Hakim: Siapa yang menghendaki perceraian ini
Ny. LF: Saya.
Hakim: Barangkali Bapak yang mandul, sudah diperiksa dokter?
Ny. LF: Sudah, saya yang kurang subur.
(PR, Dari Sidang Pengadilan Agama, 22 Maret).
WANITA muda bertubuh gempal itu gelisah, melirik ke arah ruang
sidang, lalu bertanya kepada wanita lain yang duduk di ruang
tunggu itu: "Ada wartawan?" Dia nampak lega, ketika mengetahui
bahwa hari itu, Kamis minggu lalu, sidang perceraian di
Pengadilan Agama Kodya Bandung tak dihadiri seorang pun yang
namanya wartawan - yang selama ini selalu berkerumun di situ.
Di pintu masuk ruang sidang, sejak tiga hari sebelumnya sudah
tertempel kertas stensil ditulis dengan spidol merah, isinya:
melarang wartawan menghadiri sidang perceraian. Ketentuan ini,
menurut Achmad Sudjono, SH. ketua Pengadilan Tinggi Agama Jawa
Barat dan DKI Jakarta, berlaku untuk seluruh daerah yang
dibawahkannya. Malah mestinya berlaku di seluruh Indonesia,
katanya karena menurut peraturan pelaksanaan undang-undang
tentang perkawinan (pasal 33 PP No. 9/1975) sidang perceraian
harus dilakukan secara tertutup.
Kalau sidang itu dilakukan terbuka seperti selama ini di Bandung
atau di kota lainnya, menurut Sudjono, adalah karena kekeliruan.
"Akibatnya, rahasia ranjang pun masuk koran," katanya pula.
Bukan hanya itu. Di Bandung pernah terjadi, seorang wanita
minggat dari ruang sidang, karena terus-terusan dipotret
wartawan. Ia baru masuk lagi setelah diyakinkan hakim, "sidang
akan dilanjutkan tertutup," seperti cerita Mahyudin Ramli, ketua
PA Kodya Bandung.
Tapi setelah kejadian itu sidang terbuka lagi. Kenapa? "Saya
sungkan mengusir wartawan dan memang tidak tahu kode etik pers,"
kata Mahyudin terus terang. Padahal diakuinya, selama ruang
sidang dikerumuni wartawan, urusan jadi tak lancar. Di Cimahi,
misalnya, sering-sering keterangan tidak lengkap didapat di
ruang sidang. Terpaksa hakim menerima penjelasan yang "anuanu"
itu di ruang kerjanya. "Untuk menghindari kuping wartawan," ujar
Haji Muhammad Sohib, ketua PA Kabupaten Bandung.
Memang terkadang berita koran ada manfaatnya. Sohib pernah
menerima surat lamaran dari seorang duda di Jakarta, yang
ditujukan pada seorang wanita yang baru bercerai. Itu hanya
karena koran memuat berita dan foto janda itu ketika bersidang
di pengadilan. "Sekarang mereka sudah saya kawinkan, kata Sohib
sambil tertawa.
Koran Bandung yang menyediakan ruangan tetap untuk sidang itu
nampaknya agak repot juga. Pikiran Rakyat (PR), seperti
dikatakan pimpinan redaksinya, Soeharmono Tjitrosoewarno, belum
bisa memastikan nasib rubriknya itu. "Masih lihat perkembangan,"
katanya. Koran beroplah terbesar di Ja-Bar itu, setiap Selasa
memuat rubrik "kawin-cerai" di halaman II dengan judul, "Dari
Sidang Pengadilan Agama" - dimaksudkan sebagai selingan bagi
pembaca setelah membaca berita serius. Karena itu dicari kisah
yang lucu dan ringan, "tapi tidak porno," ujar Soeharmono. Nama
orang pun di situ ditulis dengan singkatan dan tanpa foto.
Harian Mandala - memuat rubrik itu setiap Selasa - paling
"garang" dan rajin menggunakan berbagai istilah jorok di dalam
bahasa Sunda. Misalnya, "ngotok-ngowo" untuk hidup bersama tanpa
nikah, "si ujang" untuk alat vital lelaki, atau janda "bengsrat"
untuk wanita yang tetap perawan meski sudah nikah. Dialog yang
terjadi di depan sidang, yang mestinya tertutup untuk umum itu,
kadang kala ditulis secara lengkap. Kadang-kadang foto wanita
yang baru jadi janda juga dipajangkan.
Keterlaluan? "Ah, itu kan susah mengukurnya," kata Alvertoeng,
redaktur pelaksana koran itu. Yang jelas, menurut Toeng, Mandala
tidak pernah menerima protes dari yang bersangkutan. Malah
menurut Roy S, salah seorang wartawannya yang serin meliput
berita pengadilan agama, banyak para janda seusai sidang meminta
cerita dan fotonya dikorankan. "Mungkin untuk mempromosikan dia
baru saja jadi janda," katanya.
Ketika Mandala mulai memuat cerita begini, tiga tahun yang lalu,
foto wanita sengaja dimuat dengan mata dihitamkan. Ternyata,
menurut Roy, wanita-wanita itu datang memprotes: merasa
disamakan dengan penjahat.
Nyatanya, menurut Toeng lagi, berita dari ruang sidang
pengadilan agama sekarang digemari pembaca. Hal itu dibenarkan
Redaktur Pelaksana Gala Dadang Bainur "Itu diketahui dari
permintaan agen koran di daerah," katanya. Karena itu sejak tiga
tahun lalu, Gala memuat rubrik ini di halaman depan setiap hari,
dan bahan cerita datang dari pengadilan-pengadilan agama di
Ja-Bar.
Karena itu, walaupun sekarang sumbernya sudah tertutup, setiap
hari Gala masih muncul dengan rubrik kawin-cerai tadi. Tapi
beritanya berasal dari sidang-sidan sebelumnya - rupanya punya
banyak stok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini