Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lihat karya Soedibio ini, pasti akan mengejutkan banyak orang," kata Oei Hong Djien. Rabu dua pekan lalu, kolektor karya seni rupa ini mengajak sejumlah wartawan mengunjungi gedung baru untuk museumnya di Jalan Jenggolo 14, Magelang, Jawa Tengah.
Gedung ini melengkapi dua bangunan museum sebelumnya yang berdiri 15 tahun lalu di belakang rumah Oei di Jalan Diponegoro. Waktu tempuh antara Jalan Diponegoro dan Jalan Jenggolo lebih-kurang sepuluh menit bila naik sepeda motor. Dua gedung lama itu selama ini memamerkan sebagian kecil dari sekitar 2.000 koleksi Oei. Di gedung barunya khusus akan dipajang lukisan para old master, maestro Indonesia.
Soedibio adalah pelukis otodidak yang pernah bergabung dengan S. Sudjojono, sang Bapak Seni Lukis Indonesia, di Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi), tapi sempat menarik diri dari pergaulan selama sekitar 15 tahun sejak 1950-an. Selama ini karya Soedibio dikenal bercorak dekoratif dan bergambar wayang.
Kejutan yang dimaksud Oei Hong Djien adalah karena ia memiliki sejumlah lukisan Soedibio yang bercorak surealistik, seperti di alam mimpi. Lukisan surealistik itu, misalnya, Perjalanan ke Langit (1948), yang menggambarkan orang-orang berkepala anjing sedang menyiksa orang berbaju putih. Roh-roh orang berbaju putih itu terbang sebagai malaikat putih bersayap. Lukisan itu menggambarkan bayangan Soedibio tentang derita para korban kekejaman tentara Jepang.
"Jadi Soedibio sesungguhnya adalah bapak surealisme Indonesia. Tahun 1940-an dia sudah membuat karya demikian, yang melampaui zamannya," kata Oei. Karena itu, Oei hendak mengangkat Soedibio sebagai maestro seni rupa Indonesia. Ia memajang karya Soedibio di gedung barunya bersama karya Affandi, Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Widayat.
Hari itu Oei Hong Djien bungah. Dengan berdirinya gedung baru itu, ia meresmikan semua gedung yang dimilikinya kepada publik sebagai Museum OHD. Pembukaan gedung ketiga itu dibanjiri pencinta seni dari dalam dan luar negeri. Bisa dibilang hampir semua orang yang terlibat dalam dunia seni rupa Indonesia hadir. Tamu dari luar tampak Magnus Renfrew, Direktur Art Hong Kong; Lorenzo Rudolf, Direktur Art Stage Singapura; Pearl Lam dari Pearl Lam Gallery, Shanghai; dan Kwok Kian Chow, penasihat senior Dewan Direktur The National Art Gallery, Singapura.
"Pendirian museum ini dimaksudkan agar masyarakat bisa melihat bagaimana perkembangan seni rupa Indonesia, bahkan juga tahap-tahap perkembangan setiap maestro Indonesian," kata Oei. Kwik Kian Gie, mantan Menteri Koordinator Perekonomian, bergurau ketika memberi sambutan dalam pembukaan gedung ketiga museum itu. Menurut Kwik, di dunia seni rupa dikenal istilah kolekdol, akronim dari "koleksi dan dol" (bahasa Jawa: jual), yang mengkritik praktek kolektor yang hanya suka memborong karya seni untuk dijual kembali. "Tapi Oei adalah kolektol, kolektor tolol, karena mengoleksi tanpa mencari keuntungan," kata Kwik seraya tersenyum lebar.
Oei adalah pengusaha tembakau dan teman dansa Kwik. Gedung baru OHD memanfaatkan bekas gudang tembakau yang sedikit diubah untuk dijadikan museum. Oei dikenal sebagai kolektor yang bisa menceritakan dengan terperinci sejarah suatu karya serta fasih menguraikan teknik dan makna dari karya tersebut, sehingga dia jadi rujukan banyak kolektor, pemilik galeri, dan balai lelang. Dia juga tak segan-segan mempengaruhi teman-temannya, terutama pedagang tembakau, untuk turut mengoleksi karya seni Indonesia. "Jangan sampai karya penting Indonesia malah dikoleksi orang luar dan kita tak bisa menikmatinya," katanya.
Kolega bisnisnya sering datang ke rumahnya dan melihat lukisan koleksinya. "Mulanya mereka tak tertarik. Tapi, karena sering melihat, jadi tertarik dan mulai mengoleksi lukisan juga," kata Oei. Dia mengajarkan pula pentingnya jadi kolektor murni, bukan kolekdol. "Berapa pun ditawar, saya tidak akan menjual koleksi saya."
Di Jalan Diponegoro, dua gedung lama yang memajang lukisan koleksinya selama ini dibuka terbatas. "Selama 14 tahun ia jadi 'museum rumahan', setengah terbuka," kata Letty Surjo, menantu Oei yang kini menjadi direktur museum tersebut. Tamunya sebagian besar dari luar negeri, baik kolektor, mahasiswa, wartawan, maupun turis. Dua gedung itu juga kerap dikunjungi tamu dari berbagai kota di Indonesia, terutama mahasiswa seni rupa dan pelajar, mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
Tahun lalu, kata Letty, jumlah pengunjung dua gedung itu tercatat sekitar 2.000 orang, separuhnya berasal dari mancanegara. Pada 2010, pengunjungnya 1.000 orang lebih. Melihat besarnya minat berkunjung itulah mereka memutuskan membuka lebar-lebar pintu museum.
Sejak peresmian gedung baru, kini siapa pun dapat berkunjung ke keseluruhan museum yang dibuka setiap hari, kecuali Selasa, mulai pukul 10.00 hingga 18.00 itu. Sebagai pemasukan, Museum OHD menerapkan harga tiket masuk Rp 150 ribu untuk orang asing, Rp 100 ribu untuk warga Indonesia, dan harga khusus untuk rombongan. Harga tiket itu terbilang sangat mahal dibandingkan dengan tiket museum yang dikelola pemerintah, seperti Museum Sejarah Jakarta, yang mematok harga Rp 2.000, atau Museum Nasional yang hanya Rp 1.500.
"Tapi, kalau dihitung seluruh biaya pengelolaannya, sebenarnya museum ini tidak bakal untung," kata Letty. Menurut sarjana ilmu bisnis dari University of Michigan, Amerika Serikat, itu, komponen biaya terbesar dari museum ini adalah pemeliharaan lukisan. Koleksi Oei disimpan di ruangan dengan kelembapan terjaga.
Koleksi itu juga dirawat rutin oleh dua restorator dari Singapura. Ongkos untuk jasa pemeliharaan bagi restorator paling murah sekitar 80 euro atau Rp 1 juta per jam. Padahal mereka bisa bekerja 1-2 minggu, menurut kebutuhan. Bila mereka sehari bekerja sekitar 8 jam, dalam dua pekan dibutuhkan biaya Rp 112 juta. Ongkosnya bisa lebih mahal bila harus memperbaiki lukisan yang rusak parah, misalnya retak.
Hasilnya memang mengagumkan. PengunÂjung dapat menikmati lukisan-lukisan tua, seperti karya Sudjojono dan Hendra, dengan warna yang masih cemerlang. "Museumnya sangat lengkap dan gambar pada lukisannya sangat mulus," kata Kurt Kyriss, kolektor lukisan Indonesia dan pengekspor sepatu asal Jerman yang bermukim di Surabaya.
Letty optimistis museum ini tetap akan berjalan dengan baik. Dia berencana mengembangkannya menjadi semacam Benesse Art Site Naoshima, sebuah kompleks kesenian di Pulau Naoshima, Jepang, yang mengubah pulau itu menjadi pulau kesenian yang ramai dikunjungi wisatawan. Museum OHD diharapkan dapat pula mempengaruhi kotanya. "Nantinya Magelang tak hanya dikenal sebagai kota sejuta bunga, tapi juga kota seribu seni," kata istri Igor Rahmanadi, putra sulung Oei, ini.
Museum OHD didirikan dengan tiga misi: tempat pembelajaran seni rupa Indonesia, pameran karya seniman pilihan, dan membawa seni rupa Indonesia agar lebih dikenal di dunia internasional. Dalam dekade terakhir karya seni rupa Indonesia sudah mulai mencorong dan merajai berbagai balai lelang di Asia. Selanjutnya, "Bagaimana karya Indonesia juga jadi koleksi museum dunia, seperti museum berskala dunia semacam Guggenheim di New York dan MOA Museum of Art di Jepang. Ini pekerjaan rumah kita. Ini adalah saat kita, kesempatan kita," kata Oei.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo