Melaju bahtera laju, bersama angin utara. Menuju pulau-pulau di
timur nun jauh li sana. Lihatlah cahaya air, gemilang di sinar
surya....
BEGITU dulu ia berdendang, mengalun, berat tapi empuk,
melengking tapi lentur. Getaran suaranya menawarkan suasana
romantik dan syahdu. Hatiku gembira, melihat bunga nan indah,
tersebar di taman firdausi. Juwita wangi menyejuk jiwa....
Sang pendendang lagu-lagu Melayu kini benar-benar telah berlayar
nun jauh ke sana, mungkin juga sudah sampai di taman firdausi.
Penyanyi itu, Said Effendi, 58 tahun, yang pernah mempesona para
penggemarnya sampai di Singapura dan Malaysia, telah tiada. Ia
meninggal Senin tengah hari pekan lalu di RS Persahabatan,
Jakarta, setelah dirawat beberapa hari.
Mula-mula mengidap asthma, disusul paru-paru dan lever, Effendi
yang kalau pergi dari rumah suka alan kaki itu, juga menderita
sakit jantung. Sejak 3 atau 4 tahun terakhir, sudah jarang
menyanyi, Effendi selalu sulit tidur. "Kadang-kadang pukul 2
pagi bangun minta makan," tutur Zalecha, 50 tahun, istrinya yang
sampai akhir minggu lalu masih sering menangis bila teringat
suaminya yang gemar sambal terasi itu.
Suasana duka-cita memang masih menyclimuti rumah sederhana di
ujung gang sempit di pinggir selokan, yang kumuh di kawasan
Kramat Pulo Dalam Jakarta Pusat. Di sanalah Almarhum Said
Effendi dengan istri, 6 anak dan 2 cucunya tinggal. "Pada
hari-hari terakhir ia selalu ingin dekat dengan saya.
Kepergiannya sangat tiba-tiba dan tidak meninggalkan pesan
apa-apa," kata Zalecha lagi.
Sekitar 30 tahun lalu, Zalecha - anak Mak Bibah (nenek violis
Idris Sardi) yang pernah menJadl blntang rombongan sandiwara
Fifi Young Toneelkunst - sering menyanyi berduet dengan Effendi.
Untuk Zalecha yang berdarah Halmahera-Ternate tapi lahir di
Madiun itu, Effendi menciptakan sebuah lagu kenangan yang sangat
romantis dan terkenal: Salam Mesra dari Halmahera.
Sekitar 40 buah lagu (antara lain Asmara Dewi, Bahtera Laju,
Lagu Rindu, Timangtimang, Potong Padi, Hanya Nyanyian) pernah ia
ciptakan. Tapi Effendi juga dikenal tak suka membuat lagu-lagu
pesanan. Mungkin karena ini ia selalu menjiwai nyanyian-nyanyian
yang ia bawakan yang sebagian besar ciptaannya sendiri. Dan
karena itu pula ia menjadi pujaan khalayak, terutama para
penggemar irama Melayu.
Di kalangan pengusaha rekaman, Effendi dikenal sebagai penyanyi
yang teguh pendirian. "Kalau tidak Rp 100.000 satu lagu, ia
tidak mau, meskipun sedang kecepet tak punya uang," kata anak
sulungnya Usmansyah, 27 tahun, menirukan pendapat Munif,
pengurus Yayasan Musik Melayu Indonesia. Dua kasetnya yang
terbaru, produksi Flower Sound (1978) berjudul Bunga Hati dan
Seroja. Sementara itu di Kualalumpur (1982) terbit pula sebuah
piringan hitamnya, Jumpa Mesra, bersama Ahmad Jais, penyanyi
Malaysia terkenal.
Banyak orang mengira Said Effendi orang Medan. Apalagi kalau
orang mendengar dialek bicaranya sehari-hari. Di masa jayanya ia
bahkan perna-h diklaim sebagai penyanyi Malaysia dan diburu
seiumlah gadis cantik ketika melawat ke negara tetangga itu.
Lagu-lagunya memang melantunkan warna kawasan sekitar Medan,
Sumatera Timur atau Semenanjung Malaysia. Dengarkan misalnya:
Mari menyusun seroja bunga seroja, hiasan sanggul remaja putri
remaja. Rupa nan elok dimanja jangan dimanja ....
Sesungguhnya Effendi, lahir di Besuki, Jawa Timur pada 28
Agustus 1925. Pada usia 5 tahun suaranya yang lantang sudah
dikenal orang sekampung sabagai muazin sembahyang subuh di
surau. Selain pernah menjadi nelayan, ayahnya juga pernah
menyuruh dia berdagang masuk-keluar kampung. Dalam
"pengembaraan" itulah ia berjumpa dengan seseorang yang kemudian
mendidiknya menjadi penyanyi.
Pernah bergabung dengan rombongan sandiwara Deui Mada pimpinan
Said Kelana (bapaknya kelompok The Big Kids itu), Effendi
akhirnya memantapkan karirnya sebagai penyanyi irama Melayu
ketika ia diterima sebagai penyanyi Orkcs Studio Jakarta, 1948.
Dari Sal Saulius, rekannya menyanyi di RRI Jakarta, Effendi
belajar membaca dan menulis not hingga dapat mencipta lagu. Lagu
pertamanya Asmara Dei, 1948. Tapi namanya yang kian meroket
sejak saat itu, ternyata tak disertai penghasilan yang memadai.
Pernah Orkes Melayu Irama Agung yang dipimpinnya mencetak
beberapa piringan hitam berisi lagu-lagunya. Ketenarannya
mendorong beberapa produser film menarik dia sebagai pemain
pembantu. Dan kemudian Asrul Sani mempercayakan peran utama film
Titian Serambut Dibelah Tujuh kepadanya.
Namun ia tetap lebih dikenal sebagai penyanyi bersuara emas.
Bahkan tahun-tahun di akhir hayatnya dalam beberapa kesempatan
suaranya tetap memikat. Cuma napasnya mulai agak payah.
Sejak Maret 1980 bekerja sebagai pengurus Kine Klub TIM. Setahun
kemudian Effendi diangkat sebagai pegawai negeri yang langsung
dipensiunkan - seperti halnya Pak Besut, komentator berbahasa
Jawa dari RRI Yogyakarta itu. Nafkah tambahan ia peroleh dari
berjualan barang-barang antik dan alat-alat musik. "Kalau dapat
duit ia lalu mengajak saya jalan-jalan ke Proyek Senen," kata
Zalecha mengenang.
Sebagai pengurus Kine Klub, rupanya cukup membahagiakan. Setiap
kali organisasi penggemar film-film pilihan itu menyelenggarakan
pekan film, Effendi selalu berusaha menyenangkan seluruh
keluarga bahkan tetangga-tetangganya dengan mentraktir mereka
nonton. Para tetangganya memanggil dia dengan sebutan akrab "Oom
Pendi". Ketika akhir minggu lalu masih ada saja yang bertamu di
rumah sederhana itu, beberapa anak kecil berkata: "Banyak amat
sih tamunya Oom Pendi". Seolah-olah Said Effendi masih berada di
tengah-tengah mereka.........
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini