Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tzu-Chi Yeh memesan 40 ceker ayam dari Pasar Gede untuk performansnya pada hari kedua festival Undisclosed Territory #9, di Studio Plesungan, Karanganyar, Solo (11-15 November 2015). Selama lebih-kurang setengah jam di belakang meja, seniman asal Taiwan ini tenggelam "menjahit" ceker dan menyambung-nyambungnya. Ia lalu melilitkan rantai ceker ayam itu di kedua kakinya dengan benang merah, menyeretnya berkeliling arena pertunjukan. Keterikatan atau represi perempuan di ranah publik?
"Karya saya adalah cerita mengenai lenyapnya binatang di sekitar kita. Lihatlah sekeliling kita, tidak ada hewan yang tampak, hanya manusia. Hubungan antara manusia dan binatang cenderung sudah hilang," ujar lulusan fakultas sastra Inggris yang memutuskan menjadi seniman sejak lebih dari sepuluh tahun lalu itu.
Festival yang digagas oleh Melati Suryodarmo sejak 2006 ini menginjak tahun kesembilan. Kali ini hanya mengundang perempuan, diikuti 19 seniman dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Yang khas, para seniman ini tertarik pada obyek yang mungkin dianggap paling "perempuan": benang. Seperti Tzu-Chi, Nopawan Sirivejkul dari Thailand tampil dengan segepok benang merah. Sesudah mengurainya sampai ujung, Nopawan melilit-lilitkan benang untuk membungkam mulutnya. Bukan hanya adegan tersebut dan berdiri selama tiga jam yang mengirim sinyal teror kepada penonton, melainkan juga warna merah menyala di mulut itu dan cecerannya di ujung kaki.
"Anda pikir karya saya tentang apa? Bisa tentang apa saja dan tidak ada kaitannya dengan politik," ujar seniman senior yang dikenal sebagai esais ini. Rekannya yang lebih muda, Rinyaphat Nithipattaraahnan, 31 tahun, juga mengulur benang hitam ke arah penonton, seakan-akan membayangkan jalinan yang samar. Mengenakan gaun pesta warna krem dan menuruni tangga batu dengan gerak lambat, Rinyaphat kemudian menusuk beberapa bagian roknya dengan gunting, memuncratkan cairan merah sangat kental.
Snezana Golubovic dari Serbia, yang tahun lalu mempertontonkan karyanya melalui dokumentasi video, menampilkan performans berdurasi tiga jam. Dia berdiri di atas pedestal berundak warna putih, menghela sebagian rambut panjangnya ke arah muka, menghitungnya tanpa jeda. Dia bergumam dalam bahasa Serbia, sebagai salah satu cara mengingat bahasa ibu, baru berhenti pada hitungan 3.420. "Saya pernah melakukan performans selama tujuh jam dan menghitung rambut saya sebanyak 7.046," ujar seniman ini.
Imhathai Suwatthanasilp dengan puitis merajut helai rambutnya sendiri di bawah sorotan lampu untuk membungkus batu-batu koral putih, layaknya jaring laba-laba. Seniman lulusan Fakultas Seni Lukis, Patung, dan Grafis Universitas Silpakorn, Bangkok, Thailand, ini kemudian menuliskan kalimat di atas kertas dengan tinta Cina: "Keep it to see when I am not be with you". Dia menghunus ketapelnya dengan batu-batu itu, melontarkannya satu per satu, jauh ke gelap malam.
Chu Yia Chia, seniman Malaysia yang kini tinggal di Swedia, mengusung sekarung beras, memilihnya beberapa butir di atas timbangan. Chu Yia dengan cermat menciptakan kesetimbangan antara butir-butir beras yang putih dan yang sudah ditulisinya dengan kata "right" dalam bahasa Mandarin. Luna Dian Setya, seniman muda lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Sebelas Maret, menguji faal tubuhnya dengan mengunyah daun pepaya mentah selama dua jam. Gaun putih panjangnya ternoda oleh beberapa kali muntahan. Pada malam hari, Adek Ceguk dari Jakarta menggelundungkan tubuhnya menuruni kontur tanah yang terjal di halaman Studio Plesungan. Tubuh kecilnya meluncur ke arah tepi sungai, berhenti di antara penerangan lampu teplok, seperti raga yang terlempar dan mati.
Performans Sakiko Yamaoka dari Jepang paling meriah. Ia berkolaborasi dengan kelompok ludrukan perempuan Jawa, Sahita. Sakiko membuka "warung" yang isinya jajanan dan buah-buahan lokal. Kelompok Sahita yang ceriwis dengan parikan menantang pemirsa untuk menyanyikan lagu daerah, sebelum mencicipi makanan. Mereka unjuk kebolehan dengan menyanyikan lagu Bengawan Solo. Di tengah keriuhan suasana warung, Sakiko yang berpakaian Jawa mencangkuli tanah dan menanam beberapa pohon muda. "Saya tertarik pada sesuatu yang tumbuh dan makna penantian, sambil menghadirkan peristiwa untuk menghibur...," kata Sakiko penuh makna.
Ketangguhan menyajikan karya berdurasi panjang yang mengandaikan sebuah penantian disajikan oleh para performer. Presentasi puitis tubuh perempuan menyeruak dalam menit-menit yang lama dan intens itu. Sayangnya, festival ini hanya dihadiri sedikit penonton.
Hendro Wiyanto, Pengamat Seni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo