membuat karya bebas. Hanya, inspirasi datang dari teks yang perlu diberi ilustrasi.
Namun, seperti apa pun sisi visual media cetak, tetap saja Anda dinamakan "pembaca", bukan "pemirsa" seperti pada televisi. Kalau kita menerima karya-karya visual kedua mereka itu, agaknya karena yang visual itu ternyata juga bisa "dibaca" tanpa harus lebih dulu membaca teksnya. Terbukti, dalam pameran ini, karya-karya itu tetap saja bisa kita "nikmati" meski dilepaskan dari halaman majalah. Ini karena kedua pencipta itu tak terjajah oleh teks, tapi juga tak mengabaikannya.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo