Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Ebta, Mutu Sekolah Dan Ijazah

Pro dan kontra tentang perlu tidaknya ujian negara menurut beberapa tokoh pendidikan. (pdk)

23 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH tujuh kali dilaksanakan ujian sekolah atau EBTA, tahun 1979 muncul perdebatan perlu tidaknya kembali ke ujian negara. Hal itu terlontar dalam suatu pertemuan Kakanwil P & K selruh Indonesia di Jakarta, April 1979. Untuk mencari standar kualitas sekolah dan dengan demikian mendorong meningkatkan mutu, begitu alasan yang pro ujian negara. Tapi kala itu keberatan pun tak kurang seru dilancarkan. Antara lain datang dari Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) waktu itu, Prof. Dr. Setijadi. Panitia ujian yang selalu berubah tiap tahunnya, membuat kualitas soal tak ajeg, kata Setijadi. "Maka dulu dikenal ada tahun ujian mudah, ada tahun ujian sukar," tambahnya. Soal standar mutu itu pula yang kini disebut-sebut Prof. Darji Darmodiharjo, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Dr. Benny Soeprapto, Direktur Pendidikan Umum. "Ujian sekolah atau EBTA itu standarnya macam-macam, tergantung sekolahnya," kata Benny. Kini meskipun paket soal dibuat banyak tapi yang membuat satu panitia. Dan telah diperhitungkan dengan derajat kemudahan dan kesulitan yang sama tiap paketnya. Ditambah oleh Darji, dengan EBTA memperlonggar disiplin guru untuk memberikan pelajaran sesuai Kurikulum 1975 yang berlaku. "Ebtanas membuat guru dituntut untuk memenuhi materi kurikuata Dirjen PDM ini. Para guru dan kepala sekolah ternyata terbagi dua pula: yang pro dan kontra ujian negara. Yang setuju antara lain mempunyai alasan, "tidak semua guru mampu membuat soal yang benar-benar baik," kata Sasmita pimpinan SMA Bruderan, Purwokerto, Jawa Tengah. Guru yang lain bilang, selain penanggulangan kebocoran kini bisa dilokallsasi di satu tempat, ujian negara memperingan sekolah untuk tak usah memikirkan biaya ujian. Tapi Mohammad Siid almarhum, salah satu sesepuh Perguruan Taman Siswa pernah mengatakan, buat apa ujian negara kalau guru-guru sendiri bisa membuat soal yang benar-benar menilai kemampuan murid-muridnya. Pak Said, tentu saja, bertolak dari kebersihan hati. Sebab, ada yang mengkhawatirkan penilaian soal ujian yang dibuat guru setempat dan dinilai oleh guru itu pula, bisa jadi hanya bertujuan meluluskan muridnya. Hubungan pribadi antara murid dan guru pastilah menimbulkan efek psikologis juga. Cuma, efek psikologis ujian negara bukannya tak ada. Dengan ujian dari pusat ini harga ijazah yang kini disebut STTB (surat tanda tamat belajar) naik. Dan karena itu dorongan Untuk memperolehnya - dan sayang bukan hanya dengan cara belajar yang baik -- seperti dipacu. Maka antara STTB dan kemampuan sesungguhnya dari pemegangnya bisa jauh berbeda. Di balik perdebatan itu semua masalah dasarnya memang soal mutu sekolah. Sumber TEMPO di Ditjen PDM mengakui, untuk menampung ledakan anak-anak sekolah, banyak sekolah swasta maupun negeri diizinkan berdiri dengan syarat yang kurang. Bila kenyataannya adalah itu, ujian jenis apa pun untuk meningkatkan kualitas, boleh tinggal sia-sia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus