Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sukarno dan cindy

Singapura: gunung agung, 1980 resensi oleh: gunawan mohamad.(bk)

13 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUKARNO, MY FRIEND 0leh: Cindy Adams, Gunung Agung (s) PTE Ltd, 322 halaman dengan gambar, Singapura, 1980. ADA yang selalu tak tersangka-sangka tentang Bung Karno. Salah satunya nasionalis kelas satu ini ternyata menyukai karya orang asing kelas dua. Beberapa patung yang dipasangnya di Jakarta -- dari pemahat Italia, Jepang dan Uni Soviet --adalah hasil seni yang kosong, buatan orang-orang yang entah kenapa dipilih. Film yang digemarinya adalah film Hollywood, hasil imajinasi orang-orang yang entah kenapa dipuja. Dan kemudian, otobiografi yang disusunnya adalah hasil penulisan seorang wartawan wanita Amerika yang entah dari mana dipungut. Ya, dari mana? Cindy Adams, wartawan wanita itu, datang ke lndonesia pertama kali dengan dwi-fungsi. Fungsi pertama: sebagai istri. Dia mengikuti suaminya, Joey Adams, yang membawa satu rombongan hiburan keliling Asia -- suatu program yang disponsori Deparlu AS. Fungsi kedua: sebagai reporter sebuah kantor berita yang bernama NANA. Fungsi kedua ini mula-mula tentulah fungsi "sambil lalu". Itu tak berarti Cindy Adams wartawan tanpa ketrampilan dan tanpa pengalaman. Hanya dia sendiri tahu bahwa dia bukan tokoh top. Maka semua orang pun heran bahwa Presiden Soekarno, tokoh dunia itu, kontan mengabulkan permintaan Cindy untuk berwawancara. Cewek Bego Dan orang lebih heran lagi ketika kemudian Bung Karno memilih Cindy untuk jadi penulis riwayat hidupnya. Duta besar Zairin Zain di Washington sampai beberapa waktu tak mempercayai kenyataan itu. Departemen Penerangan di bawah Ruslan Abdulgani dan Direktorat Penerangan Deparlu di bawah Ganis Harsono mula-mula tak mau menyahut telepon Cindy. Ny. Aminah Hidajat, tokoh politik wanita yang bergaris kiri waktu itu memandang si wartawan Amerika dengan skeptis, dan sambil mengunyah sirih bilang: "Mmmmm." Tapi yang kedengarannya mustahil ternyata tidak: Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, memang telah menjatuhkan pilihannya kepada diri Jocy Adams. Joey sendiri bertanya kepada Bernie Kalb, wartawan CBS terkemuka yang sudah lama pulang balik Hong Kong-Jakarta-Saigon, kenapa bukan penulis kclas dia yang dipilih. Jawab Kalb: Bung Karno memilih Cindy karena Cindy adalah cewek menarik bermata lebar yang nampak bego. Cindy, dalam kata-kata Bernie Kalb yang tak dibantahnya, memang bukan "jenius yang pandai menganalisa politik Indonesia". Ia tak tahu mana si hitam mana si putih, dan pengetahuannya tentang Indonesia tak teramat jauh dari pengetahuan neneknya tentang negeri nun di khatulistiwa itu. Ketika Cindy dengan hati bungah memberitahu neneknya bahwa ia dapat undangan dari seorang presiden, sang nenek Yahudi itu bertanya, "Dari sinagog mana?". Ketika Cindy memberitahu bahwa Presiden Soekarno bukan Yahudi, melainkan Muslim, sang nenek kembali bertanya, "Orang Arab?" Tak mengherankan bila Cindy datang ke Indonesia dengan mata seorang Amerika yang mirip lensa kamera yang belum dicocokkan. Buku ini ditulis dengan pandangan tajam untuk memperoleh anekdot. Dan Cindy memang lucu. Tapi bagian yang dimaksudkannya untuk paling kocak ialah kisah-kisah pendeknya tentang tidak efisiennya seorang Indonesia. Beberapa tahun yang lalu, ketika saya membaca cetakan pertama buku ini, saya merasa sakit hati bagi istri Joey Adams ini, hampir tiap adegan yang dialaminya di Indonesia adalah bagian dari comedy of errors. Dan Bung Karno, secara tak berterima-kasih, hanya dilukiskannya sebagai aktor utama sebuah panggung yang tak serius. Tapi entah kenapa kini saya lebih bisa menikmatinya. Cindy memang gemar menertawakan kekacauan birokrasi Indonesia, tapi ia bisa juga mentertawakan dirinya sendiri. Cindy memang telah menampilkan Bung Karno sebagai anak besar yang manja dan nakal, sekaligus seorang raja tua yang ingin hiburan dan kesepian tapi dengan itu justru Bung Karno tampil sebagai manusia biasa -- suatu gambaran yang tak jauh berbeda dari kisah-kisah Guntur tentang bapaknya. Antara Cindy dan Soekarno nampaknya terdapat kontak yang baik: keduanya (paling tidak menurut pengakuan Cindy) bisa bertengkar, tapi bisa mesra. Seks? Tidak ada, kata Cindy. Hanya Bung Karno pernah menciumnya di bibir -- lalu, setelah Cindy menolak halus meneruskan hubungan mereka secara "platonis". Tapi apapun sebenarnya perasaan Cindy kepada Bung Karno, yang terlukis dari keseluruhan buku ini ialah profil seorang penguasa yang bisa menyenangkan tapi juga tragis. Ia tak berhati jahat. Kesalahannya mungkin: ia terlalu lama di tahta. Maka tak begitu mengherankan bila buku ini bisa mengharukan ketika melukiskan Bung Karno di hari-hari terakhir kejayaannya. Dewi dan Radio Kecil Cindy Adams dan suaminya kembali ke Jakarta dari AS Januari 1966. Bukunya, Sukarno: An Autobiography as told to Cindy Adams dua bulan sebelumnya terbit -- tepatnya sebulan setelah peristiwa berdarah G-30-S -- dan Bung Karno sangat menyukai karya Cindy ini. Lalu setasiun TV Amerika ABC mengirim Cindy -- satu-satunya wartawan Amerika yang boleh masuk ke Indonesia -- untuk menginterpiu Presiden di hari-hari gawat itu. Yang disaksikan sang wartawan adalah gelombang perubahan yang besar. Demonstrasi mahasiswa di sekitar Istana. Penggrebekan menteri-menteri. Lalu penyerahan Surat Perintah 11 Maret kepada Jenderal Soeharto. Dan Bung Karno tersisih, atau disisihkan, atau menyisihkan diri, hanya ditemani Dewi, istrinya dari Jepang itu. Malam terakhir Cindy dan Joey di Indonesia adalah malam terakhir mereka dengan Bung Karno. Kejatuhan yang menyedihkan itu nampak benar di rumah lengang di Slipi itu: tak lagi berada di puncak kekuasaan. Bung Karno hanya bisa berhubungan dengan dunia luar melalui sebuah radio kecil. Ia mendengarkan pidatonya sendiri -- plus sekedar pujian dari Dewi. "Aku sering melihat seorang istri menghibur hati suaminya yang baru kehilangan jabatannya ...," tulis Cindy Adams dalam bab terakhir. "Tapi belum pernah aku berada di ruang dalam rumah seorang laki-laki yang baru kehilangan kerajaannya ...." Malam itu Soekarno & Dewi & Joey & Cindy menghabiskan waktu bermain tebak-menebak nama bintang film Amerika. Bung Karno suka, karena permainan ini tak memerlukan konsentrasi dan ia butuh kegembiraan. Maka ketika tamu-tamu Amerika itu minta diri, mata sang bekas penguasa nampak basah. Di tangga, masih diucapkannya tebakannya yang terakhir: "Joan Crawford." Seluruh dunia hanya pentas, kata Shakespeare. Layar harus turun. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus