Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajahnya sangat Jawa. Sebuah layar kaca menayangkan wajah itu. Tepat di atasnya, sebuah bangunan bambu empat persegi menaungi. Tingginya sekitar dua meter. Lantas terbitlah gemuruh: gedobrak! Bambu itu meliuk, doyong. Ekspresi perempuan di kolong bangunan itu pun spontan berubah. Wajahnya pasi, dua tangannya melindungi kepala.
Sara Nuytemans, 37 tahun, perupa dari Belanda, menyuguhkan instalasi itu, karya yang merespons peristiwa yang belum setahun terjadi di Yogya: gempa.
Selama tiga bulan Sara tinggal di Studio Cemeti Yogyakarta bersama beberapa seniman Indonesia untuk menyerap lingkungan baru, menangkap denyut masyarakat Yogyakarta, sebelum akhirnya menumpahkannya ke dalam karya. Selama tiga bulan itu ia merasakan langsung gerakan-gerakan tanah yang kini masih sering terjadi.
Ia akhirnya memilih obyek-obyek mekanik, bilah-bilah bambu dan video. Lewat gerak bambu tersebut, perempuan dalam televisi yang ketakutan, lalu ditambah finale ”braak!” Sara menciptakan imajinasi tentang sebuah peristiwa yang menakutkan bagi warga Yogya saat itu.
Karya Sara, juga seniman Belanda Leiven Hendriks, perupa Indonesia Arya Panjalu, serta Angki Purbandono dipamerkan di Rumah Seni Cemeti selama seminggu sejak 24 Januari lalu. Karya-karya bertema Landing Soon # 1 itu diselenggarakan Artoteek Den Haag, Belanda, Cemeti, dan Program Pengembangan dan Kebudayaan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. ”Setiap tiga bulan datang kelompok baru, lalu bersama membuat karya,” tutur Mella Jaarsma, pemilik Cemeti.
Leiven Hendriks, 37 tahun, seniman dari Amsterdam, juga terinspirasi gempa. Dia melukis pucuk pohon bambu dengan awan cyrus membentang. Selain itu, reruntuhan bangun-an yang berserakan di tepi jalan, perabotan rumah yang patah, paku tembok yang berserakan, seruas bambu, dan sebuah garis tak beraturan yang menggambarkan retakan-retakan tembok rumah.
Karya ini kurang mendapat perhatian. Ini berbeda dengan karya Arya Panjalu dan Angki Purbandono yang mencuri perhatian pengunjung. Arya Panjalu, 30 tahun, membuat karya instalasi ”Sepeda”. Ia memajang sepeda putih roda empat, mirip sepeda badut di tengah-tengah arena pamer. Arya ingin mengingatkan para pengguna jalan untuk mengurangi kecepatan agar selamat. Roda besi sepeda itu dilapisi lembaran karet yang sudah dilubangi, berfungsi sebagai pelat sablon. Arya menyablon jalan.
Roda-roda sepeda itu meninggal-kan jejak tulisan ”Pelan-pelan aku pasti sampai”—mengingatkan pada sebuah ungkapan Jawa, alon-alon waton kelakon. Jejak ban itu terlihat jelas dari pintu masuk hingga titik sepeda berhenti. Tampaknya Arya terganggu oleh kesemrawutan jalan.
Konsep berbeda diusung Angki Purbandono, seniman berlatar belakang fotografi. Suatu hari, di pasar loak, Angki terusik oleh seorang penjual foto lama. Selama tiga bulan residensi itu Angki keluar masuk pasar, mencari foto hitam-putih. Sekitar 450 lembar foto dapat dikumpulkan. Satu foto yang menarik perhatiannya diperbesar dan ditempel di permukaan neon box yang dipasang di dinding.
Seorang lelaki tiduran miring di atas tiga kotak kayu, satu tangan menopang kepala. Neon box ini dipasang di dinding berlatar belakang lukisan mural hitam-putih. Lewat tangan pelukis mural Puji Handoko, Tatang, dan Iyoh, lukisan dinding yang melatarbelakangi neon box terasa pas.
Tapi, imajinasi terganggu sebuah mural lain dengan warna-warni menyolok di sampingnya, menggambarkan masa depan yang entah kapan. Di depan dinding itu, terpajang vespa kuno dan lambreta yang terawat, catnya masih kinclong. Angki menganggap kendaraan bermotor itu hanya sebuah aksesori. ”Saya bayangkan tembok ini studio dan kendaraan itu hanya aksesorinya,” tutur Angki.
Gempa, pasar loak, dan sepeda adalah kehidupan rakyat Yogya.
LN Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo