Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Guru, tanpa tanda jasa

Juara harapan lomba himne guru, ciptaan sartono. dari 341 naskah lagu yang memulai syarat hanya 2 lagu berhasil menang sebagai juara harapan i dan ii.

13 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAPAK dan ibu guru sekarang sudah dibikinkan lagu. Semua anak sekolah akan menyanyikannya, sambil -- mudah-mudahan -- membangun kembali penghormatan kepala guru yang selama ini dikatakan merosot. Itulah memang yang diharap para juri lomba himne guru -- lebih-lebih Menteri P&K, yang memprakarsainya -- ketika pengumuman para pemenang lomba diberikan pertengahan Agustus lalu. Dari saat pembukaannya di bulan Maret, sampai penutupannya pada 7 Juli, berhasil didaftar 341 naskah lagu yang dianggap memenuhi syarat. Namun yang bisa dimenangkan ternyata tak lebih dari hanya dua peserta -- itu pun untuk kedudukan juara-juara harapan I dan II: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa oleh Sartono, Madiun, dan Lagu Untuk Guru karya Sancaya H.R., Depok, Bogor. "Itulah bukti bahwa pelajaran seni suara belum mengakar di masyarakat," kata Ibu Sud, salah seorang juri, kepada TEMPO -- kalau bukan malah bukti pelajaran tersebut mengalami kemerosotan. Tetapi lagu pemenang pertama misalnya, terhitung bagus. Ini juga diakui baik oleh Ibu Sud maupun Trisutji Djuliati Kamal, juga anggota juri yang merangkap wakil ketua. (Juri-juri lain: Daeng Sutigna, Mus K. Wirya, P. Gitomartoyo, Praharyawan Prabowo, Frans Haryadi, F.X. Sutopo yang juga sekretaris, dan J.A. Dungga yang juga ketua). "Komposisinya cukup kuat, tidak ruwet. Dan liriknya -- wah, bagus sekali," kata Trisutji. Atau "syair itu cocok sekali dengan melodinya," kata Ibu Sud. Di atas segala-galanya pantas dinyanyikan anak TK sampai mahasiswa -- sebagai syarat penting dalam lomba. Memang, bisa dirasakan sedikit kejutan di bagian akhir, setidaknya bagi telinga konvensional. Baris penutup yang berbunyi: Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tarlda jasa, bisa terasa sebagai tambahan untuk sebuah lagu yang sudah selesai. Atau, karena kalimat itu bagus, tidak bisakah dijadikan ganti syair di atasnya yang berbunyi Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan, yang betapa pun terasa layu -- sementara melodi buntut dicoret? Masalahnya baik para juri maupun penggubahnya sendiri di Madiun, menyatakan lagu itu memang sudah diperbaiki -- "disempurnakan". Bait kedua misalnya digeser menjadi bait ketiga dan sebaliknya. Sedang baris pertama dalam naskah asli yang berbunyi Terpujilah kau, "Ibu dan Bapakku" diubah menjadi Terpujilah engkau, ibu bapak guru. Lalu kejutan di bagian akhir tadi tak lain karena satu baris (dan melodinya) sebelum penutup, dicoret. Syair di situ berbunyi Sembah sujud anaknda, dirgahayulah kau -- yang memang bisa dikira "kelewat feodalistis". Apa kata penggubahnya? "Setelah saya rasakan, memang lebih baik." Sartono juga menirukan kata-kata seorang anggota tim tentang pengubahan itu "Supaya lebih modern dan lebih baru." Ia menerima saja. "Terserah, mereka 'kan ahli musik." Tapi keharusan pengubahan itulah yang menyebabkan lagunya tak berhasil menduduki kejuaraan I, II ataupun III -- meski himne yang telah disempurnakan itu untungnya tetap saja terasa sebagai punya Sartono. Orang ini berumur 40 tahun. Hanya tamat SMP, tapi memperoleh ijazah SMA sebagai peserta ekstra, ia mengajar di SMP Katolik St. Bernardus di kotanya -- selain memberi kursus di 20 grup di sore hari, mengajar mulai angklung, kolintang sampai elekton. Pernah jadi juara II lomba lagu RRI 1969, tokoh ini anehnya tak punya alat musik sama sekali --gitar akustik sekali pun. Lagunya yang diikutkannya lomba itu pun disusunnya selama sebulan tanpa alat -- "ya saya rasakan saja solmisasinya," katanya. Piano Anak Majikan Ia seorang suami (sejak 1971) yang belum dikurniai anak. Beragama Islam dan berasal dari keluarga tak mampu. Bahkan pernah jadi pembantu rumah tangga di Surabaya ketika berumur belasan tahun. Tapi justru di sinilah kisah bermula tuannya punya piano, bahkan mendatangkan guru piano berkebangsaan Belanda. "Kalau anak majikan lagi belajar piano, saya disuruh menunggui." Tapi ia tak berani menyentuh alat itu. Pulang ke Madiun, ia diajak Y. Kusnun membentuk orkes pemuda kampung -- diserahi bas jegug. "Karena saya belum pernah memegang alat itu, maka supaya cepat bisa basnya disuruh bawa pulang." Kusnun sekarang pemain piano tunggal di Hotel Hilton, Jakarta. Setelah itulah Sartono mulai memegang alat musik lain. Orang yang mengaku hanya belajar dari buku-buku musik ini -- "itu pun yang berbahasa Indonesia," katanya -- mengagumi Himne Kemerdekaan gubahan Ibu Sud yang baginya merupakan himne terbaik selama ini. Ia mengikuti sayembara karena memang tertarik oleh besarnya hadiah -- dan sekarang ini ia mengantungi Rp 750.000. Ia memang mengakui tidak tertarik menciptakan lagu sekedar untuk diserahkan ke studio atau hanya diperkenalkan lewat tv. "Waktunya tidak ada. Tapi kalau ada perangsangnya begini, ya kita sediakan waktu khusus," katanya. Tapi adakah para murid, setelah menyanyikan lagu ini nanti, jadi naik rasa hormatnya kepada para guru? "Ah rasanya kok biasa-biasa saja. Malah rasanya kok lagu saya ini kurang menyentuh," katanya dengan polos. Ia sendiri ketika mencipta tidak terpancang pikirannya pada tingkah polah murid di sekolah, misalnya. Juga syairnya bukan lahir dari pengalaman -- tapi pengamatan. Ceritanya ada teman istrinya, sudah pensiun, hidupnya telantar. Sampai harus mendatangi teman-temannya untuk bisa memperoleh baju bekas. "Terus terang, dari sinilah lahirnya syair baris terakhir itu" -- yang memang dengan tepat menjadi judul lagu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus