Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Gerhana bintang di tahun 1980

Bintang film beralih profesi, produksi film lesu. mau beralih ke film iklan ternyata biro iklan lebih suka mengimpor. parfi dan kft prihatin.

22 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMAKIN banyak bintang film beralih profesi untuk sementara. Pertunjukan sandiwara di Taman Ismail Marzuki, misalnya, tampak sering didukung beberapa bintang terkenal. Antara lain Rahayu Effendy, selain di sandiwara, juga kelihatan muncul dalam topeng blantek. Perfilman Indonesia memang sedang suram. Puncak produksi 1977 dengan 134 judul merosot ke 67 judul pada tahun 1978 dan makin anjlok ke 50 judul saja tahun lalu. Berdasar SK Menpen No. 224 tahun 1978, importir tidak lagi berkewajiban memproduksi film, melainkan hanya dikenai kewajiban menyetor dana sertifikat Rp 3 juta untuk setiap judul film impornya. Kesuraman itu terbayang pekan lalu, ketika Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia) memperingati ulang tahunnya ke24. Masih ada pestanya di Miraca Sky Room Sarinah, Jakarta, tapi jauh dari kemeriahan tahun-tahun sebelumnya. Kusno Sudjarwadi mengingat film Indonesia juga pernah lesu pada periode 1964-69. Kini untuk kedua kalinya bintang film itu menerima pukulan berat. Kendati demikian, Kusno -- yang terjun ke dunia film sejak tahun 50-an sebagai figuran -- bertekad tidak akan surut. Tapi sekalipun perfilman sedang pasang naik, ia jarang dipakai produser. Maklum, katanya, "saya ini kan bintang tua." Kusno tidak tinggal diam. Sudah selama 3 tahun ia membuat batako. Produksinya kini menggembirakan. Pernah seorang pemborong memesan 20.000 batako, yang diselesaikannya dalam 40 hari. Dari situ ia mengantungi Rp 2 juta. "Nah, untuk apa mengeluh film sepi? Rezeki dari arah lain kan ada," kata Kusno. Namun Kusno, kini bermukim di Cisalak, Jawa Barat, awal tahun ini meneken kontrak sebagai pemain pembantu dalam 3 film dangdut. Honornya tak banyak. Ia hanya menyebut ancer-ancer Rp 1,5 juta untuk yang berminat menggaetnya, dan bisa ditawar. Bagi bintang yang sedang mencorong, seperti Rhoma Irama, tak ada kata suram. Terjun ke film 3 tahun silam Rhoma kini sibuk membintangi fiimnya yang ke-10 Perjuangan dan Doa. Dalam film dangdut yang menelan Rp 100 juta ini dan dibiayainya sendiri, sekaigus ia menjadi tokoh utama. Ia memang tak perlu risau. Sewaktu-waktu Rhoma bisa kembali ke profesinya semula, sebagai pemain dan penyanyi kelompok Orkes Melayu Soneta. Tapi ada juga bintang, sekalipun sibuk berperan di beberapa film, merasa prihatin tahun ini. Umpamanya, Rudy Salam yang bermain film sejak 3 tahun lalu karena digaet adiknya, Roy Marten, naik bis kota dan oplet bila bepergian. Tahun lalu dia hanya membintangi 5 film, dibanding 2 tahun sebelumnya 18 film. Untuk menangkis masa suram itu, ia berupaya meraih hoki di bidang lain. Usaha apa? "Masih terlalu pagi mengatakannya," sebutnya. Bukan hanya bintang film yang terpukul. Mereka yang tergabung dalam Karyawan Film dan Televisi (KFT) belakangan ini pun sering berpangku tangan. Hanya beberapa sutradara, cameraman, editor dan art director terkenal yang masih tampak sibuk menyelesaikan produksi film. "Situasi ini sungguh memprihatinkan," kata sutradara Ami Priyono, Ketua KFT. Untuk mengatasi masa lesu ini, baik KFT maupun Parfi menoba nasib di sektor pembuatan tilm iklan. Namun selama ini, sudah bukan rahasia lagi, banyak biro iklan lebih suka memakai artis dan karyawan film asing. Pembuatannya pun sering di luar negeri. Bahkan -- karena sengitnya persaingan -- ada film iklan yang diimpor dalam bentuk jadi. Misalnya iklan Vicks Formula 44 yang disiarkan lewat biro iklan Perwanal Utama. Honor Mahal Kenapa? "Menggunakan bintang film Indonesia, sering repot," jawab Karmadi, direktur operasional Matari Advertising. "Mereka juga sering minta honorarium mahal." Selain itu memang ada client yang tidak begitu senang memakai bintang film untuk mempromosikan produksinya. "Mereka takut, kelak hanya bintang filmnya saja yang terkenal, bukan produknya," tambah Brigitta Maria, bintang film, penanggung jawab modeling Matari. Untuk bintang film yang cukup terkenal, Matari biasanya memberi imbalan tertinggi Rp 2 juta. Yang tidak terkenal, Rp 30.000 saja. "Tapi ada juga yang hanya Rp 20.000 kalau yang bersangkutan hanya figuran," ungkap Karmadi. Menurut Baty Subakti, manajer bagian media Indo Ad, pengolahan film di Jakarta memerlukan antre panjang, sedang kualitasnya masih mengkhawatirkan. Sedang pengolahannya di luar negeri, "cepat, murah, dan baik kualitasnya," ungkap Baty. Awal Februari, Parfi mendekati Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P31). Kedua pihak, setelah terlibat pembicaraan hangat, menghimbau supaya produsen mengutamakan artis dan karyawan film Indonesia, dan agar pembuatan film iklan sebaiknya dikerjakan di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus