Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ziarah Bukan Musik Biasa

Sebuah pentas mengenang spirit komponis I Wayan Sadra diadakan di Taman Budaya Solo.

10 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perempuan itu duduk bersimpuh sambil tangannya meremas-remas benda semacam genta. Remasan yang memunculkan bunyi tak beraturan seperti suara-suara gemeletak. Di belakangnya, tiga lelaki memukul Chinese gong dan simbal dalam berbagai ukuran. Pukulan bertempo cepat dan dalam dinamika tak terukur itu menghasilkan suara gemerencing, gaduh, juga pekak di telinga. Sesekali mencuat suara vokal (voicing) yang dibawakan secara stakato oleh perempuan itu.

Mereka sedang membangun ruang bunyi yang demikian luas serta berdurasi panjang, hingga perempuan itu perlahan bergerak, seperti menari, sambil terus membunyikan genta dalam genggaman tangannya. Lalu seorang di antaranya memainkan piano, menimpali gemeletak genta dan vokal dalam rangkaian nada minimalis. Isolasi nada-nada minimalis ini menjadi semacam kiat menjaga komposisi ruang bunyi agar senantiasa lebar.

Musik garapan Memet Chairul Slamet itu membuka persepsi bagi audiens yang datang pada malam pertunjukan Bukan Musik Biasa di pendapa Wiswa Seni Taman Budaya Surakarta, 29 September lalu. Komponis asal Yogyakarta itu mengirim pesan pendek (SMS) ke saya. Dia mengaku sedang membangun komunikasi intuisi musikal lewat karya yang diberi judul Doa untuk Sahabat tersebut. Ia menempatkan relasi dan jalinan sumber bunyi sebagai core yang secara auditif dapat mengisi struktur hingga terasa bentuk yang imajinatif.

Doa untuk Sahabat oleh Memet didedikasikan kepada mendiang I Wayan Sadra, yang karya-karyanya sering disebut sebagai post-structural. Memet seperti hendak melakukan ziarah musikal sekaligus mengenang sosok Wayan Sadra, yang membidani Bukan Musik Biasa sejak 2007.

Selain Memet, sebelumnya tampil komponis Eko Kasmo Hardoyo, yang membawakan dua repertoar, berjudul Kali Kening dan Nyanyian Musim. Komponis asal Desa Sukorejo, Parengan, Tuban, Jawa Timur, ini membawa adonan musik hibrida, yang sebenarnya bukan barang baru lagi. Persilangan musik lintas etnis (world cross over) tampak menonjol lewat idiomatika garap, struktur, bentuk, hingga instrumentasi yang dipakainya. Secara kompositoris barangkali kurang memunculkan kesegaran garap. Tapi, pada spirit dan etos pemusik, Kasmo harus diacungi jempol.

Kasmo, dengan pendekatan silang budaya, tidak hanya mengupayakan ruang perjumpaan estetis, tapi juga transformasi pemikiran urban-rural yang begitu cair. Bahwa cara berpikir kompositoris adalah "kebudayaan kota", atau tepatnya budaya para pemusik terpelajar, menjadi sesuatu yang dengan enteng dan arif diterima oleh komunitas pemusiknya, yang notabene "orang desa". Sekumpulan pemusik yang menyebut diri komunitas Soh—yang terdiri atas petani, buruh bangunan, pelajar sekolah menengah pertama, hingga penganggur—dengan enteng dan bersemangat menggarap musik komposisi baru ketimbang memainkan musik campursari, yang jauh bisa mendatangkan rezeki atau nama kondang.

Ini yang kerap luput dari teori kebudayaan. Bahwa rezim estetika yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga seni, yang kerap berpikir secara kategoris, tidak berlaku bagi Kasmo dan komunitasnya. Dalam beberapa hal, Kasmo justru telah-sedang mengikhtiarkan apa yang kerap dikampanyekan oleh Wayan Sadra: "membumikan musik baru" agar ia tidak terpenjara dalam rezim yang elitis, yang hanya di­akui lembaga, forum, atau institusi seni semata.

Kasmo, dengan serombongan pemusiknya, yang mencapai belasan orang, berikut peralatan yang multi-instrumen, adalah spirit, juga talenta, yang inspiratif bagi dinamika musik "baru" di sekitar kita. Sedangkan Memet, yang melampaui dimensi teknik dan estetika musik, mengajak audiens bertamasya pada ruang pemaknaan yang begitu merdeka.

Memet dan Kasmo, di sisi lain, lewat Bukan Musik Biasa—yang digelar setiap dua bulan sekali dan telah menginjak angka ke-26—bolehlah disebut sebagai bentuk rasa hormat (homage) kepada Wayan Sadra, yang bukan hanya menjadi arsitek, tapi juga yang setia mengelola event ini hingga di ujung usianya.

Joko S. Gombloh, pemusik Sono Seni Ensemble

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus