Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG pameran itu sederhana, sekitar 3x10 meter. Karya-karya yang dipamerkannya pun sederhana: sekitar 25 karya cetak cukilan kayu dan lukisan cat minyak hitam-putih. Ukuran terbesar karya cat minyak, 200x100 meter. Sedangkan karya grafisnya kebanyakan berukuran 20x 25 cm, beberapa agak besar, 20x45 cm. Ihwal kesederhanaan ini mengingatkan pada karya-karya sanggar seni rupa di Yogyakarta 1950-an. Karya-karya yang memotret kehidupan sekitar dengan sederhana.
Yang kemudian menarik perhatian, karya cetak cukilan kayu dan lukisan Hardjija di Galeri Tembi, Jakarta, ini mencerminkan penguasaan teknik dengan sangat baik. Satu contoh adalah karya cetak cukilan kayu Ndobos (ini kata bahasa jawa, maknanya omong kosong cenderung membual) berangka tahun 1978. Karya berukuran 20x30 cm ini, mau tak mau, membuat kita harus mendekat untuk menangkap betapa cermat karya yang menggambarkan enam anak duduk-duduk di pekarangan, ada pohon-pohon, seekor kerbau, serta sepotong dinding bambu.
Hardjija, 68 tahun, lulusan ASRI Yogyakarta 1963, tak hanya membentuk obyek-obyek itu. Ia menyajikan bidang dan garisnya dengan teknik yang terlatih: antara baju, kulit, rambut, pohon, kerbau, dan dinding bambu terasa mempunyai karakter masing-masing. Inilah hasil pendidikan seni rupa di Yogyakarta yang mengharuskan para calon pelukis untuk menguasai keterampilan mensket: membuat gambar dari obyek yang dipilih hanya dengan garis, hitam-putih. Dengan cara ini mereka harus menggambarkan dengan garis yang ”sama” namun beda ”rasa”.
Pada sketsa sesosok orang, misalnya, mestilah terasa beda rasa antara baju, kulit, sepatu, dan barang-barang di sekeliling sosok ini. Kebanyakan karya lukis dan grafis sekarang (misalnya yang saya lihat pada pameran trienal grafis oleh Bentara Budaya) tak peduli lagi untuk membedakan ”rasa” kulit, baju, dan sebagainya.
Karya cetak nukilan kayu Hardjija juga mengingatkan kita untuk kembali menghargai watak media. Garis dan bidang pada karya cetak cukilan kayu jauh dari lembut. Bidang terasa keras dan kaku. Warna tanpa nuansa: apalagi bila pencetakan hanya menggunakan tinta hitam, kontras pun tercapai dengan sendirinya. Watak cukilan kayu seperti itu merupakan media ekspresi yang relatif mudah untuk menyampaikan tema-tema yang pahit—kesedihan, kesendirian, bencana, dan lain sebagainya. Dan itulah tema-tema karya seni rupa Hardjija.
Dan dalam hal ini, Hardjija termasuk yang percaya bahwa gambar ciptaannya mampu ”berdialog” sendiri dengan penontonnya. Ibarat menulis, Hardjija tak memerlukan banyak kata sifat (baik, buruk, panas, dingin, indah), karena hanya dengan kata sifat yang hendak digambarkan belumlah jelas. Misalnya kalimat lukisan itu indah, tanpa gambaran lukisan itu seperti apa, kata indah di situ hanya omong kosong. Hardjija berhasil menghindar dari hal semacam itu.
Lihat, misalnya, Ndobos itu. Selain kepiawaian tekniknya sehingga karakter tiap obyek tergambarkan dengan baik, posisi duduk serta ekspresi wajah anak-anak dan wajah si anak yang beromong kosong itu menimbulkan imaji bahwa ada sesuatu yang tidak biasa di situ. Atau, tengok Sedih dan Ngeri karya pada 1978 juga. Gambar wajah lelaki dan tangan kiri si empunya wajah menutup lebih dari separuh wajah itu, termasuk kedua mata dan batang hidung. Cukilan pada guratan-guratan tangan, pipi, dan bibir berliuk memberikan imaji seperti gambar ini bergetar, sedangkan guratan latar belakang yang garis-garis lurus itu memberikan kontras. Ada ketegangan antara guratan pada wajah serta tangan dan latar belakang. Seandainya pun tak ada judul Sedih dan Ngeri, karya cetak cukilan kayu ini jelas bukan hendak mengisahkan ihwal kegembiraan, melainkan sebaliknya.
Demikianlah, dari satu karya cetak cukilan kayu yang satu ke yang lain, bidang dan garis Hardjija bercerita tentang hal-hal yang kurang beres. Pada Merdeka!!! bertahun 1982 berukuran 20x25 cm tampak seorang anak kurus dengan mulut agak menganga melambaikan bendera kecil dengan tangan kanannya. Tidak Sekolah adalah gambar lima anak—dua menjajakan penganan, yang tiga berseragam sekolah, membawa tas. Atau, Pulang Kerja (1981), wajah-wajah capek antre keluar dari pabrik yang cerobongnya mengepulkan asap hitam. Selain yang tersebut belakangan ini, yang agak klise, menurut saya (ada antrean buruh berlatar asap pabrik, stereotipe lukisan para pelukis yang, konon, membela buruh—dan tani—pada 1950-an dan 1960-an), karya cetak cukilan kayu pada pameran ini mengingatkan kita pada karya-karya masa lalu, dengan sajian yang tak lagi bermasalah dalam hal keterampilannya.
Ini sebuah selingan yang teduh, untuk merenungkan betapa seni rupa kita sudah jauh berjalan.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo