60 buah grafis bergantung di Gedung PWI Bandung, 8 s/d 14
Agustus. Pendukungnya para lulusan ITB: Hariyadi Suadi, T.
Sutanto, Bachtiar Sofwandi, Priyanto S, Moh. Marzuki, Setiawan,
Agus Cahyono, Wagiono, Rusmadi, Ny. Chairin Hayati Yudha, Ny.
Ardiani. Plus Diddo Kusdinar, Djodjo Gozali dan Kusbini Syam,
yang meskipun belum lulus tapi termasuk dalam kelompok Generasi
Grafis 6571. Maksudnya periode 1965-1971.
Jurusan Seni Grafis memang mulai ada di ITB tahun 1965 -- dengan
mahasiswa pertama Hariyadi Suadi dan T. Sutanto. Dan kemudian
dipecah dua: Jurusan Disain Grafis dan Jurusan Seni Grafis. Yang
pertama lebih menitikberatkan pada bidang grafis guna (applied),
yang kedua pada grafis murni. Ternyata animo mahasiswa lebih
banyak ke Disain Grafis -- agaknya karena menjamin masa depan.
Maka Seni Grafis pun mengalami satu masa yang guram. Mungkin
karena merasakan 'pukulan' dari Disain Grafis, tapi mungkin
juga, menurut beberapa mahasiswa karena kurang adanya perhatian
dari pengajar yang juga melemahkan semangat berkarya. Melihat
perkembangan yang makin menjurus ke arah macet total, Setiawan
kemudian mengambil prakarsa menghubungi alumni Seni Grafis untuk
berpameran -- sekalian ingin menyatakan bahwa seni grafis masih
ada.
"Masyarakat Indonesia belum begitu banyak yang mengenal apa itu
seni grafis," ucap drs. Setiawan, koordinator pameran. Ia
menyatakan bahwa meskipun memang muda, tapi seni grafis sudah
dikenal di Indonesia sejak 1946. Dedeng kotnya antara lain
Mochtar Apin, Suromo, Abdul Salam dan Baharudin. Kurang
populernya seni tersebut di masyarakat oleh Setiawan dipulangkan
kepada kenyataan bahwa memang para sarjana seni grafis sedikit
sekali yang terjun sebagai seniman grafis.
Hariyadi & Sutanto
Tak kurang dari 20 sarjana grafis yang sudah dicetak ITB. Dan
belakangan ini mereka kelihatannya mulai repot untuk menunjukkan
gigi. Seni grafis sendiri memiliki potensi yang baik untuk akrab
dengan masyarakat, karena sifatnya yang dapat diperbanyak. "Seni
grafis adalah ungkapan pribadi melalui media seni cetak," kata
Setiawan menjelaskan. Dengan mesin cetak, setiap gambar yang
dihasilkan dapat diperbanyak sampai jumlah kopi tertentu. Setiap
kopi diberi nomor dan ditandatangani penciptanya. Sehingga
sebuah karya mempunyai kemungkinan dimiliki banyak orang.
"Seni grafis erat hubungannya dengan surat kabar, jadi
perkembangannya harus kita ketahui," ujar Yayat Hendayana, wakil
ketua PWI Bandung memberi komentar. Komentar ini menjelaskan
mengapa PWI itu terlibat. Sementara para seniman grafis sendiri
agaknya sadar bahwa mereka tidak mungkin bisa populer kalau
tidak langsung menggertak.
Ke-13 orang yang terlibat pameran ini, adalah mereka yang masih
memiliki api untuk menegakkan seni grafis murni. Di antara
mereka terdapat dedengkot yang pernah mendapat penghargaan di
luar negeri. Di samping semangatnya yang harus dicatat, nama
Hariyadi Suadi dan Sutanto perlu pula mendapat perhatian khusus.
Kedua orang ini telah mencapai taraf di mana teknik tidak
menjadi beban lagi. Dengan demikian mereka telah berekspresi dan
menghasilkan karya-karya yang mantap.
Tetapi mengapa pameran diselenggarakan di luar kampus -- sedang
sebagian besar peserta orang-orang ITB, dan ITB juga punya
galeri pameran yang baik? Setiawan secara diplomatis menjawab:
"Untuk memasyarakatkan Seni Grafis." Padahal agaknya bukan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini