Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Taipan Pemborong Karya Nasirun

Sunarjo Sampoerna membangun Esa Sampoerna Art Museum di Surabaya. Mengapa dia tertarik pada karya Nasirun?

16 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sunarjo Sampoerna, putra taipan Boedi Sampoerna, mengamati beberapa karya perupa Yogyakarta, Andre Tanama, di Langgeng Gallery, Magelang, Jumat dua pekan lalu. Istrinya, Semiwati, berdiri di sampingnya dan dengan antusias mengomentari lukisan-lukisan itu. "Ini bagus. Saya suka ini," kata pemilik pabrik kertas PT Esa Kertas Nusantara itu seraya menunjuk Gwen in the Box, karya seni cukil kayu setinggi separuh orang dewasa.

Karya Andre itu pun berpindah tangan dan sebentar lagi akan bergabung dengan puluhan koleksi Sunarjo di museum pribadinya, Esa Sampoerna Art Museum, yang dibuka pada akhir Februari lalu. Museum itu terletak di lantai dua gedung Esa Sampoerna Center, Jalan Kertajaya Indah Timur Nomor 18, Surabaya. Nama Esa merupakan akronim dari nama tiga anaknya: Edward, Stephanie, dan Andrew Sampoerna.

Pembukaan museum itu disertai pameran "Legacy: Trace of Civilization", yang menampilkan karya sejumlah seniman masa kini, seperti Agung Kurniawan, Basrizal Albara, Dipo Andy, Entang Wiharso, Heri Dono, Indieguerillas, Nasirun, dan Rudi Mantofani. Selama pameran, yang berlangsung hingga 6 Maret lalu, museum itu dibuka untuk umum. "Setelah itu museum dapat dikunjungi dengan perjanjian," kata Sunarjo.

Cucu Liem Seeng Tee, pendiri perusahaan rokok PT HM Sampoerna, itu mulai mengoleksi karya seni rupa, terutama lukisan, sejak 1990-an. "Saya mulai tertarik lukisan sejak kena 'virus' Pak Oei," katanya. Dia memang berteman dengan Oei Hong Djien,­ pengusaha tembakau dan kolektor seni rupa di Magelang. Oei sering menyebarkan "virus" kegemaran untuk mengoleksi karya seni kepada rekan-rekan bisnisnya. Banyak yang terkena "virus" ini, termasuk Sunarjo.

Sunarjo pun mulai mengoleksi karya Widayat, pelukis Magelang yang juga sahabat dekat Oei. Lalu dia mulai pula mengumpulkan beberapa karya Antonio Blanco, Arie Smit, dan Adrien-Jean Le Mayeur—para perupa asing di Indonesia yang telah menancapkan tonggak-tonggak awal sejarah seni rupa negeri ini. Dia juga melengkapinya dengan karya para maestro lain, seperti Raden Saleh, S. Sudjojono, dan Hendra Gunawan. Boleh dibilang hampir semua karya perupa penting Indonesia ada dalam daftar koleksinya. Seperti Oei, Sunarjo hanya mengoleksi karya seniman Indonesia.

Tapi, "Lama-lama koleksi lama sudah ndak banyak. Lalu saya cari karya yang muda-muda dengan jalan-jalan, terutama ke Bali, Yogyakarta, dan Bandung," kata dia. Perjalanan keliling ke berbagai pameran itu mendorong Sunarjo untuk mulai mengumpulkan karya generasi baru, yang bukan cuma lukisan, tapi juga instalasi. Maka dia kini juga punya karya Heri Dono, Nasirun, Yudi Sulistyo, Entang Wiharso, Ronald Manulang, Made Djirna, Rudi Mantofani, dan Nyoman Masriadi.

Sunarjo mengaku koleksinya belum banyak. "Baru 100-an karya," katanya merendah. Mulanya lukisan-lukisan itu dipajang di dinding rumahnya. Tapi, "Lama-kelamaan dinding itu habis," katanya. Koleksi baru pun terpaksa menumpuk di gudang.

Koleksi berharga itu akhirnya mendapat tempat pajang yang memadai ketika Sunarjo mengubah satu lantai di gedung Esa Sampoerna Center jadi museum. Lantai itu lebih tinggi dibanding lantai-lantai lain, sehingga Sunarjo dapat memajang koleksinya yang berukuran besar.

Museum itu juga mencerminkan kesenangannya kepada Nasirun, perupa terkenal Yogyakarta. Sejak dari gerbang gedung hingga dalam museum, orang akan menemukan berbagai karya Nasirun. Di dinding lobi, misalnya, terpasang sembilan karakter wayang dari seri Wayang Carangan. Empat pintu metal lift gedung itu juga "diukir" oleh Nasirun dengan cairan kimia.

Sunarjo memang dikenal sebagai pemborong karya Nasirun. Mengapa? "Saya suka wayang dari kecil. Kakek saya dulu suka mengajak saya menonton wayang orang dan wayang kulit," katanya. "Belakangan kok ada Nasirun yang (karyanya) ada wayang-wayangnya, jadi nyambung."

Sebagian koleksi Sunarjo kini dipamerkan di museum dan sebagian lagi di gudang. "Nanti, kalau sudah tidak cukup lagi, mungkin saya bikin satu gedung museum sendiri," katanya.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus