Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Titik Balik Tukul Arwana

Melejit ke puncak popularitas setelah belasan tahun jatuh-bangun. Penggemarnya minta dia ojolali—jangan lupa.

5 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tukul Arwana pernah tak kuasa menahan geli mendengar komentar ayahnya atas kesuksesan yang ia reguk saat ini. Abdul Hamid, sang bapak, pura-pura takjub karena hanya dengan berjualan pring (batang bambu) Tukul bisa hidup enak. ”Lho, kok jualan pring? Saya, kan, ngelawak, Pak,” sergah Tukul waktu itu. Sang ayah menjawab tangkas, juga kocak. ”Iya, jualan pring, pringas-pringis (cengengesan), maksudnya.” Tukul spontan ngakak.

Kini dia bisa menceritakan percakapan itu penuh nada riang. Dengan modal cengengesan dan kejenakaannya, Tukul berhasil menggapai kemakmuran hidup setelah 17 tahun jatuh-bangun di dunia hiburan. ”Ya, sekarang sudah lumayan Mas. Sudah lega,” demikian pria asal Semarang itu menggambarkan keadaan dirinya.

Status ”lumayan” yang ia maksud adalah tiga unit rumah miliknya—dibangun dalam satu area—di kawasan Cipete, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di sini, harga semeter tanah bisa mencapai Rp 5 juta. Bisa dibayangkan nilai ketiga rumahnya—yang satu di antaranya ia karyakan untuk indekos. ”Kalau yang ini saya beli cukup mahal,” kata dia menunjuk rumah tempat Tempo bertamu, dua pekan lalu. Dia minta angka yang ia sebutkan tidak ditulis. ”Biar tidak memprovokasi orang,” kata Tukul—entah apa yang ia maksud.

Lalu ada sebuah Harley Davidson (”Baru saya beli dua bulan lalu,” katanya), Toyota Kijang Innova, dan sedan Galant tua. Dan tentu saja tabungan atau deposito yang mustahil kita ketahui angka nominalnya. Di rekening itulah Tukul menyimpan honornya sebagai pemandu acara bincang Empat Mata di Trans-7, yang sukses besar. Honor acara-acara lain juga mengucur ke sana.

Syahdan, tarifnya kini sudah mencapai puluhan juta sekali tampil. Benarkah? ”Tulis saja: lumayan,” dia berkelit. Untuk blak-blakan soal honor, Tukul boleh mengelak. Tetapi pria berambut cepak ini tak bisa berkelit dari pandangan orang di mana pun berada sekarang. Tukul juga tak bisa, dan tak mau, berpaling dari media massa yang ingin ”mengupas lebih dalam” tentang dirinya. Ya, acara Empat Mata telah mengerek popularitasnya hingga ke level atas jagat hiburan Tanah Air. ”Fenomenal, ya,” komentarnya sembari cengengesan.

Tukul mengakui semula ia tak begitu percaya diri ketika ditawari memandu acara itu. ”Saya jelek dan tidak intelek,” dia memberi alasan. Maklum, citra acara perbincangan di televisi selama ini kental nuansa intelektualnya. Pembawa acaranya diutamakan figur yang cerdas, berwawasan luas, dan enak dilihat.

Namun, pengelola Trans-7 meyakinkan dia bahwa Empat Mata akan dibuat berbeda. Pakem intelek yang melekat pada acara bincang-bincang sengaja akan dipelesetkan menjadi kocak. Dan, Tukul dinilai pas memandu Empat Mata karena sosoknya yang ndeso. ”Mr. Appolo bilang, saya sebenarnya cerdas di balik serba kekonyolan ini,” kenang Tukul. Mr. Appolo adalah orang Filipina yang bekerja di Trans-7 dan pencetus ide Empat Mata. Tukul akhirnya bersedia dengan syarat dibantu pasokan pertanyaan lewat perangkat laptop saat acara berlangsung.

Lalu dimulailah misi tersebut pada pertengahan 2006. Pelan-pelan, kemasan baru itu mencuri perhatian penonton televisi. Acara yang semula hanya dibikin 13 episode itu mengalami penambahan episode berkali-kali. Terakhir, Tukul dikontrak lagi untuk 260 episode.

Tukul, dan segala sesuatu yang berbau Tukul (cara tepuk tangannya, ledekan khasnya, idiomnya, dan lain-lain), mulai diakrabi dan ditiru masyarakat. Dari orang kebanyakan hingga menteri kabinet mengenal pria bernama asli Riyanto itu. ”Tukul? Yang tepuk tangannya gini-gini (memperagakan keplok monyet)? Saya tahu, dong. Dia fenomenal,” ujar Menteri Perhubungan Hatta Rajasa suatu ketika. Komentar Hatta klop dengan komentar Tukul sendiri!

Tukul, sang fenomena, hanya mengenakan kaus singlet putih bercelana pendek biru saat ditemui Tempo belum lama ini. Dia seperti menunjukkan kesan tak ada perubahan berarti pada dirinya. Kesuksesan, bagi Tukul, seperti buah yang wajar dari sebuah kerja keras panjang. Karena itu, kata bapak satu anak ini, tak perlu disikapi secara berlebihan. ”Atau sok ngartis,” kata dia.

Sikap itu, setidaknya, terlihat dari caranya berinteraksi dengan lingkungan tempat tinggalnya. Gerbang pagar rumahnya tak ditutup rapat, ngablak begitu saja ketika obrolan berlangsung di teras. Tukang mi rebus seberang rumah juga bersikap wajar saat menyajikan makanan pesanan, seolah tidak tengah melayani artis kondang.

Meski di kawasan elite, kediaman Tukul menjorok di perkampungan padat. Jarak antarrumah begitu dekat. Suara motor, teriakan pedagang makanan, atau obrolan antartetangga kerap menyelinap ke dalam rumah. Dan Tukul terlihat tetap nyaman dengan semua itu.

Tak inginkah pindah ke tempat yang lebih nyaman seperti Pondok Indah? ”Kehidupan itu ya seperti ini. Ramai. Di Pondok Indah mungkin tak terganggu kiri-kanan, tetapi seperti terkurung,” ujarnya sembari menggeleng.

Sikap Tukul ternyata ”masih seperti yang dulu”—setidaknya itulah kesaksian Sumarni, salah satu tetangga orang tuanya di Semarang. Kata Sumarni, Tukul jarang pulang ke Semarang. ”Tapi ia tetap Tukul yang ramah pada siapa saja,” katanya.

Mungkin Tukul menyerap semua nilai itu dari pengalamannya yang panjang. Lahir dari pasangan tak mampu Abdul Hamid dan Sutimah (almarhum), Tukul kecil sempat menumpang ke beberapa keluarga tetangganya di Perbalan, Purwosari, Semarang. Sempat melakoni profesi sebagai sopir, Tukul juga terus mengasah bakatnya melucu seraya terus mengincar kesempatan. Cerita kegagalan dan penolakan banyak mewarnai perjalanannya.

Maka, ia tahu, hidup harus berkeringat. Kerja keras adalah kata kuncinya. Dia mengambil kesimpulan itu bukan dari kitab atau ajaran orang lain, tetapi dari pengalaman hidupnya sendiri. ”Saya dulu percaya pada hoki, tapi sekarang saya yakin kerja keraslah yang penting,” ujarnya.

Abdul Hamid, 70 tahun, juga bersikap serupa saat dimintai komentar tentang kesuksesan sang anak. ”Ya, itulah hidup,” kata dia ketika ditemui Tempo di pinggiran Semarang pekan lalu. Seperti anaknya, Pak Dul—demikian ia disapa—juga tak banyak berubah meski anaknya sudah mereguk kemakmuran.

Ya, rumahnya kini memang dibangun bertingkat oleh Tukul. Setiap dua pekan sekali ia mendapat kiriman uang dari Jakarta. Tetapi sehari-hari Pak Dul tetap mengayuh sepedanya ke Pasar Ngrembel, Gunung Pati, untuk membuka kios jahitannya. Ia mengaku Tukul sudah melarangnya bekerja. ”Tetapi saya tak bisa nganggur. Menikmati rezeki dari keringat sendiri lebih enak,” kata dia. Sehari-hari, penghasilan Pak Dul Rp 10–15 ribu. ”Kalau benar-benar tak punya uang, baru saya minta uang pada Tukul.”

Dari pinggiran Semarang, Tukul telah menjadi pusat pusaran harapan di lingkungan dekatnya. Belasan anak muda yang ingin masuk dunia hiburan, kini ”nyantrik” di rumahnya. Dia mengajari mereka trik dan kiat meniti kesuksesan sejak dari nol. Sembari menunggu peluang, ia memodali mereka beberapa sepeda motor untuk ojek. Dalam bahasa Tukul, ”Untuk sosialisasi keringat.” Pagi itu, beberapa di antara mereka tampak bercengkerama di depan pos bertulisan ”Ojek Ojolali.”

Kata ojolali (jangan lupa) tampaknya akan terus menemani (dan menuntut) Tukul. Dia paham, sudah banyak orang sukses yang kemudian lali (lupa) pada diri sendiri, keluarga, dan lingkungan. Ia mengaku berusaha mengambil hikmah dari keadaan mereka agar tak terpeleset.

Dalam acara Empat Mata, Tukul punya kalimat khas, ”kembali ke laptop”. Dan dari penggemarnya, Tukul kini mendapatkan sebuah ”mantra” khas—sebagai pengingat: ojolali!

Tulus Wijanarko, Rofiudin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus