ANDA mungkin masih ingat Raden Sawito Kartowibowo. Ketika ia
ditahan, kemudian dihadapkan ke pengadilan, sementara media
massa sibuk memberitakan kisah dan jalannya perkara, di Sala ada
orang yang juga sibuk. Nama orang itu Titania (tanggung ini nama
samaran). Ia mengguntingi berita dan tulisan tentang Sawito --
dan beberapa bulan kemudian muncul satu buku berjudul Sawito,
Siapa, Mengapa Bagaimana. Isi buku: tak lebih dari isi surat
kabar dan majalah yang selama itu memberitakan Sawito.
Itulah sebuah contoh, bagaimana sebuah buku dipersiapkan dalam
waktu singkat dan kemudian buru-buru diterbitkan guna mengejar
aktualitas. Tak jelas kapan dimulainya, siapa yang memulai --
atau siapa tahu sejak kecelakaan pesawat terbang di Tinombala
pertengaban 1977. Yang jelas, tahun kemarin ternyata merupakan
masa ramai bagi buku semacam itu. Bisa dilihat di beberapa toko
buku, misalnya Gunung Agung.
Tujuan penerbitan buku kilat agaknya jelas. Kata Direktur PT
Bina Ilmu, Surabaya, yang 6 bulan terakhir ini telah menerbitkan
8 judul: "Saya dulu penjual koran dan majalah. Setiap ada berita
hangat, jualan saya habis terjual. Bahkan masih ada yang
mencari-cari." Dari situlah dulu ia menyimpan gagasan untuk
suatu waktu menerbitkan buku yang berkisah tentang masalah yang
lagi hangat. Dan memang laris.
Pertama, Oktober tahun lalu PT BI Surabaya itu menerbitkan
Musim Heboh Islam Jamaah. Hanya dalam waktu sebulan, buku itu
dicetak ulang dua kali -- setiap cetak 10 ribu eksemplar.
Harganya memang murah: Rp 300 (majalah ini misalnya, yang juga
menurunkan berbagai laporan tentang Islam Jamaah di beberapa
nomor 1979, harganya Rp 400), dan terbit pada waktu yang tepat:
masyarakat masih sibuk membicarakan Islam Jamaah. Persiapannya
pun kilat. Menurut penulisnya Anshari Thayeb, hanya 5 hari.
Kusni Kasdut
Pengalaman pertama itu mendorong PT BI menerbitkan dua buku lagi
tentang Islam Jamaah -- ditulis oleh bekas pembantu TEMPO itu
juga. Dan membuktikan, bahwa buku kilat rupanya sangat
tergantung aktualitas. Buku kedua, Korban-korban Islam Jamaah,
hanya dicetak 20 ribu. Yang ketiga, dengan judul yang agak
serem: Dalam Cengkeraman Amir Islam Jamaah, hanya terjual 10
ribu eksemplar. Memang, kecuali soal aktualitas, munculnya buku
dengan topik sama dari penerbit lain tentu saja merupakan
saingan. Kata H. Arifin Noor, Direktur PT BI itu kepada TEMPO
"Ini soal bisnis. Yang utama, bisa muncul lebih dahulu." Itulah
merasa menang waktu, buku tentang penyerbu Masjidil Haram
langsung dicetak 30 ribu --dan memang habis terjual.
Para penerbit buku kilat (jangan salah tangkap: mereka penerbit
biasa juga, yang menerbitkan buku-buku tidak kilat) agaknya
punya pengalaman yang sama. Agung Sasongko, 35 tahun, pemilik
Badan Penerbit Sasongko, Sala, yang menerbitkan buku Sawito yang
telah disebut, tak berani mencetak-ulang buku itu. Sekali cetak
10 ribu eksemplar, dan itu saja. "Mau cetak lagi, itu risiko,"
katanya. "Sudah ada buku tentang Sawito juga waktu itu,
diterbitkan oleh penerbit Semarang." Dan sambung orang yang juga
memegang pimpinan perusahaan penerbit surat kabar mingguan
Dharma Nyata itu: "Menerbitkan buku aktual seperti itu banyak
risikonya. Misalnya, dilarang beredar."
Itulah yang membuat buku kilat hanya mengambil topik tertentu,
dan menyuguhkan hal-hal yang sudah dimuat media massa
sebelumnya, agar aman. Bahkan H. Arifin Noor, Direktur PTBI, tak
berani menerbitkan buku tentang Kusni Kasdut. "Takut diperas
anak buah Kusni," katanya. Itu pula yang membatalkan Sasongko
menerbitkan tentang Rendra dan puisinya dan pemberontakannya.
"Takut dilarang beredar."
Tapi penulis buku kilat akan marah biia dituduh hanya mengulang
kembali ISI surat kabar atau majalah. Anshari Thayeb, Pemimpin
Redaksi majalah bulanan Semesta, yang kini telah memiliki
sebuah pesawat teve dan sebiji Vespa (hasil buku kilat, katanya)
dalam buku Islam Jamaah yang kedua juga melakukan wawancara
sendiri. Juga penulis buku Panca Agama di Indonesia -- buku
yang sempat sedikit menghebohkan -- H. Yusuf Abdullah Puar. Buku
Tinombalanya mungkin tergolong buku yang tidak begitu kilat.
Menurut pengakuannya, ia memerlukan waktu tiga bulan untuk
memperoleh bahannya, termasuk surat-menyurat dengan para korban
-- menanyakan riwayat hidup dan minta foto-foto.
Dalam soal mutu buku kilat, seperi ada kata sepakat. Abdullah
Puar mengaku tak cukup puas sebenarnya de ngan buku-buku yang
dia tulis dalam waktu singkat itu. Tapi ia maklum,
"kepentingan ideal terkadang mesti mengalah kepada kepentingan
komersial." Direktur PT BI, dan Anshari, penulisnya, sama-sama
mengakui "Buku kilat soal bisnis saja. Mutu nomor dua."
Rezeki yang disebarkan buku kilat memang lumayan. Sasongko,
penerbit Sawito itu, dengan harga buku Rp 1.250 mengaku untung
Rp 2 juta lebih -- ini sudah dipotong honorarium penulisnya Rp
750 ribu. Titania, penulis itu, yang juga menulis satu seri buku
tentang Bung Karno, mengaku biasa hidup sehari-hari bisa
tertunjang. "Malah saya bisa beli mobil, Mas," kata bekas
wartawan ini.
Yusuf Abdullah Puar, menurut penerbitnya mendapat 20% harga
netto. Hitung saja berapa ia dapat, kalau selama ini ia telah
menulis sekitar 20 buku, antara lain Peristiwa Lubang Buaya (600
ribu eksemplar) dan Tinombala. Lantas yang diterbitkan 1979/80
ini: Perjuangan Ayatullah Khomeini, Peristiwa Masjidil Haram,
Setengah Abad Bahasa Indonesia.
Hanya Telunjuk Kanan
Kecuali Peristiwa Lubang Buaya, buku yang lain rata-rata memang
hanya di cetak 5 ribu. Tetapi buku Puar terbitan PT Pustaka
Antara itu harganya memang di atas Kp 1.000. Bandingkan
misalnya dengan buku kilat terbitan PT BI, Surabaya, yang hanya
ratusan itu (yang mutakhir, Kemelut di Afghanistan, Rp 350).
Bila di antara yang kilat itu akan juga dibeda-bedakan mutunya,
rata-rata larangan Puar memang termasuk yang menempati urutan
di atas.
Di samping mendapat uang, sempat juga Puar, 63 tahun, mendapat
pengalaman menarik. Pensiunan pegawai Departemen Penerangan,
bekas Pemimpin Redaksi majalah Panji Masyarakat, Gema Islam
kemudian Harian Abadi itu, dengan bukunya tentang Khomeini (yang
kini mengalami cetak ulang) merarik perhatian Kedubes Iran.
Konon Kuasa Usaha Kedubes itu lantas menerjemahkan buku itu,
dikirim kepada Sang Ayatullah di Iran sana. Dan Abdullah Puar
diundang makan ke tempat tinggal Kuasa Usaha itu (di Jakarta),
sambil diberi tahu: Pemerintah Iran senang dan Puar diundang
mengunjungi negeri itu.
Tapi bapak haji ini lantas pingsan -- bukan karena diundang ke
Iran, melainkan penyakit gula dan infeksi di kakinya kambuh.
Karena itu ia masuk RS Fatmawati. Itu pula sebabnya Peristiwa
Masjidil Haram praktis diketiknya dengan hanya jari telunjuk
tangan kanan -- karena sekeluar dari rumah sakit tangan kirinya
jadi tak bertenaga. Toh, sehari 5 halaman folio bisa
diselesaikannya (biasanya dengan sepuluh jari ia menyelesaikan
10 halaman).
Entah sampai kapan musim buku kilat ini. Sebuah usaha yang
trampil -- meski sering sekali tak disertai tata-krama kepada
pihak yang lebih dulu bersusah-payah mengumpulkan bahan. Isi
majalah TEMPO misalnya, juga foto-fotonya, dicaplok begitu saja
tanpa menyebut sumber. Memang ada yang tidak. Abdullah Puar
misalnya, untuk buku-bukunya memerlukan mengadakan hubungan
dengan beberapa pihak di dalam maupun luar negeri, di samping
menimba pengetahuannya sendiri tentang latar-belakang. Sayang
tak semuanya begitu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini