SETELAH tujuh kali dilaksanakan ujian sekolah atau EBTA, tahun
1979 muncul perdebatan perlu tidaknya kembali ke ujian negara.
Hal itu terlontar dalam suatu pertemuan Kakanwil P & K selruh
Indonesia di Jakarta, April 1979. Untuk mencari standar kualitas
sekolah dan dengan demikian mendorong meningkatkan mutu, begitu
alasan yang pro ujian negara.
Tapi kala itu keberatan pun tak kurang seru dilancarkan. Antara
lain datang dari Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) waktu itu, Prof. Dr. Setijadi.
Panitia ujian yang selalu berubah tiap tahunnya, membuat
kualitas soal tak ajeg, kata Setijadi. "Maka dulu dikenal ada
tahun ujian mudah, ada tahun ujian sukar," tambahnya.
Soal standar mutu itu pula yang kini disebut-sebut Prof. Darji
Darmodiharjo, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Dr.
Benny Soeprapto, Direktur Pendidikan Umum. "Ujian sekolah atau
EBTA itu standarnya macam-macam, tergantung sekolahnya," kata
Benny. Kini meskipun paket soal dibuat banyak tapi yang membuat
satu panitia. Dan telah diperhitungkan dengan derajat kemudahan
dan kesulitan yang sama tiap paketnya.
Ditambah oleh Darji, dengan EBTA memperlonggar disiplin guru
untuk memberikan pelajaran sesuai Kurikulum 1975 yang berlaku.
"Ebtanas membuat guru dituntut untuk memenuhi materi kurikuata
Dirjen PDM ini.
Para guru dan kepala sekolah ternyata terbagi dua pula: yang pro
dan kontra ujian negara. Yang setuju antara lain mempunyai
alasan, "tidak semua guru mampu membuat soal yang benar-benar
baik," kata Sasmita pimpinan SMA Bruderan, Purwokerto, Jawa
Tengah. Guru yang lain bilang, selain penanggulangan kebocoran
kini bisa dilokallsasi di satu tempat, ujian negara memperingan
sekolah untuk tak usah memikirkan biaya ujian.
Tapi Mohammad Siid almarhum, salah satu sesepuh Perguruan Taman
Siswa pernah mengatakan, buat apa ujian negara kalau guru-guru
sendiri bisa membuat soal yang benar-benar menilai kemampuan
murid-muridnya. Pak Said, tentu saja, bertolak dari kebersihan
hati. Sebab, ada yang mengkhawatirkan penilaian soal ujian yang
dibuat guru setempat dan dinilai oleh guru itu pula, bisa jadi
hanya bertujuan meluluskan muridnya. Hubungan pribadi antara
murid dan guru pastilah menimbulkan efek psikologis juga.
Cuma, efek psikologis ujian negara bukannya tak ada. Dengan
ujian dari pusat ini harga ijazah yang kini disebut STTB (surat
tanda tamat belajar) naik. Dan karena itu dorongan Untuk
memperolehnya - dan sayang bukan hanya dengan cara belajar yang
baik -- seperti dipacu. Maka antara STTB dan kemampuan
sesungguhnya dari pemegangnya bisa jauh berbeda.
Di balik perdebatan itu semua masalah dasarnya memang soal mutu
sekolah. Sumber TEMPO di Ditjen PDM mengakui, untuk menampung
ledakan anak-anak sekolah, banyak sekolah swasta maupun negeri
diizinkan berdiri dengan syarat yang kurang. Bila kenyataannya
adalah itu, ujian jenis apa pun untuk meningkatkan kualitas,
boleh tinggal sia-sia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini