Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalau sejak dulu pemerintah Indonesia serius membongkar dugaan korupsi di proyek pembangkit listrik Karaha Bodas, mungkin kondisi buruk seperti sekarang tak perlu terjadi. Tujuh tahun silam, Badan Arbitrase Internasional di Swiss menjatuhkan vonis untuk Pertamina, perusahaan minyak milik Indonesia itu. Tapi pemerintah tidak kelihatan bergegas menyibak patgulipat di balik megaproyek itu. Bahkan pengusutan kasus seakan jalan di tempat. Itu sebabnya sekarang tak ada bukti-bukti yang bisa dipakai untuk menggugurkan keputusan arbitrase. Pertamina mesti bersiap membayar ganti rugi US$ 315 juta alias Rp 2,8 triliun kepada Karaha Bodas Company.
Masalah sudah datang sejak proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi di Garut ini lahir. Proyek ini lahir pada 1994 di era Soeharto. Pengembang proyek adalah Karaha Bodas Company, perusahaan patungan asing dan perusahaan lokal, PT Sumarah Daya Sakti, yang memiliki 10 persen saham. Pertamina dan PLN terlibat sebagai mitra operasi dan calon pembeli listrik produk Karaha.
Krisis ekonomi sempat menghentikan proyek. Atas desakan Dana Moneter Internasional, pada September 1997, Presiden Soeharto mengeluarkan keputusan tentang penghentian beberapa proyek pemerintah, termasuk Karaha Bodas. Keputusan presiden sempat dibatalkan pada November 1997, namun proyek dilanjutkan kembali pada Januari 1998.
Merasa kontraknya dilanggar, KBC menggugat Pertamina ke Badan Arbitrase Internasional. Pengadilan arbitrase akhirnya memenangkan KBC dan memerintahkan Pertamina membayar uang ganti rugi. Putusan arbitrase kemudian diperkuat oleh pengadilan Amerika Serikat. Jika menolak membayar ganti rugi, simpanan Pertamina di Bank of America dan Bank of New York akan ”dirampas”. Ancaman inilah yang membuat Pertamina merasa jalan sudah buntu dan kini menyiapkan dana ganti rugi.
Sebenarnya, walaupun kecil, peluang masih tersisa. Syaratnya, pemerintah mau bergiat dan sungguh-sungguh mengusut berbagai kejanggalan yang ada. Sebab, putusan final pembayaran klaim masih harus menunggu vonis pengadilan di Cayman Islands, tempat KBC terdaftar sebagai badan hukum.
Salah satu hal yang bisa diusut tuntas adalah temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tentang dugaan praktek korupsi berupa penggelembungan biaya senilai Rp 50 miliar di proyek Karaha. Hasil audit juga menyimpulkan KBC tidak mengungkapkan nilai investasi secara benar. Kesungguhan perlu ditunjukkan, sebab proses penyidikan oleh polisi dan Komisi Pemberantasan Korupsi hingga kini tak beranjak maju.
Hal lain yang perlu ditelisik benar-benar adalah temuan aparat pajak soal adanya tunggakan pajak Karaha senilai Rp 30 miliar dan US$ 254 juta sejak 1995 lalu. Apalagi, dalam suratnya ke Pengadilan Distrik New York, Dirjen Pajak Darmin Nasution menyebutkan KBC diduga kuat telah melakukan kejahatan pajak di Indonesia. Sebuah tim gabungan perlu dikerahkan untuk mengusutnya.
Sebenarnya yang terpenting adalah komitmen pemerintah untuk membongkar berbagai kejanggalan dalam proyek ini sejak awal. Banyak orang ragu pemerintah akan melakukannya, mengingat nama-nama besar yang ikut di dalam proyek ini, termasuk Purnomo Yusgiantoro yang ketika itu berstatus konsultan proyek. Tapi, siapa tahu pemerintah segera ingat sebuah pepatah: hari pagi dibuang-buang, hari petang dikejar-kejar. Peluang baik yang dulu diabaikan, sekarang dikejar kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo