Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada mulanya adalah sehelai bulu. Bulu itu melayang di udara, ditiup ke kanan, ke kiri, ke bawah, dan ke atas. Ia menjadi mainan antara dua pria. Mereka berebut saling meniup. Ketika yang satu kalah, ia menyemburkan bulu, banyak bulu, kepada rekannya. Dan penonton pun tertawa-tawa, bertepuk-tepuk tangan.
Inilah pembukaan pertunjukan kelompok Cie Accrorap dengan karya petites histoires.com (bukan alamat situs web) di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Selasa pekan lalu. Si pria yang kalah, Kader Attou, adalah koreografer dan pendiri kelompok asal Prancis itu, yang berangkat dari disiplin tari hip hop.
Di tangan Attou, 35 tahun, hip hop kemudian menjadi hip-hop plus-plus dengan kombinasi begitu banyak hal: akrobatik, pantomim, dan dimainkan demikian padu dalam balutan musik yang juga beragam, bukan cuma musik hip hop atau rap, melainkan juga R&B, balada Prancis, hingga instrumentalia dan musik klasik!
Dan yang sangat menyegarkan mata, meski kelima penari yang tampil sesungguhnya tak muda lagi, berusia 30-an tahun, gerakan mereka masih lin-cah dan sangat komunikatif. Selain menari, mereka berpantomim. Mimik mereka menjalin dialog yang komunikatif, baik verbal maupun nonverbal, dalam setiap sekuen. Dengan bahasa tubuh, mereka pun bercakap-cakap di antara mereka sendiri, juga dengan penonton. Sayangnya, sebagian besar ucapan mereka yang dilakukan dalam bahasa Prancis menjadi hambatan bagi penonton yang tak menguasainya.
Dari sisi hip hop dan gerakan-gerakan dasar breakdance, kemahiran Attou cs tak diragukan. Mulai power moves sampai head-spin, ketika tubuh yang bertumpukan kepala diputar seperti gasing, kelimanya silih berganti memamerkan kebolehannya. Tapi petites histoires.com lebih dari sekadar tarian. Ia berbicara tentang kisah-kisah kecil dalam kehidupan. Menurut Attou, karyanya bercerita tentang orang-orang dewasa yang ingin menghidupkan lagi masa kecilnya. ”Ingat bahwa waktu kecil kita sering terperangah kagum sampai terbengong-bengong? Kita ingin itu kembali,” katanya seusai pertunjukan.
Ya, kita melihat lima lelaki muncul, bergairah bermain bersama, saling menonjolkan diri, merasa diri paling penting, tapi larut dalam cengkeraman kebersamaan itu sendiri. Meski kostum kelabu dan potongan rambut cepak mereka (kecuali satu orang) mengingat-kan penonton pada kamp konsentrasi, mereka terlihat riang. Mereka tak berhenti melompat, bersalto, atau mengayunkan tangan dan kaki dalam irama. Kompak tapi penuh improvisasi yang pelik. Attou mengoptimalkan sifat dasar manusia sebagai homo ludens, makhluk yang bermain. Kita lihat, ”mainan” mereka bukan cuma bulu, melainkan juga sepeda kaki tiga mini milik anak balita, ayam karet berkepala merah, kembang api, capung elektronik, dan robot kecil yang mondar-mandir dengan suara ”fire… fire…”.
Seusai pertunjukan, beberapa penggiat breakdance di Jakarta diajak ikut bergabung. Penonton yang penuh sesak tak urung ikut bergoyang menyemangati. Dalam alunan lagu hip hop yang diputar sekitar 20 menit, kaum breakdancer ini bersalaman, bercanda, dan saling menyemangati. Menurut Kris, 21 tahun, salah satu yang ikut tampil, penampilan Attou cs malam itu sangat terampil dan luar biasa mencerahkan. ”Digabungkan dengan art, belum pernah ada breaker Indonesia yang mencobanya begitu,” katanya.
Sambil meninggalkan teater, di telinga ini rasanya masih terngiang lagu lawas kelompok Naughty By Nature (1994) yang membuat tubuh ini ingin ikut bergoyang: hip hop hooray… ho… hey… ho….
Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo