Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Samurai Penjaga Pulau Tsushima

Game Ghost of Tsushima membawa pemain untuk menafsirkan ulang nilai-nilai samurai.

17 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Game Ghost of Tsushima

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALAN pedang atau bushidou yang dianut kaum penjaga pada sistem feodal Jepang, yakni samurai, masih diagungkan hingga saat ini. Nilai kehidupan tersebut mengatur semua hal, dari cara berbicara, bersikap, hingga memperlakukan orang dengan baik dan sopan. Bushidou bahkan memiliki aturan sendiri dalam urusan menghadapi pihak yang berseberangan paham, misalnya perang melawan negara lain, yakni bertarung sportif dengan duel terbuka.

Namun bagaimana jika seorang samurai yang tersisa di suatu tempat setelah kalah perang menghalau invasi pasukan negara lain harus bangkit? Apakah realistis jika serangan balik dilakukan hanya oleh seorang bangsawan samurai yang tersisa? Nate Fox, Direktur Kreatif Sucker Punch, pembuat game Ghost of Tsushima, menyatakan Anda harus menyampingkan kehormatan seorang bushi atau samurai ketika bermain game yang dirilis hari ini tersebut.

Berplot pada kejadian dan lokasi sejarah sekitar 1200, game lansiran studio milik Sony ini mengisahkan seorang samurai dari salah satu klan penjaga Pulau Tsushima, Sakai, bernama Jin. Pemuda terhormat tersebut secara ajaib bisa selamat dari gempuran pasukan Mongolia yang ingin menginvasi Jepang setelah menduduki Korea Selatan. Tsushima merupakan pulau terluar di Jepang yang hanya berjarak 50 kilometer dari Busan, Korea Selatan.

Setelah diselamatkan oleh seorang pencuri bernama Yuna, Jin langsung mencoba bangkit. Tapi Jin sadar bahwa melawan pasukan Mongol, yang dipimpin cucu Jenderal Besar Mongolia Jenghis Khan, Khotun Khan, menjadi misi mustahil. Bagaimana tidak, selain menang jumlah armada dan peralatan perang canggih dengan ragam baju zirah dan senjata, pasukan Mongol dikisahkan jago berstrategi. Mereka mempelajari bahasa dan kebudayaan Jepang yang secara efektif bisa menghabisi pasukan Jepang. Yuna sendiri, meski berasal dari kaum proletar, menjadi pendamping dan panutan Jin dalam mengusir pasukan Mongolia hingga akhir game selesai.

Pada awalnya, pemain memang dipaksa secara tidak sadar menganut paham samurai. Namun, seiring berjalannya waktu permainan, pasukan Mongol yang muncul cukup beragam dengan senjata lebih kuat dan jumlah besar. Akibatnya, menantang duel ke kamp musuh akan menjadi misi bunuh diri. Jin sendiri hanya orang biasa yang lebih kuat dari masyarakat biasa karena kemampuan pedangnya. Di luar itu, Jin tidak punya ilmu kebal pedang dan anak panah.

Mekanisme duel adu pedang death match juga tidak bisa ditebak dan membutuhkan refleksi pemain yang cekatan walau pola serangan musuh mudah dibaca. Dengan berat hati, menyerang musuh dari belakang atau menyergap musuh yang sedang tidak siap perang disadari Jin menjadi cara yang cukup berhasil. Di satu titik, kita jadi teringat ujaran Luke Skyawalker ihwal dirinya yang diminta Rey untuk menyerbu markas First Order secara heroik. “Saya memang kesatria Jedi, tapi menyerang begitu saja hanya untuk ditembaki adalah hal konyol,” kata Luke seusai pengasingan puluhan tahun dalam kutipan film Star Wars Episode VIII.

Memang, perang dengan segala tekanannya mungkin saja bisa mengubah orang. Toh, seperti dilansir dari buku Chugaku Shakai Resishiteki Bunya, dalam catatan sejarah Jepang, tak sedikit kaum-kaum terhormat era dulu berbuat curang demi kepentingan dirinya sendiri. Tapi, sadar dan tidak, cara bertarung ala ninja tersebut menjadi poin penting dalam pengembangan cerita dan permainan game secara garis besar. Jin sendiri sejak memilih meninggalkan nilai samurainya sudah sadar akan akibat dari perbuatannya pada masa depan.

Secara garis besar, Sucker Punch bisa membawa pemain ke era Jepang zaman samurai dengan eksekusi situasi dan pemandangan pada era tersebut yang cukup detail. Lihatlah bangunan-bangunan khas era dulu, seperti kuil Shinto, kuil Buddha, perdesaan, Istana Daimyo, beragam hewan liar, hingga busana masyarakatnya. Detail visual juga dilengkapi dengan penggarapan bagian sound yang teliti, lengkap dengan suara sungai, serangga, dan burung yang beragam.

Sejumlah situs game pun secara garis besar memberikan nilai relatif baik terhadap game ini. Namun, menurut kontributor The Washington Post, Gene Park, menjual nama Akira Kurosawa—sutradara legendaris film Seven Samurai—dalam Ghost of Tsushima sedikit memberi efek buruk bagi game tersebut. Secara tidak sadar, kata dia, para penggemar film dan kebudayaan Jepang seperti dirinya akan berkiblat pada film tersebut dalam mengamati game ini.

“Saya tidak pernah lihat Kikuchiyo (salah satu tokoh dalam film Seven Samurai), tapi jadi teringat Nathan Drake (Uncharted Series) dalam sosok Jin Sakai,” katanya. “Pada satu titik, saya lupa bahwa ini hanyalah game.”

ANDI IBNU | GAME REACTOR | THE WASHINGTON POST


Ghost of Tsushima

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengembang: Sucker Punch

Penerbit: Sony Interactive Entertainment

Rilis: Jumat, 17 Juli 2020

Batasan umur: dewasa

Ukuran: 34 gigabita

Harga: Mulai dari Rp 829 ribu

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus