BAPAK dan ibu guru sekarang sudah dibikinkan lagu. Semua anak
sekolah akan menyanyikannya, sambil -- mudah-mudahan --
membangun kembali penghormatan kepala guru yang selama ini
dikatakan merosot. Itulah memang yang diharap para juri lomba
himne guru -- lebih-lebih Menteri P&K, yang memprakarsainya --
ketika pengumuman para pemenang lomba diberikan pertengahan
Agustus lalu.
Dari saat pembukaannya di bulan Maret, sampai penutupannya pada
7 Juli, berhasil didaftar 341 naskah lagu yang dianggap memenuhi
syarat. Namun yang bisa dimenangkan ternyata tak lebih dari
hanya dua peserta -- itu pun untuk kedudukan juara-juara harapan
I dan II: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa oleh Sartono, Madiun, dan
Lagu Untuk Guru karya Sancaya H.R., Depok, Bogor. "Itulah bukti
bahwa pelajaran seni suara belum mengakar di masyarakat," kata
Ibu Sud, salah seorang juri, kepada TEMPO -- kalau bukan malah
bukti pelajaran tersebut mengalami kemerosotan.
Tetapi lagu pemenang pertama misalnya, terhitung bagus. Ini juga
diakui baik oleh Ibu Sud maupun Trisutji Djuliati Kamal, juga
anggota juri yang merangkap wakil ketua. (Juri-juri lain: Daeng
Sutigna, Mus K. Wirya, P. Gitomartoyo, Praharyawan Prabowo,
Frans Haryadi, F.X. Sutopo yang juga sekretaris, dan J.A. Dungga
yang juga ketua). "Komposisinya cukup kuat, tidak ruwet. Dan
liriknya -- wah, bagus sekali," kata Trisutji. Atau "syair itu
cocok sekali dengan melodinya," kata Ibu Sud. Di atas
segala-galanya pantas dinyanyikan anak TK sampai mahasiswa --
sebagai syarat penting dalam lomba.
Memang, bisa dirasakan sedikit kejutan di bagian akhir,
setidaknya bagi telinga konvensional. Baris penutup yang
berbunyi: Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tarlda jasa, bisa
terasa sebagai tambahan untuk sebuah lagu yang sudah selesai.
Atau, karena kalimat itu bagus, tidak bisakah dijadikan ganti
syair di atasnya yang berbunyi Engkau laksana embun penyejuk
dalam kehausan, yang betapa pun terasa layu -- sementara melodi
buntut dicoret?
Masalahnya baik para juri maupun penggubahnya sendiri di Madiun,
menyatakan lagu itu memang sudah diperbaiki -- "disempurnakan".
Bait kedua misalnya digeser menjadi bait ketiga dan sebaliknya.
Sedang baris pertama dalam naskah asli yang berbunyi Terpujilah
kau, "Ibu dan Bapakku" diubah menjadi Terpujilah engkau, ibu
bapak guru. Lalu kejutan di bagian akhir tadi tak lain karena
satu baris (dan melodinya) sebelum penutup, dicoret. Syair di
situ berbunyi Sembah sujud anaknda, dirgahayulah kau -- yang
memang bisa dikira "kelewat feodalistis". Apa kata
penggubahnya?
"Setelah saya rasakan, memang lebih baik." Sartono juga
menirukan kata-kata seorang anggota tim tentang pengubahan itu
"Supaya lebih modern dan lebih baru." Ia menerima saja.
"Terserah, mereka 'kan ahli musik." Tapi keharusan pengubahan
itulah yang menyebabkan lagunya tak berhasil menduduki kejuaraan
I, II ataupun III -- meski himne yang telah disempurnakan itu
untungnya tetap saja terasa sebagai punya Sartono.
Orang ini berumur 40 tahun. Hanya tamat SMP, tapi memperoleh
ijazah SMA sebagai peserta ekstra, ia mengajar di SMP Katolik
St. Bernardus di kotanya -- selain memberi kursus di 20 grup di
sore hari, mengajar mulai angklung, kolintang sampai elekton.
Pernah jadi juara II lomba lagu RRI 1969, tokoh ini anehnya tak
punya alat musik sama sekali --gitar akustik sekali pun. Lagunya
yang diikutkannya lomba itu pun disusunnya selama sebulan tanpa
alat -- "ya saya rasakan saja solmisasinya," katanya.
Piano Anak Majikan
Ia seorang suami (sejak 1971) yang belum dikurniai anak.
Beragama Islam dan berasal dari keluarga tak mampu. Bahkan
pernah jadi pembantu rumah tangga di Surabaya ketika berumur
belasan tahun. Tapi justru di sinilah kisah bermula tuannya
punya piano, bahkan mendatangkan guru piano berkebangsaan
Belanda. "Kalau anak majikan lagi belajar piano, saya disuruh
menunggui." Tapi ia tak berani menyentuh alat itu.
Pulang ke Madiun, ia diajak Y. Kusnun membentuk orkes pemuda
kampung -- diserahi bas jegug. "Karena saya belum pernah
memegang alat itu, maka supaya cepat bisa basnya disuruh bawa
pulang." Kusnun sekarang pemain piano tunggal di Hotel Hilton,
Jakarta. Setelah itulah Sartono mulai memegang alat musik lain.
Orang yang mengaku hanya belajar dari buku-buku musik ini --
"itu pun yang berbahasa Indonesia," katanya -- mengagumi Himne
Kemerdekaan gubahan Ibu Sud yang baginya merupakan himne terbaik
selama ini. Ia mengikuti sayembara karena memang tertarik oleh
besarnya hadiah -- dan sekarang ini ia mengantungi Rp 750.000.
Ia memang mengakui tidak tertarik menciptakan lagu sekedar untuk
diserahkan ke studio atau hanya diperkenalkan lewat tv.
"Waktunya tidak ada. Tapi kalau ada perangsangnya begini, ya
kita sediakan waktu khusus," katanya. Tapi adakah para murid,
setelah menyanyikan lagu ini nanti, jadi naik rasa hormatnya
kepada para guru?
"Ah rasanya kok biasa-biasa saja. Malah rasanya kok lagu saya
ini kurang menyentuh," katanya dengan polos. Ia sendiri ketika
mencipta tidak terpancang pikirannya pada tingkah polah murid di
sekolah, misalnya. Juga syairnya bukan lahir dari pengalaman --
tapi pengamatan. Ceritanya ada teman istrinya, sudah pensiun,
hidupnya telantar. Sampai harus mendatangi teman-temannya untuk
bisa memperoleh baju bekas. "Terus terang, dari sinilah lahirnya
syair baris terakhir itu" -- yang memang dengan tepat menjadi
judul lagu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini