Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Hanung Bramantyo: Perjuangan Kartini Adalah Perjuangan Pemikiran

10 April 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARTINI menjadi proyek biopik terbaru Hanung Bramantyo setelah Soekarno dan Rudy Habibie. Ini adalah film pertama Hanung tentang perempuan. Dia menyajikan Kartini dengan pendekatan berbeda bila dibandingkan dengan film Kartini yang dibuat Sjuman Djaya.

Kepada wartawan Tempo Moyang Kasih Dewimerdeka dan fotografer Subekti, Hanung menceritakan proses di balik layar Kartini.

Ide membuat film Kartini datang dari siapa?

Saya yang punya ide. Awalnya saya bertemu dengan pihak Legacy Pictures saat mereka baru mau berdiri. Saya bilang, yuk kita bikin film. Sebenarnya saya sedang ada kontrak dengan PH (production house) lain waktu itu. Tapi, kalau mau bikin film Kartini, hayuk, saya akan bela-belain. Kalau percintaan, tema stereotipe komersial begitu, saya tidak mau.

Bagaimana tanggapan Legacy Pictures?

Wah, gede ya kalau Kartini, kata mereka. Saya bilang, ya sekalian. Saya sadar film Kartini tak akan mungkin dibuat dengan biaya di bawah Rp 5 miliar. Film ini memang besar, berdasarkan tokoh yang besar. Ini tokoh yang setiap tahun kita peringati. Kalau kita bisa menjelaskan kepada masyarakat Indonesia lewat film ini mengapa kita harus memperingati Hari Kartini, saya rasa penonton pasti akan antusias.

Kartini seperti apa yang diangkat dalam film ini?

Kartini adalah seorang pahlawan, tapi banyak orang tidak tahu mengapa kita memperingati Hari Kartini. Cuma surat-suratnya yang diketahui. Lalu apa relevansinya dengan masa sekarang? Apakah hanya gara-gara dia punya keinginan untuk bebas, menulis surat, dan dibukukan lalu membuat dia sah sebagai pahlawan? Perjuangannya apa? Dia tidak berperang apa pun, tidak melawan Belanda. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang eksis di kepala kita semua saat ini. Itulah yang saya gali.

Apa gagasan Kartini yang paling penting?

Kartini hendak merenovasi penjara tradisi. Bukan dibongkar, melainkan direnovasi. Misalnya, dulu seorang raden ayu harus menikah dengan bangsawan sekalipun jadi istri kedua. Ini direnovasi oleh Kartini. Boleh menikah dengan bangsawan tapi perempuan juga dapat memilih lelaki bangsawan seperti apa yang berhak meminangnya. Kartini tidak mengubah dan menolak semua budaya lama, tapi melakukan renovasi. Budaya yang baik masih dipertahankan, tapi yang buruk harus ditinggalkan.

Buat dia, menjadi raden ayu bukan ide yang salah, tapi harus menjadi raden ayu yang berbeda, yakni yang memiliki wawasan luas karena dia akan menjadi ibu yang mendidik anak-anaknya. Karena itu, hak untuk sekolah jadi penting buat perempuan. Tapi, pada saat itu, yang punya hak untuk sekolah hanya laki-laki. Itu yang dilawan oleh Kartini.

Hal kedua yang dilawan oleh Kartini adalah pandangan bahwa perempuan itu hanya ada di rumah, hanya masak, hanya melayani laki-laki, seolah-olah lumbung yang siap dibuahi saja. Kartini tidak mau. Perempuan harus terampil. Dia lalu membuat sekolah, mengajari para perempuan keterampilan, membaca, menulis, dan berbahasa Belanda. Keterampilan ini dapat dipakai untuk mendukung suami. Dua hal inilah yang membuat kita memperingati Hari Kartini.

Jadi perjuangan pemikiran yang menjadikan Kartini pahlawan?

Ya. Perjuangan pahlawan tidak melulu perjuangan fisik, tapi juga perjuangan pemikiran. Pemikiran akan abadi sampai akhir zaman. Saya ingin pahlawan-pahlawan lain juga direstorasi. Jangan lihat fisiknya saja. Misalnya, Cut Nyak Dhien memang berperang mengangkat rencong, tapi dia pasti punya pemikiran yang membuat dia mau berjuang sedemikiannya. Perjuangan pemikiran apa pula yang ada dalam benak Tan Malaka, Imam Bonjol, Hasanuddin? Ini yang harus digali.

Kartini sudah pernah difilmkan oleh Sjuman Djaya. Apa perbedaan film ini dengan film tersebut?

Bagi saya, harus ada alasan cukup kuat kenapa Kartini melawan. Jawaban ini tidak saya temukan di film Sjuman. Di film saya, saya pertebal alasan itu. Dimulai dari umur 4 tahun dia tidak boleh tidur dengan ibunya karena ibunya bukan bangsawan. Di umur segitu, Kartini sudah mengalami trauma tentang apa itu raden ayu dan bukan raden ayu. Dia sudah punya alasan untuk melawan. Saya mulai dari situ. Barulah kemudian bergerak maju tentang pergulatan pemikiran dia.

Bagaimana proses menggali informasi tentang Kartini sebagai landasan film ini?

Jawaban mengapa Kartini penting diperingati saya temukan dalam buku Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja. Judul itu diambil dari surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar. Kartini menolak dipanggil dengan gelar raden ayu. Gelar itu mengandung dua makna sekaligus. Pertama adalah makna kehormatan, perempuan darah biru. Tapi, di sisi lain, gelar raden ayu adalah penjara tradisi yang mengekangnya menjadi diri sendiri.

Buku Pram menjadi gedoran pertama. Lalu saya baca buku Siti Sumandari dan buku Habis Gelap Terbitlah Terang terjemahan Armijn Pane. Untuk plotnya, saya temukan saat membaca buku Elisabeth Keesing. Film itu butuh protagonis dan antagonis. Protagonis jelas Kartini. Antagonisnya siapa? Orang melihat pasti Belanda. Ternyata antagonisnya bukan hanya Belanda. Tokoh antagonis dalam kisah Kartini sebenarnya adalah keluarga sendiri. Ini saya temukan dalam buku Keesing.

Lalu saya juga difasilitasi oleh Yayasan Rumah Kartini. Yayasan ini sangat concern menjaga situs-situs Kartini. Di sana saya bertemu dengan banyak peneliti Kartini. Saya diberi buku dan catatan, juga dipandu langsung oleh mereka.

Seberapa sesuai film ini dengan kenyataan?

Yang berbeda adalah rumah Kartini. Rumah tidak otentik. Tapi yang lain-lain insya Allah otentik. Tentu saya melakukan dramatisasi. Itu pasti.

Saat memutuskan membuat film Kartini, apakah langsung terpikirkan pemerannya adalah Dian Sastro?

Awalnya saya mencari sosok yang pasti sama secara fisik dengan Kartini, seperti pipinya bulat. Lalu saya lihat umur. Kartini saat itu remaja, sementara Dian Sastro 35 tahun.

Saya berpikir, siapa ya remaja yang bisa merepresentasikan Kartini. Banyak yang secara fisik bagus. Tapi ketika bicara soal pemikiran, waduh, PR-nya banyak untuk mengisi kepala mereka dengan pemikiran Kartini. Saat berusia 12 tahun saja Kartini sudah tahu siapa Pandita Ramabai. Anak sekarang paling ngeblog tentang pacarnya yang selingkuh.

Saya menemukan, Dian Sastrolah yang punya pemikiran sama dengan Kartini. Sama-sama berpikiran bahwa perempuan tidak hanya hidup di wilayah domestik. Secara pemikiran Kartini, ya Dian. Akhirnya semua pemain saya naikkan umurnya 10 tahun untuk menyesuaikan dengan Dian. Semestinya yang menjadi ayah Kartini seumuran saya, sekitar 40 tahun. Tapi, karena yang main Dian, yang main jadi ayahnya harus usia 50-an. Makanya saya pilih Om Deddy (Deddy Sutomo).

Bagaimana menyesuaikan umur pemain yang berbeda dengan umur tokohnya?

Saya minta Dian berakting agak muda. Dia harus menguruskan badan. Dia harus bertingkah seperti remaja. Kerutnya enggak boleh ada. Seperti Amir Khan ketika main di Three Idiots.

Film ini bertabur nama besar. Mengapa?

Saya ingin mengajak para aktor lintas generasi, senior dan junior, yang sudah terkenal dan menjadi ikon populer, seperti Acha Septriasa, Ayushita, Christine Hakim, Deddy Sutomo, dan Denny Sumargo, untuk menyumbangkan tenaga, pemikiran, dan tubuh demi Kartini. Ada sesuatu yang harus kita bela di sini. Banyak banget uang yang saya keluarkan yang di luar bujet untuk film ini. Saya, misalnya, rela melakukan editing berulang-ulang pada film ini. Lebih banyak daripada film-film sebelumnya.

Apa kendala paling besar saat membuat film ini?

Mengaktualisasi riset. Riset banyak, ada, otentik semua. Tiap peneliti dan sejarawan punya sudut pandang. Ada kalanya bertentangan. Akhirnya saya minta sejarawan kasih input saja dan biarlah film punya realitasnya sendiri. Saya kembali pada teori itu. Film adalah realitas yang diciptakan. Apakah Kartini dalam film Hanung benar? Jangan bicara benar-salah tentang film. Kalau benar-salah dibicarakan di majelis agama atau ilmu pengetahuan. Film bukan untuk meletakkan benar dan salah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus