Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENIN pagi pekan lalu, kantor Tempo di Jalan Palmerah Barat, Jakarta Selatan, masih sepi. Danni Muhadiansyah, anggota staf riset dan perpustakaan, baru saja sampai di mejanya di lantai 3. Panggilan alam mendorongnya untuk bersegera ke kamar mandi yang terletak di lantai 3A. Saat melewati void newsroom--ruang kendali berita terbuka yang menghubungkan lantai 3, 3A, 4, dan 5--Danni terkejut.
Seorang gadis berkebaya putih dengan rambut terurai tergeletak di tengah-tengah kaca transparan tempat kami biasa menyaksikan aktivitas percetakan di lantai 1. Dia seolah-olah terjerat jaring laba-laba yang terbuat dari kabel hitam. Di sekelilingnya berserak kertas catatan dan foto perempuan dengan berbagai identitas: sarjana, pilot, dokter, insinyur. Namun foto-foto itu menampilkan wajah yang sama: RA Kartini.
Di atas void, sosok lain menggantung di ceiling kantor yang membentuk huruf "T". Sosok berkulit putih, bersayap hitam, bertato, melebarkan kedua tangannya, mengenakan kacamata hitam, jaket kebesaran bertudung merah, dan lipstik merah.
Mulai Senin pekan lalu hingga sebulan ke depan, Tempo menggelar pameran karya seni bertajuk "Para Perempuan Kartini: Gambar Cetak Digital, Mural, Instalasi". Seniman profesional, komunitas street, dan desainer Tempo dipersilakan menafsirkan pemikiran Kartini yang terekam dalam surat-suratnya lewat karya.
Instalasi di void newsroom tadi merupakan karya Amalia Sigit dan suaminya, Hardiman Rajab, yang dikenal sebagai seniman koper. Karya berjudul Vroeger en Tegenwoordig (Masa Lalu dan Masa Kini) itu menampilkan sosok dalam jaring sebagai masa lalu: Kartini yang memimpikan pendidikan tinggi bagi perempuan-perempuan Indonesia terjerat dalam jaring-jaring etika dan aturan adat.
Adapun sosok yang terbang di jantung ruangan itu merupakan perempuan masa kini yang bebas. Lewat karya ini, Amalia menyampaikan kritik sekaligus pertanyaan penting: "Apakah perempuan masa kini sudah sesuai dengan apa yang dicita-citakan Kartini?" kata Amalia.
LOBI Gedung Tempo bersalin rupa. Hingga Sabtu dua pekan lalu, ruangan ini masih dihiasi sosok-sosok pahlawan dari pameran grafis yang digelar pada November tahun lalu. Namun kini wajah Kartini dan keluarganya dengan warna-warna cerah menghiasi kaca-kaca interior Gedung Tempo. Karya di lantai dasar itu merupakan karya komunitas WPAP.
"Ini pertama kalinya kami ditantang untuk berkarya di gedung kantor," ujar Itock Soekarso, ketua komunitas itu. Menurut dia, mengisi kekosongan bidang seluas 6 x 12 meter atau 3 x 8 meter bukan perkara mudah. Apalagi dia harus mengorganisasi 150 anggota aktifnya untuk mengumpulkan karya.
Itock mengirimkan foto tua Kartini bersama adik-adiknya, Kardinah dan Roekmini; bersama ayah-ibunya; serta bersama suaminya kepada para anggota WPAP. Anggota komunitas ini lantas melakukan tracing dengan vektor, kemudian memberikan warna-warna cerah yang kontras. Itock dan tim utama menyusun karya-karya ini menjadi satu karya besar yang kini terpajang di lobi gedung.
Pakem gaya ilustrasi yang didominasi bidang datar kaya warna untuk memunculkan imaji trimatra itu merupakan gaya yang diciptakan Wedha Abdul Rasyid, ilustrator majalah Hai, pada awal 1990-an. WPAP sendiri merupakan singkatan dari Wedha's Pop Art Portrait. Komunitas yang pernah menggelar pameran di Paris pada 2013 ini memiliki lebih dari 40 ribu anggota yang tersebar hingga pelosok Indonesia.
Selain di lobi, karya WPAP dipasang di ruang tamu lantai 1 dan foyer lift lantai dasar. Di depan lift, WPAP menampilkan ilustrasi perayaan Kartini di pelosok negeri. Ada pawai sepeda anak-anak, pawai kostum profesi, atau deretan anak perempuan membawa foto Kartini. Tulisan "Ibu Kita (Memang) Kartini"--yang menjadi judul edisi khusus Kartini yang dibuat Tempo lima tahun lalu--tertera di tengah warna-warna cerah itu.
Di depan lobi Tempo, tepatnya di sebuah kolam kecil di samping teras lobi, dipasang instalasi 4 Malam 3 Hari karya Lenny Ratnasari Weichert, perupa asal Yogyakarta. Karya dari material fiberglass ini menyerupai bedong bayi yang digantung. "Melahirkan pemikiran-pemikiran seperti surat-surat Kartini sering sakit prosesnya seperti melahirkan bayi," katanya.
Di ruang berita Tempo, karya yang dipajang lebih dinamis. Dinding, jendela kaca, dan tiang menjadi kanvas bagi para seniman komunitas. Karya baru bersanding dengan karya lama dari pameran grafis Kreavi beberapa waktu lalu.
Di dinding depan lift lantai 4 Tempo, misalnya, komunitas Detruit melukis dinding itu dengan wajah Kartini. Detruit merupakan kata dari bahasa Prancis yang bermakna musnah. Komunitas yang dibentuk pada 2013 itu kerap menggambar grafiti yang mereka yakini akan tetap musnah, ditimpa cat ataupun cuaca.
Lalu ada karya kelompok Reflect yang dipasang di perpustakaan Tempo di lantai 3. Louisiana Wattimena dari komunitas Ladies on Wall (LoW) membuat replikasi foto Kartini dalam delapan latar warna-warna pop. "Inspirasinya dari karya Marilyn Diptych karya Andy Warhol," tutur Louisiana. Inspirasi yang sama dibuat oleh komunitas WPAP di ruang tunggu lobi. Lalu ada gambar tiga tusuk konde yang dipasang di dekat pintu masuk ruang teater mini.
Tusuk konde, perhiasan rambut yang sering dipakai Kartini, juga menjadi obyek gambar Indra Fauzi, desainer Tempo. Di salah satu tiang lantai 3, dia menggambar Kartini modern sebagai pembalap. Kartini modern ini digambar dari belakang sedang duduk di atas sepeda motor lengkap dengan jaket kulit hitam. Yang menarik, tusuk konde terpasang dalam sanggul mini di kepalanya. Ada secuplik kalimat dari surat-surat Kartini: "perempuan bumiputera merdeka dan berdiri sendiri".
Gilang Rahadian, komandan tim kreatif Tempo, mengambil konsep yang mirip. Sebuah tiang dia tempeli dengan gambar sosok perempuan masa kini, seperti Joan Jett, Audrey Hepburn, Nike Ardilla, dan Susi Susanti. Semua perempuan itu diberi sanggul dan hiasan tiga melati--ciri sosok Kartini yang ada di foto. Total ada delapan desainer Tempo yang terlibat dalam pameran kali ini.
Kendra Paramita, ilustrator sampul majalah Tempo, menampilkan gambar Kartini dengan latar gelap ditemani lampu minyak sebagai penerang dalam tiga sekuens. Di hadapannya ada meja dan kertas. Tapi bukan catatan atau surat yang dia tulis, melainkan potret diri. Kartini dengan latar gelap itu ditemani lampu minyak sebagai penerang. Karya ini dipasang di enam jendela sisi selatan lantai 4.
Yuyun Nurrachman, desainer Tempo, mengambil konsep "Habis Gelap Terbitlah Terang" dalam dua adegan yang dipajang di dua tiang. Menurut Gilang, karya-karya tim kreatif ini dibikin dalam dua minggu. "Seminggu untuk menggali ide. Minggu kedua untuk proses. Akhirnya selesai di sela-sela tenggat," kata Ugi--panggilan akrab Gilang.
Bertajuk pameran mural, yang betul-betul karya mural dan langsung mengecat di dinding adalah karya Komunitas Gardu di ruang untuk merokok Tempo. Semua karya di atas adalah hasil print digital yang ditempel di tembok, kecuali Komunitas Gardu. Komunitas ini menggambar wajah Kartini besar dengan warna dan huruf cerah. Selama sebulan sejak pembukaan pameran pada Selasa pekan lalu, publik dipersilakan melihat-lihat karya seni dan tafsir baru Kartini di tengah keriuhan ruang berita Tempo.
Amandra M. Megarani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo