Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INI adalah sarkofagus." Agnes Arellano, perupa terkenal Filipina yang kerap membuat karya erotis, menunjuk layar yang menayangkan kotak persegi panjang. Di atas kotak tersebut, ada karya rupa dua manusia yang tengah berbaring dan berpelukan.
Sepintas, kami yang hadir mengira karya itu merupakan patung pasangan yang tengah memadu kasih. Namun ternyata itu merupakan posisi jasad orang tua Agnes saat ditemukan setelah kebakaran besar membumihanguskan rumah keluarganya. Di balik sarkofagus itu, ada karya lain yang berasal dari tulang-belulang manusia dan reruntuhan rumahnya.
Agnes merupakan satu dari tiga seniman Asia Tenggara yang membuat karya tentang tiga kematian. Mereka mempresentasikannya di Studio One Kuash Theatre, Kuala Lumpur. Nadiah Bhamadaj, seniman rupa asal Malaysia, membuat gambar kolase tentang adiknya yang tewas dalam insiden Santa Cruz di Timor Timur pada 1991. Geraldine Kang, seniman muda dari Singapura, membuat karya fotografi tentang neneknya sebelum wafat. Seusai presentasi, perbincangan terjadi.
Di sudut lain Kuala Lumpur, di Akademi Seni Budaya dan Warisan Kebangsaan (Aswara), Anocha Suwichakornpong dan Kanakan Balintagos menggelar presentasi serupa. Bedanya, ini tentang film. Kedua sutradara ini pernah membuat film yang tayang di Cannes Film Festival. Dua sesi itu merupakan salah satu bagian dari program KataKatha yang digelar sepanjang empat hari selama akhir pekan lalu di Kuala Lumpur. Selain dihadiri lima seniman tersebut, program ini dihadiri budayawan Goenawan Mohamad (Indonesia), arsitek sekaligus penulis Avianti Armand (Indonesia), sejarawan Farish A. Noor (Malaysia), penari Pichet Klunchun (Thailand), perencana kota Lai Chee Kien (Singapura), dan Latiff Mohamad (Malaysia).
"Seniman-seniman dari Asia Tenggara kerap bertemu di Kanada, Jerman, dan negara-negara lain. Mengapa kita tidak mulai menggelar pertemuan untuk berbicara dalam lingkup regional di wilayah kita sendiri?" ujar Eddin Khoo, penyair Malaysia yang juga penggagas acara. KataKatha berasal dari "kata" dan "katha", yang bermakna sama. "Saya biasa merantau di Asia Tenggara. Saya heran seniman di Asia Tenggara sendiri tidak banyak berkenalan. Padahal satu rantau. Kita membutuhkan satu platform intelektual bersama."
Selain perbincangan dan sesi dengan seniman, ada pemutaran film dan pertunjukan kesenian wayang kulit. Eddin kerap mempromosikan regenerasi wayang kulit di Malaysia yang terancam punah. Eddin dikenal dekat dengan Abdullah bin Ibrahim alias Dollah Baju Merah, tokoh wayang kulit di Kelantan. Berbeda dengan wayang kulit di Jawa, musik wayang kulit Kelantan lebih mirip musik wayang potehi, dengan tambahan alat musik obo. Ceritanya sendiri lebih bebas dan penuh humor.
Selain melibatkan para tokoh, program ini melibatkan sejumlah mahasiswa dan pengajar dari lima universitas di Asia Tenggara, yakni University of Malaya, University of Chulalongkorn, Universitas Gadjah Mada, University of Philippines, dan National University of Singapore. Eddin berharap bisa membangun jaringan KataKatha di berbagai kawasan Asia Tenggara dengan mahasiswa sebagai perwakilan mereka. Didana Maybank Kim Eng dan Maybank Foundation, Eddin memiliki harapan lebih jauh. "Saya ingin menumbuhkan satu institusi khusus untuk menampung karya seniman-seniman Asia Tenggara."
Amandra M. Megarani (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo