Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Akar sejarah Dwifungsi ABRI

Pengarang: ulf sundhaussen resensi oleh: burhan magenda. (bk)

4 September 1982 | 00.00 WIB

Akar sejarah Dwifungsi ABRI
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
THE ROAD TO POWER: INDONESIAN MILITARY POLITICS, 1945-1967 Oleh: Ulf Sundhaussen Penerbit: Oxford University Press, 1982. 274 halaman dengan Bab Pengantar, Bibliografi dan Indeks. PADA umumnya penelitian sosial yang membahas peranan politik kaum militer (ABRI) di Indonesia dapat digolongkan ke dalam dua kelompok utama, yakni kalangan 'tradisionalis' dan kalangan 'revisionis'. Kedua kelompok ini umumnya mengakui kekhasan sejarah keterlibatan sosial-politik ABRI dan melihatnya dari proses sejarah sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Mereka menganggap bahwa keterlibatan sospol ini, yang lazim dikenal sebagai Doktrin Dwifungsi ABRI, merupakan keunikan sejarah sehingga pembahasan yang mereka lakukan umumnya bersifat penjelasan belakangan (post-facto). Adanya kesadaran sejarah ini membedakan para peneliti ini dari pengamat awam, yang banyak diantaranya sudah apriori melihat Dwifungsi ABRI sebagai pertanda gejala militeristis yang seringkali dihubungkan dengan sumber latihan utamanya dulu, yakni tentara pendudukan fasis Jepang, khususnya untuk perwira yang berasal dari PETA. Perbedaan utama antara kalangan 'tradisionalis' dan kalangan 'revisionis' adalah dalam menilai perkembangan pelaksanaan fungsi sospol itu sendiri, sejak periode revolusi kemerdekaan sampai kini, yang ditandai oleh dominasi ABRI dalam politik Indonesia. Kalangan 'tradisionalis', seperti halnya Ulf Sundhaussen ini mencoba mencari jawaban, menyimpulkan bahwa kegagalan sistem politik sipil sebelumnya telah memaksa ABRI mengambil alih kemudi politik negara. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh sarjana Australia asal Jerman ini dengan periodisasi sejarah yang teratur, yakni periode munculnya kerangka politik (1945-1949) periode cobaan (195()-1958) periode akomodasi politik (1957-1962) periode konfrontasi (1962-1965) dan periode pengambilalihan (1966-1967). Kalangan 'revisionis' umumnya berpijak lebih luas daripada sekedar menyalahkan politisi sipil yang gagal, dalam melihat munculnya ABRI sebagai kekuatan politik yang dominan di Indonesia. Pertanyaan dasarnya adalah bukan lagi "mengapa ABRI menjadi dominan" tapi sudah melangkah menjadi semacam ramalan "mengapa ABRI akan tetap dominan". Jawabannya tentu tidak bisa lagi menyalahkan politisi sipil zaman 1950-an, tapi dengan menghubungkannya dengan sistem politik ekonomi secara keseluruhan, misalnya dengan mengembangkan teori "kepentingan korporasi" yang banyak dipakai dalam membahas peranan politik kaum militer di negara Dunia Ketiga sekarang. Pandangan ini misalnya dianut oleh Harold Crouch, sama-sama jebolan Universitas Monash (Australia) dengan Ulf Sundhaussen, dalam bukunya yang diterbitkan Cornell University Press tahun 1978, The Army and Politics in Indonesia, yang membahas periode post-1966. Dengan penelitian historisnya, Ulf Sundhaussen banyak mengemukakan akar problem yang menyebabkan munculnya ABRI sebagai kekuatan politik terkuat di Indonesia sekarang. Salah satu masalah pokok adalah usaha pemerintahan sipil tahun 1945 sampai 1948 untuk mengontrol kekuatan militer (NI). Tokoh utama di belakang usaha ini adalah Amir Sjarifuddin, baik sebagai Menteri Keamanan dalam kabinet Sjahrir I maupun sebagai Perdana Menteri dua kabinet RI setelah Sjahrir. Amir mengecam pimpinan TNI (waktu itu bernama TKR dan diubah menjadi TRI sebelum diresmikan sebagai TNI), baik yang berasal dari PETA maupun eks KNIL dan berusaha menandinginya dengan membentuk TNI Masyarakat yang berasal dari laskar. Pada Februari 1946 Amir membentuk embrio dari komisaris politik gaya partai Marxis, yakni dengan didirikannya Staf Pendidikan, yang membawahkan Pendidikan Politik Tentara (Pepolit). Pepolit inilah yang memiliki Opsir Politik (Komisar Politik), yang semuanya diambil dari Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) pimpinan Amir sendiri. Tiap divisi TRI memiliki 5 Opsir Politik, yang memiliki jalur khusus ke Menteri Keamanan. Pertentangan dengan segera timbul antara komandan di lapangan dengan Opsir Politik ini, seperti kasus almarhum Letjen Gatot Soebroto, yang bahkan melarang penempatan Opsir Politik itu di kesatuannya. Timbulnya 'Peristiwa Madiun' (September 1948), yang dipelopori oleh Front Demokrasi Rakyat pimpinan Amir Sjarifuddin, dan bertahannya TNI sebagai kekuatan utama RI memimpin perang gerilya setelah Aksi Militer II (Belanda) Desember 1948, merupakan titik balik yang penting dari konseptualisasi peranan sospol ABRI di Indonesia. Dapatlah dikatakan, bahwa usaha memencilkan ABRI dari peranan politik setelah 1950 mencerminkan kurang tanggapnya politisi sipil terhadap peristiwa sejarah pada masa 1946-1950, khususnya persepsi sebagai 'penyelamat bangsa' dari ABRI selama perang gerilya menyusul Aksi Militer II. Inilah sebenarnya akar sejarah dari berbagai peristiwa tahun 1950-an, yang ditandai oleh peranan politik ABRI sebagai 'kekuatan penekan' terhadap berbagai pemerintahan sipil. Ada tiga hal yang sangat peka bagi kalangan perwira TNI/ABRI: þ diangkatnya politisi sipil sebagai Menteri Pertahanan (dengan pengecualian Sultan Hamengku Buwono IX, yang dalam pemilihan tahun 1946 justru menjadi favorit perwiraperwira TKR), khususnya Iwa Kusumasumantri. þ ide pembentukan kekuatan militer lain diluar ABRI, misalnya ide Angkatan Kelima dari PKI pada tahun 1964 dan awal 1965. þ ide masuknya kembali politisi sebagai Opsir Politik, seperti halnya ide Nasakomisasi ABRI pada masa akhir Demokrasi Terpimpin. Dalam pelaksanaan doktrin Dwifungsi sekarang, ketiga hal itu dianggap sudah selesai. Kalaupun ada kebutuhan karena perkembangan zaman (misalnya tentang pemisahan jabatan Menhankam dengan Panglima ABRI), maka hal itu sepenuhnya diserahkan pada pihak ABRI menyelesaikannya sendiri. Ulf Sundhaussen juga mengungkapkan komitmen sekelompok perwira ABRI terhadap pembangunan ekonomi sesudah terciptanya konsolidasi intern ABRI pada tahun 1960. Kelompok ini berpusat di Seskoad Bandung, dengan almarhum l.etjen Suwarto memainkan peranan sentral. Sebenarnya, pikiran mengenai pembangunan ekonomi ini juga banyak didorong oleh Doktrin TNI/AD waktu itu, yakni Pertahanan Rakyat Semesta, yang juga digodok oleh Seskoad padatahun 1961. Banyak tokoh militer yang hadir dalam penggodokan tersebut kemudian menjadi pemegang kendali utama pemerintah Orde Baru, seperti Presiden Soeharto, Darjatmo (Ketua DPR/MPR), Sudirman dan Sutopo Jowono (Gubernur Lemhanas) disamping yang sudah meninggal seperti S. Soekowati dan Sarbini. Tidaklah mengherankan bahwa pemerintah Orde Baru menjadikan pembangunan ekonomi sebagai salah satu ciri utama, yang membedakannya dari pemerintah sebelumnya. Ini sekaligus memberikan legitimasi (keabsahan) untuk Doktrin Dwifungsi ABRI yakni berusaha menciptakan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan ekonomi bertahap. Sayangnya, dalam uraiannya mengenai hal ini, Ulf Sundhaussen tidak secara jelas mengemukakan mengapa pembangunan ekonomi tidak jalan waktu itu walaupun disebutnya juga bahwa sekitar 80% budget negara dipakai untuk modernisasi ABRI. Buku Sundhaussen juga kurang membahas peranan ABRI sebagai suatu kekuatan birokrasi nasional yang terkuat. Untuk suatu negara kesatuan yang begitu luas dan heterogen seperti Indonesia, ABRI bolehlah dianggap sebagai kekuatan birokrasi nasional yang pertama-tama yang mampu memiliki wilayah kontrol ke segala penjuru tanah-air. Ini sebagian disebabkan oleh kepentingan tugasnya untuk menyelesaikan masalah keamanan di berbagai tempat dan sebagian karena konsolidasinya yang cepat dibandingkan birokrasi sipil. Kemampuan ini menyebabkan ABRI tidak saja berperanan pada tingkat nasional, tapi juga memiliki rentang kendali yang kuat pada politik di tingkat paling bawah (kelurahan). HAL lain yang tidak diketengahkan oleh Sundhaussen adalah munculnya "kepentingan korporasi" ABRI sebagai kekuatan birokrasi dan hubungannya dengan peranan politik ABRI di masa-masa sesudahnya. Pada akhir 1950-an dan khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin dan pra-30-S/PKI, biaya untuk operasi politik banyak diperoleh dari perluasan kegiatan ABRI, misalnya dalam perusahaan negara dan aktivitas ekonomi lainnya. Hal ini belum dengan jelas dicakup dalam Doktrin Dwifungsi ABRI walaupun sudah mulai dipikirkan dalam usaha pelestarian nilai '45. Kiranya hal yang penting ini harus dirampungkan dulu oleh ABRI generasi '45, sehingga ada pedoman yang jelas mengenai konsep dan perilaku ekonomi. Masalah ini merupakan 'sisi lain' dari pembangunan ekonomi, yakni bagaimana menciptakan konsistensi antara "ideal" tentara revolusi dan alat perjuangan bangsa dari ABRI denan pengaruh pembangunan ekonomi yang baru sekarang dirasakan. Hal lain yang perlu ditambahkan, dan yang belum dibahas Sundhaussen, adalah pelembagaan kerjasama ABRI dengan kelompok sipil. Hal ini sudah berlangsung, misalnya pada Golkar untuk partisipasi politik. Yang belum jelas adalah tentang terciptanya suatu mekanisme pengambilan keputusan politik yang melembaga, dan sudah dicoba, sehingga pada saat kaum perwira (dan purnawirawan) ABRI generasi '45 meninggalkan gelanggang politik negara, mekanisme ini sudah tahan uji dan tidak ada "bom waktu" untuk generasi berikutnya. Walaupun hal ini tidak dibahas oleh Sundhaussen, bukunya telah memberikan perspektif sejarah yang demikian luas, sehingga patut dibaca oleh publik politik pada umumnya. Burhan Magenda

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus