Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa tahun terakhir ini kita saksikan perubahan sikap terhadap rokok, setidaknya dalam perkara menciptakan slogan. Sebelumnya kita mengatakan rokok bisa menimbulkan penyakit jantung dan paru-paru, mengganggu kehamilan, dan sebagainya, sekarang awas-awas itu kita tarik lebih tegas lagi: MEROKOK MEMBUNUHMU, disertai gambar yang bisa saja menakutkan, jauh lebih telak dan ringkas dibanding awas-awas sebelumnya.
Di sebuah kemasan rokok terbaca, MEROKOK SEBABKAN KANKER MULUT, disertai gambar mulut yang tidak sedap dipandang. Tentu maksud kita dengan pengubahan slogan itu adalah pertimbangan, daripada menyebut berbagai jenis penyakit berbahaya yang begitu banyak jumlahnya yang bisa mengancam hidup kita, lebih baik jika langsung saja kita katakan hubungan merokok dan kematian.
Dengan ancaman keras itu tentu kita mengharapkan lebih banyak orang yang ketakutan sehingga meninggalkan kebiasaan merokok. Meskipun tulisan ini tidak bermaksud mempertanyakan kemujaraban slogan itu, ada baiknya jika disinggung sedikit hubungan antara slogan dan dampaknya. Hampir bersamaan waktunya dengan diterbitkannya slogan itu, kita melakukan tindakan nyata, menegaskan di mana saja kita boleh dan tidak boleh merokok.
Demikianlah setiap hari kita saksikan orang tua-muda laki-perempuan tetap saja merokok di sembarang tempat yang tidak mencantumkan larangan merokok. Apakah mereka tidak takut terbunuh? Tentu mereka takut juga terbunuh, tapi mungkin sekali tidak percaya bahwa rokok adalah pembunuh. Rupanya yang menyebabkan mereka tidak merokok adalah tindakan, bukan slogan. Perokok tampaknya tidak takut slogan, tapi tunduk pada peraturan yang bisa dipakai untuk melaksanakan tindakan, bisa berupa pengusiran atau sekadar peringatan kalau melanggar larangan.
Rokok ternyata dianggap berbeda dengan narkoba, yang juga dislogankan, SAY NO TO DRUGS!
Embel-embel slogan itu sangat berbagai, jauh lebih beragam dari slogan antirokok. Bedanya adalah bahwa orang merokok tidak dihukum, pengisap ganja dikenai hukuman. Pengedarnya bahkan bisa dihukum mati. ¡±Pabrik¡± ganja dilarang, tentu saja, tapi pabrik rokok tidak. Kita tentu bisa membayangkan alasannya. Kemujaraban slogan ternyata berkaitan dengan banyak hal yang tidak langsung berkaitan dengan sekadar penyampaian verbalnya. Penyampaian berkaitan dengan masyarakat yang menjadi sasarannya. Larangan merokok ditulis dalam bahasa Indonesia, ancaman yang berkaitan dengan narkoba ditulis dalam bahasa Inggris.
Boleh dikatakan kita semua bisa memahami bahasa Indonesia, tapi belum tentu semua orang bisa menangkap arti slogan berbahasa Inggris. Jadi larangan merokok berlaku bagi semua orang, awas-awas narkoba ditujukan kepada kelompok masyarakat tertentu--yang paham bahasa Inggris. Benar demikian? Tentu saja tidak. Disampaikan dalam bahasa apa pun kedua larangan itu berlaku bagi semua orang di negeri ini. Setahu saya, larangan merokok hanya disampaikan dalam bahasa Indonesia sedangkan yang berkaitan dengan narkoba disampaikan juga dalam bahasa Indonesia, di samping SAY NO TO DRUGS!
Nah, kalau slogan di negeri ini ditujukan kepada seluruh masyarakat, apakah tidak sebaiknya disampaikan dalam bahasa Indonesia saja? Namun apa salahnya menulis slogan dalam bahasa asing, bukan? Memang tidak ada yang salah selama kita tidak memperhitungkan masyarakat yang menjadi sasaran. Dan tidak hanya yang bersangkutan dengan slogan, tapi juga selebaran dan poster di hampir semua mal yang juga menggunakan teknik propaganda untuk membujuk pembeli.
Kata SALE, misalnya, sudah menjadi bagian dari bahasa sehari-hari sehingga tidak lagi kita masalahkan asal-usul kata itu. Pemilik toko di mal rupanya yakin bahwa kata itu akan berhasil membujuk pembeli untuk melakukan tindakan, yakni membeli barang. Hal yang sama berlaku untuk semua jenis slogan yang ditempel di dinding ataupun yang dibawa dalam demo dan arak-arakan. Kita tidak peduli lagi apakah yang membacanya paham dan, seandainya pun paham, apakah akan melaksanakannya.
Slogan-slogan penting yang berkaitan dengan upaya menyadarkan masyarakat agar menghargai hak perempuan, misalnya, banyak yang ditulis dalam bahasa Inggris: GIRLS JUST WANNA HAVE FUN-DAMENTAL HUMAN RIGHTS. I STAND FOR EQUALITY.
Disusun dengan teknik propaganda yang baik dan didesain dengan bagus ternyata tidak selalu langsung berkaitan dengan tindakan di masyarakat. Seandainya slogan itu diterjemahkan, apakah isi pesan akan menjadi mujarab? Belum tentu juga. Bahasa Indonesia jelas-jelas lebih bisa dibaca oleh jauh lebih banyak orang daripada bahasa Inggris atau asing apa pun, tapi menerjemahkan slogan dari bahasa Inggris tentu tidak mudah apa lagi kalau si penerjemah tidak paham betul konsep yang dikandung oleh slogan tersebut.
Sapardi Djoko Damono
Guru, sastrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo