Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Hakikat sejarah mencari kebenaran

Pengarang : ibn khaldun. penerjemah : ahmadie thoha. jakarta : pustaka firdaus, 1986. resensi oleh : taufik abdullah.

13 Juni 1987 | 00.00 WIB

Hakikat sejarah mencari kebenaran
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MUQADDIMAH Oleh: Ibn Khaldun Penerjemah: Ahmadie Thoha Penerbity: Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986, 846 halaman "SEJARAH adalah salah satu disiplin ilmu yang dipelajari secara luas oleh bangsa-bangsa dan generasi-generasi," kata Ibn Khaldun di awal buku ini. Pada bagian lain ia mengatakan, sebagai disiplin ilmu, sejarah "mempunyai metode (yang) mantap, aspek pengunaan yan sanat banyak, dan memiliki sasaran yang mulia."Karena itulah, katanya selanjutnya, "Penulisan sejarah membutuhkan sumber yang beragam dan pengetahuan yang bermacam-macam. Ia juga membutuhkan perhitungan yang tepat dan ketekunan." Permasalahan metodologis ilmu sejarah ini dirasakannya sangat penting. Bagi Ibn Khaldun, "Hakikat sejarah . . . (ialah) usaha mencari kebenaran (tahqiq) keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal benda wujudi, serta pengertian dan pengetahuan tentang substansi, esensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa. Dengan demikian, sejarah benar-benar terhunjam berakar dalam filsafat, dan patut dianggap sebagai salah satu cabang filsafat." Barangkali tak ada yang membantah kalau dikatakan bahwa kalimat-kalimat ini ditulis oleh seorang ahli teori (dan filsafat) sejarah aman kini. Demikian kontemporer bunyinya, meskipun Ibn Khaldun hidup di abad ke-14 di tanah Maghrib. Jadi, mestikah dia diherankan kalau sekarang banyak yang menganggapnya sebagai "bapak ilmu sejarah modern"? Bahkan lebih dari itu. Karena teori sejarah yang dibangun Ibn Khaldun bertolak dari pendekatan sejarah perbandingan tentang negeri-negeri Islam, dari Andalusia sampai ke Mesir - maka ia dianggap pula sebagai perintis sosiologi modern dan peletak landasan ilmu politik. Dengan pendekatan sejarah perbandingan suatu pendekatan yang dengan sangat canggih dipakai Max Weber dan Karl Marx beberapa abad kemudian - Ibn Khaldun tidak hanya mencatat peristiwa-peristiwa yang dialami oleh negeri dan masyarakat yang ditelitinya. Tetapi, ia juga, dan terutama sekali, mendalami struktur yang merupakan wadah dari peristiwa-peristiwa itu. Dengan pendekatan ini pula, ia memperkirakan pola perkembangan sosial-politik selanjutnya. Karena itu, dapatlah dimengerti mengapa Ibn Khaldun tetap merupakan sasaran studi yang tak habis-habisnya, sebagaimana halnya dengan Marx dan Weber serta para peletak dasargrand-theoty yang lain. Karyanya bahkan dipakai pula sebagai landasan teoretis untuk meneliti dinamika masyarakat berbahasa Arab. Dari karyanya bukan hanya teori dan wawasan filosofis yang didapatkan, tetapi juga kearifan dalam memahami gejala sosial. Jika dalam tinjauan sejarahnya Ibn Khaldun memperlihatkan betapa pentingnya kritik sumber yang saksama, yang dengan rasional memisahkan realitas dari mitos dan legenda, maka dalam usahanya memahami struktur sosial ia memperkenalkan kategori-kategori tentang bentuk-bentuk masyarakat ataupun tahap tahap dalam perkembangan kekuasaan kenegaraan. Sehingga, bukan saja sifat-sifat hakiki "masyarakat kota", yang menetap dan terorganisasi rapi, dengan "masyarakat pedesaan" yang mobil dan spontan, bisa dibedakan, tetapi juga unsur-unsur yang mendukung terwujudnya suatu sistem kekuasaan dapat pula ditentukan . Demikian pentingnya kedudukan Ibn Khaldun dalam dunia ilmu, sehingga orang alpa pada dua ironi dari diri dan karyanya. Pertama, karya Ibn Khaldun tumbuh dan hilang seakan-akan tanpa penerus dalam tradisi ilmiah Islam. Kalau kemudian nama-nama lain telanjur dianggap sebagai pelopor dunia ilmu - seperti August Compte untuk sosiologi, atau mungkin Hegel dalam filsafat sejarah dan Macchiavelli dalam politik sebagai "the art of how to get what" - maka hal ini disebabkan adanya keterputusan tradisi yang telah dirintis Ibn Khaldun. Kedua, betapapun ia kini dibanggakan sebagai bintang terang Islam dalam dunia ilmu sosial dan filsafat sejarah, Ibn Khaldun sebenarnya "ditemukan kembali" oleh para Orientalis. Edward Said mungkin tak salah dalam penilaiannya: Orientalisme bukanlah suatu tradisi akademis (yang murni), tetapi suatu "ideologi". Namun, tak pula terlalu salah untuk mengatakan bahwa "ditemukannya" Ibn Khaldun adalah salah satu hasil yang baik dari "tradisi yang ideologis" ini. Bukannya tinjauan buku, tetapi studi yang sungguh-sungguh yang akan dapat memberikan sekadar pemahaman terhadap Muqaddimah - buku yang merupakan pendahuluan dari karya sejarahnya, Kitab al-Ibar. Bagaimanakah akan diterangkan dengan ringkas tentang kaitan antara ashabiyah (solidaritas sosial) dan kekuasaan atau tentang perbedaan siyasah syariah, yang serba ideal, dan siyasah aqliyah, yang lebih empirik serta historik? Betapapun, Ibn Khaldun tetap terikat pada idealisme yang terkait pada doktrin. Ia, yang berpengalaman banyak dalam kehidupan riil politik, cukup realistis untuk sekadar menginginkan terwujudnya mulk, yang rasional (aqliyah), tetapi dibimbin etika reliius. Bukan saja negara, sebagai kekuasaan yangtelah diorganisir dan sah, hanya mungkin ada dan bertahan oleh solidaritas sosial (ashabiyah), perwujudan kekuasaan itu adalah pula sesuatu yang secara transendental harus dipertanggungjawabkan. Muqaddimah tidak sekadar berisikan metodologis dan teoretis tentang sejarah dan serta turun naiknya peradaban (umran). Dan bukan pula hanya memuat tinjauan sosiologis tentang kekuasaan dan negara. Kitab pendahuluan teoretis dari karya sejarah naratif (khabar) ini juga memuat pandangan, atau, bahkan teori, tentang agama, ekonomi, dan klasifikasi ilmu. Dengan kata lain Muqaddimah adalah suatu karya yang sangat kaya, bahkan cenderung ensiklopedis. Namun tiada detail dan ilustrasi historis yang hanya berakhir pada dirinya. Semua terjalin dalam ikatan argumen yang ingin diperkembang. Dari sudut ini saja, buku ini adalah contoh dari tradisi akademis yang terbaik. Karena itu, terjemahan Muqaddimah sebenarnya merupakan peristiwa yang cukup penting dalam dunia penerbitan kita. Barangkali ini adalah juga salah satu cara penerbit untuk ikut merayakan ulang tahun ke-650 Ibn Khaldn (meskipun terlambat empat tahun). Terjemahan yang hampir lengkap dari Muqaddimah ini kadang-kadang juga mengadakan perbandingan dengan versi terjemahan Rosenthal. Justru itu, pembaca dimungkinkan untuk mengetahui paragraf-paragraf apa yang ditinggalkan masing-masing, di samping, tentu saja, padanan Inggris dari istilah yang dipakai Ibn Khaldun. Meskipun terjemahan ini sebenarnya memerlukan sckadar pengantar tentang pengarang dan isi buku, Muqaddimah, sebagai adanya ini, semestinyalah merupakan bacaan bagi para ahli dan peminat ilmu sejarah, sosiologis, ilmu politik, dan filsafat. Para moralis dan politisi pun akan mendapatkan Muqaddimah scbagai sumber ide yang segar. Taufik Abdullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus