Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasijanto Sastrodinomo*
Beberapa waktu lalu, dua petinggi Partai Demokrat meluncurkan "kata mutiara" berbunyi tidak cerdas lewat media. Tak main-main, yang mengucapkannya pertama kali adalah Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Dewan Pembina, tatkala mendengar Angelina Sondakh—anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat asal Partai Demokrat yang tersangka korupsi—dipindahkan ke Komisi III yang membidangi hukum. Pemindahan itu dinilai SBY sebagai "langkah yang tidak cerdas" (Kompas, 17 Februari 2012). Terakhir, T. B. Silalahi, Ketua Dewan Pengawas, melihat banyak anggota partainya "yang tidak cerdas dengan menyerang sesama kader partai" (Tempo, 20-26 Februari, Tokoh/Wawancara).
Mudah ditangkap: ungkapan tidak cerdas itu merupakan (auto-)kritik yang sangat menohok di lingkaran Demokrat. Kabarnya, ketika mengucapkan kata-kata itu, Ketua Dewan Pembina diliputi duka yayah sinipi atau marah besar. Yang patut dicatat, meski berselimut emosi, penyampaian kritik tetap "terukur" wajar. Bayangkan, andai kata substansi tidak cerdas itu diucapkan secara lugas, akan ketemu padanan "sangat tumpul otaknya", "bebal" dan "bodoh", seperti tercakup dalam lema dungu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Lebih "mengerikan" lagi jika diteruskan dengan gugus sinonim yang tercatat dalam Tesaurus Bahasa Indonesia—tapi sebaiknya pembaca periksa sendiri.
Dengan memilih bentuk penyangkalan tidak cerdas, kedua tokoh partai tersebut menjaga sifat arif tanpa mengurangi ketajaman kritiknya. Namun ada awak Demokrat yang ngotot bahwa tindakan rotasi keanggotaan komisi itu biasa saja seraya membandingkan dengan anggota DPR asal partai lain yang terbelit hukum toh tetap bercokol di Komisi Hukum. Artinya, ada niat meniru hal yang salah. Kawan lain separtai mengusulkan agar koleganya yang kesandung hukum itu dialihkan ke komisi keagamaan. "Supaya sejuk," katanya. Lho, apakah lembaga perwakilan rakyat yang terhormat itu berfungsi untuk ngadem bagi tersangka pidana? Dalih yang aneh-aneh itu tampaknya makin menguatkan tengara "ketidakcerdasan" sebagaimana dilihat Sang Pembina.
Dari sisi ekonomi bahasa, tidak cerdas jelas bukanlah bentukan yang efisien—seperti halnya mengatakan "pendek" dengan cara memutar "tidak panjang". Namun, bersanding dengan kata sifat (ajektif) tertentu yang mungkin sensitif, penggunaan partikel tidak lebih menenggang rasa dan bisa mengurangi efek tak nyaman di hati. Ungkapan tidak berpunya, misalnya, terkesan menyelipkan rasa simpati ketimbang miskin, yang bisa disalahtafsirkan sebagai penghinaan atau peremehan terhadap keadaan kekurangan seseorang. Sebagai luapan kekesalan, tidak tahu adat mungkin bernada keras, tapi masih terasa elegan ketimbang berandalan, bergajulan, atau songong, yang sangat mengejek dalam bahasa cakapan.
Dalam khazanah petatah-petitih Jawa cukup banyak ditemukan bentuk negasi ora alias "tidak" untuk menyulih "konfrontasi langsung" ungkapan bernada keras. Serupa tidak cerdas, misalnya, ditemukan dalam peribahasa ora polo ora utek, "tidak benak tidak otak" atawa "sangat bodoh". Tentang keserakahan semisal nafsu koruptif bisa dirujuk pada ora narima ing pandum, atau tidak mau terima apa yang menjadi bagiannya, yang terasa filosofis. Pada ungkapan ora tembung ora lawung memuat arti mengambil milik orang lain tanpa permisi bin nyolong. Kiasan pendek ora lurus sangat gamblang melukiskan watak tidak jujur (lihat Dirdjosiswojo, Paribasan Basa Djawi, 1956).
Tiba-tiba saya teringat akan Bison (penggalan Wibisono), kawan lama semasa belajar di sekolah menengah sekian tahun yang lampau. Banyak guru di sekolah mengakui dia sebagai murid yang cerdas. Ia piawai bermain gitar dan piano sehingga dipercaya memimpin band di sekolah kami. Setiap latihan dan tampil di panggung, dia selalu memilih A Whiter Shade of Pale dari Procol Harum sebagai "lagu wajib". Kata guru pembimbing kesenian, untuk memainkan lagu yang rumit komposisinya itu perlu kecerdasan tersendiri. Artinya, karena Bison mampu memainkan lagu itu secara baik, dia tergolong cerdas.
Entah seberapa benar teori Pak Guru itu. Kenyataannya, nilai mata pelajaran Bison biasa-biasa saja. Kepada wali kelas, dia jujur mengaku malas belajar—mungkin saking asyik ngeband. Bagaimanapun, kecerdasan harus tetap diasah, kata Pak Wali Kelas menasihati Bison. "Sebab, kalau kamu malas sinau, bisa-bisa berubah jadi bodo." Di luar dugaan, Bison memprotes ucapan guru dekatnya itu. "Saya bukan bodo tapi tidak pandai," ujarnya. "Lha, terus apa bédané?" Pak Wali Kelas balik bertanya dalam laras Jawa. Tidak pandai itu, versi Bison, sekadar "kemampuan teknis" yang kurang memadai, semisal tidak pandai memasak; sedangkan bodo itu nir-pengetahuan.
Semasa kampanye pemilihan umum yang lalu, partai berjaket biru itu secara cerdas mampu menyihir khalayak dengan mantra "tidak" yang bermakna mulia: tidak sudi korupsi dan tidak akan korupsi. Dalam iklan kampanyenya, ikrar tidak itu juga diteriakkan oleh Puteri Jelita yang sekarang tersangka tindak lancung. Kini, kesucian janji itu jadi ironi besar yang anehnya malah dièwèr-èwèr punggawa Partai ke mana-mana.
*Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo