Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anda nanti akan lihat karakter Ibu yang sudah capai dengan ratusan laki-laki. Mungkin bukan ratusan, tapi puluhan," kata pianis Ananda Sukarlan membuka pertunjukan opera saku Laki-laki Sejati di Erasmus Huis, Jumat malam dua pekan lalu. Kontan tawa hadirin pun berderai.
"Kemudian ada gadis golden jomblo, jomblo yang sedang mekar tapi kumbang-kumbang pun takut mendekatinya. Sang gadis ini kalau di Twitter disebut, 'galau'," kata Ananda lagi. Kembali tawa penonton berderai. Opera ini berdurasi pendek, hanya setengah jam, dan bisa dibawakan secara minimal (cukup dua pemain, satu piano, dan satu pianis), sehingga disebut "opera saku".
Hari itu Ananda memang sedang bercanda. Celetukan dan gurauannya tersebar di sela-sela komposisi yang dimainkannya. Pada awal pertunjukan dia mengisahkan putrinya, Alicia Pirena Sukarlan, yang malas berlatih piano, sehingga dia membuat sejumlah komposisi sederhana yang dikumpulkan dalam Alicia's Second Piano Book. Saking sederhananya, dia membuat, misalkan, permainan piano untuk tangan kiri saja atau 1 Minute for Japan, komposisi satu menit yang dipersembahkan untuk para korban tsunami di Jepang.
Lulusan The Hague Conservatory, Belanda, itu juga menampilkan sejumlah komposisi dari puisi, sumber penciptaan favoritnya. Kali ini dia dan Adi Didut Nugraha, penyanyi tenor dari paduan suara mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan, membawakan Senyap Sedang Sendirian karya Clarentia Prameta, Salju di Musim Semi karya Chendra Panatan, dan Berkicaulah Burungku karya Eka Budianta.
Ananda juga mengangkat puisi yang beredar di Twitter. Setelah mengolah puisi Hasan Haspahani, penyair Batam, kini dia membawakan enam puisi tanpa judul karya penyair Makassar, Aan Mansyur, dalam Retweeting @aanmansyur. Ananda bisa dibilang menjadi musisi pertama, setidaknya di Indonesia, yang menciptakan komposisi musik dari puisi di Twitter.
Namun derai tawa penonton paling ramai tentu saja terjadi sepanjang opera Laki-laki Sejati. Opera ini diangkat dari cerita pendek Putu Wijaya berjudul sama. Pentas ini dimainkan Evelyn Merrelita Sumilat, penyanyi soprano coloratura, dan Indah Pristanti, penyanyi mezzo-soprano. Keduanya telah terlibat dalam banyak konser dan terakhir menjuarai Kompetisi Tembang Puitik Ananda Sukarlan pada April lalu.
Opera ini, kata Ananda, sengaja diciptakan untuk mengeksploitasi soprano coloratura, yang jarang diolah di khazanah musik Indonesia, tapi banyak diangkat W.A. Mozart. "Soprano coloratura itu menarik, karena rentang suaranya bisa sangat tinggi sekali, mudah ditekuk-tekuk dan ditarik seenaknya, sehingga sering digunakan dalam opera komedi," kata dia.
Opera ini mengisahkan percakapan antara Gadis (Indah) dan sang Ibu (Evelyn) tentang macam apa lelaki sejati itu. Percakapan mereka kocak. "Seorang laki-laki, meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru, bahkan seorang yang arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi laki-laki sejati," kata Ibu.
"Walaupun main pianonya oke?" kata Gadis. Ananda sesaat menghentikan permainan pianonya dan menatap penonton dengan wajah bangga. Penonton pun tertawa lagi.
"Tidak!" kata Ibu. "Kalau begitu, apa dong?" sahut putrinya.
Evelyn menyanyikan bagiannya dengan terampil. Suaranya sesekali menjelajah ke nada-nada tinggi dan kadang berbicara cepat tapi jelas. Indah mengimbanginya dan menambahkan lagaknya yang kekanak-kanakan, sehingga lengkaplah pertunjukan komedi ini. Malam itu Ananda menunjukkan satu kelebihannya: seorang penghibur yang piawai berkomunikasi dengan penonton lewat canda-canda segar dalam lisan dan musik.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo