SUKARNO, MY FRIEND
0leh: Cindy Adams, Gunung Agung (s) PTE Ltd,
322 halaman dengan gambar, Singapura, 1980.
ADA yang selalu tak tersangka-sangka tentang Bung Karno. Salah
satunya nasionalis kelas satu ini ternyata menyukai karya orang
asing kelas dua.
Beberapa patung yang dipasangnya di Jakarta -- dari pemahat
Italia, Jepang dan Uni Soviet --adalah hasil seni yang kosong,
buatan orang-orang yang entah kenapa dipilih. Film yang
digemarinya adalah film Hollywood, hasil imajinasi orang-orang
yang entah kenapa dipuja. Dan kemudian, otobiografi yang
disusunnya adalah hasil penulisan seorang wartawan wanita
Amerika yang entah dari mana dipungut.
Ya, dari mana? Cindy Adams, wartawan wanita itu, datang ke
lndonesia pertama kali dengan dwi-fungsi. Fungsi pertama:
sebagai istri. Dia mengikuti suaminya, Joey Adams, yang membawa
satu rombongan hiburan keliling Asia -- suatu program yang
disponsori Deparlu AS. Fungsi kedua: sebagai reporter sebuah
kantor berita yang bernama NANA.
Fungsi kedua ini mula-mula tentulah fungsi "sambil lalu". Itu
tak berarti Cindy Adams wartawan tanpa ketrampilan dan tanpa
pengalaman. Hanya dia sendiri tahu bahwa dia bukan tokoh top.
Maka semua orang pun heran bahwa Presiden Soekarno, tokoh dunia
itu, kontan mengabulkan permintaan Cindy untuk berwawancara.
Cewek Bego
Dan orang lebih heran lagi ketika kemudian Bung Karno memilih
Cindy untuk jadi penulis riwayat hidupnya. Duta besar Zairin
Zain di Washington sampai beberapa waktu tak mempercayai
kenyataan itu. Departemen Penerangan di bawah Ruslan Abdulgani
dan Direktorat Penerangan Deparlu di bawah Ganis Harsono
mula-mula tak mau menyahut telepon Cindy. Ny. Aminah Hidajat,
tokoh politik wanita yang bergaris kiri waktu itu memandang si
wartawan Amerika dengan skeptis, dan sambil mengunyah sirih
bilang: "Mmmmm."
Tapi yang kedengarannya mustahil ternyata tidak: Bung Karno,
Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, memang telah menjatuhkan
pilihannya kepada diri Jocy Adams. Joey sendiri bertanya kepada
Bernie Kalb, wartawan CBS terkemuka yang sudah lama pulang balik
Hong Kong-Jakarta-Saigon, kenapa bukan penulis kclas dia yang
dipilih. Jawab Kalb: Bung Karno memilih Cindy karena Cindy
adalah cewek menarik bermata lebar yang nampak bego.
Cindy, dalam kata-kata Bernie Kalb yang tak dibantahnya, memang
bukan "jenius yang pandai menganalisa politik Indonesia". Ia tak
tahu mana si hitam mana si putih, dan pengetahuannya tentang
Indonesia tak teramat jauh dari pengetahuan neneknya tentang
negeri nun di khatulistiwa itu. Ketika Cindy dengan hati bungah
memberitahu neneknya bahwa ia dapat undangan dari seorang
presiden, sang nenek Yahudi itu bertanya, "Dari sinagog mana?".
Ketika Cindy memberitahu bahwa Presiden Soekarno bukan Yahudi,
melainkan Muslim, sang nenek kembali bertanya, "Orang Arab?"
Tak mengherankan bila Cindy datang ke Indonesia dengan mata
seorang Amerika yang mirip lensa kamera yang belum dicocokkan.
Buku ini ditulis dengan pandangan tajam untuk memperoleh
anekdot. Dan Cindy memang lucu.
Tapi bagian yang dimaksudkannya untuk paling kocak ialah
kisah-kisah pendeknya tentang tidak efisiennya seorang
Indonesia. Beberapa tahun yang lalu, ketika saya membaca cetakan
pertama buku ini, saya merasa sakit hati bagi istri Joey Adams
ini, hampir tiap adegan yang dialaminya di Indonesia adalah
bagian dari comedy of errors. Dan Bung Karno, secara tak
berterima-kasih, hanya dilukiskannya sebagai aktor utama sebuah
panggung yang tak serius.
Tapi entah kenapa kini saya lebih bisa menikmatinya. Cindy
memang gemar menertawakan kekacauan birokrasi Indonesia, tapi ia
bisa juga mentertawakan dirinya sendiri. Cindy memang telah
menampilkan Bung Karno sebagai anak besar yang manja dan nakal,
sekaligus seorang raja tua yang ingin hiburan dan kesepian tapi
dengan itu justru Bung Karno tampil sebagai manusia biasa --
suatu gambaran yang tak jauh berbeda dari kisah-kisah Guntur
tentang bapaknya.
Antara Cindy dan Soekarno nampaknya terdapat kontak yang baik:
keduanya (paling tidak menurut pengakuan Cindy) bisa bertengkar,
tapi bisa mesra. Seks? Tidak ada, kata Cindy. Hanya Bung Karno
pernah menciumnya di bibir -- lalu, setelah Cindy menolak halus
meneruskan hubungan mereka secara "platonis". Tapi apapun
sebenarnya perasaan Cindy kepada Bung Karno, yang terlukis dari
keseluruhan buku ini ialah profil seorang penguasa yang bisa
menyenangkan tapi juga tragis. Ia tak berhati jahat.
Kesalahannya mungkin: ia terlalu lama di tahta.
Maka tak begitu mengherankan bila buku ini bisa mengharukan
ketika melukiskan Bung Karno di hari-hari terakhir kejayaannya.
Dewi dan Radio Kecil
Cindy Adams dan suaminya kembali ke Jakarta dari AS Januari
1966. Bukunya, Sukarno: An Autobiography as told to Cindy Adams
dua bulan sebelumnya terbit -- tepatnya sebulan setelah
peristiwa berdarah G-30-S -- dan Bung Karno sangat menyukai
karya Cindy ini. Lalu setasiun TV Amerika ABC mengirim Cindy --
satu-satunya wartawan Amerika yang boleh masuk ke Indonesia --
untuk menginterpiu Presiden di hari-hari gawat itu.
Yang disaksikan sang wartawan adalah gelombang perubahan yang
besar. Demonstrasi mahasiswa di sekitar Istana. Penggrebekan
menteri-menteri. Lalu penyerahan Surat Perintah 11 Maret kepada
Jenderal Soeharto. Dan Bung Karno tersisih, atau disisihkan,
atau menyisihkan diri, hanya ditemani Dewi, istrinya dari Jepang
itu.
Malam terakhir Cindy dan Joey di Indonesia adalah malam terakhir
mereka dengan Bung Karno. Kejatuhan yang menyedihkan itu nampak
benar di rumah lengang di Slipi itu: tak lagi berada di puncak
kekuasaan. Bung Karno hanya bisa berhubungan dengan dunia luar
melalui sebuah radio kecil. Ia mendengarkan pidatonya sendiri --
plus sekedar pujian dari Dewi.
"Aku sering melihat seorang istri menghibur hati suaminya yang
baru kehilangan jabatannya ...," tulis Cindy Adams dalam bab
terakhir. "Tapi belum pernah aku berada di ruang dalam rumah
seorang laki-laki yang baru kehilangan kerajaannya ...."
Malam itu Soekarno & Dewi & Joey & Cindy menghabiskan waktu
bermain tebak-menebak nama bintang film Amerika. Bung Karno
suka, karena permainan ini tak memerlukan konsentrasi dan ia
butuh kegembiraan. Maka ketika tamu-tamu Amerika itu minta diri,
mata sang bekas penguasa nampak basah. Di tangga, masih
diucapkannya tebakannya yang terakhir: "Joan Crawford."
Seluruh dunia hanya pentas, kata Shakespeare. Layar harus turun.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini