Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seragam selalu mengingatkan kita pada gagah, necis, tertib, wibawa, disiplin, dan seterusnya. Tentara, polisi, satuan pengamanan, satuan polisi pamong praja, mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri, resimen mahasiswa, dan organisasi massa berseragam selaku penanda kelompoknya. Pegawai negeri sipil, hakim, jaksa, pegawai pemerintah daerah, pegawai pelbagai departemen, perawat pada rumah sakit, tahanan penjara, sopir taksi, sopir Transjakarta, dan siswa dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas juga berseragam. Mahasiswa umum entah mengapa tak berseragam, kecuali jaket almamater yang dipakai hanya sekali ketika mereka diterima sebagai mahasiswa baru.
Di masa Orde Baru, kita ingat segala hal yang berkaitan dengan penyeragaman mencapai puncak kegemilangannya. Bahkan tiga partai politik diseragamkan dengan satu landasan ideologi yang sama—kembali ke ideologi masing-masing di era reformasi—melahirkan tokoh-tokoh ”yes man” dan tokoh-tokoh ”asal bapak suka”. Perbedaan dicemaskan sebagai ancaman. Dan semua ekses penyeragaman itu akhirnya menjungkalkan kita ke dalam jurang kebangkrutan.
Di masa lalu sebenarnya sudah cukup banyak pelajaran berharga, misalnya kaum kiri di Rusia mencoba memakai realisme sosial selaku alat penyeragaman. Tapi gagal. Hasrat menyeragamkan pun muncul dari kaum kanan, dan sebagainya. Seragam, dan keinginan menyeragamkan, tak lain gejala dari modernitas, agar segala-galanya mudah dikontrol dan diorganisasi.
Isa Perkasa, 45 tahun, perupa asal Bandung, mencoba menggali sebagian hasrat keseragaman ini dalam pameran Ingatan yang Diseragamkan, berlangsung sejak 29 Mei lalu hingga 14 Juni, di Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Ia mengajak kita mengingat kembali apa-apa di masa lalu yang mulai kita lupakan di masa kini, penyeragaman dalam pelbagai hal. Perupa yang di masa Orde Baru kerap melancarkan karya bernada kritik sosial ini menampilkan 17 gambar dan satu instalasi. Ia melihat keseragaman—dan simbol pakaian seragam—melulu dari sisi negatif, tempat pelbagai perilaku buruk bersembunyi: korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan, kesewenang-wenangan, pelanggaran hak asasi manusia, dan lain-lain. Banyak hal yang tak berubah dari ekses keseragaman itu, dulu sampai sekarang.
Lulusan Seni Grafis Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung ini menabur pelbagai simbol dan metafora pada karya-karyanya, dari yang memakai kanvas, yang tak lain kain dasar untuk pakaian seragam militer dan sipil, hingga menggunakan metode menggambar sebagaimana layaknya film negatif. Ia seolah-olah mata kamera yang merekam segala yang dilihat, didengar, dan dialaminya dari orang-orang berseragam. Atau, goresan-goresan tajam yang dihadirkannya mengingatkan kita akan gambar-gambar litografi—salah satu teknik grafis paling tua—yang bercerita tentang sesuatu yang tak selesai di dalam masyarakat kita. Latar-latar lebar yang rata oleh warna tunggal kain seragam, dan umumnya gelap, mengarahkan titik api perhatian kita justru pada obyek-obyek gambar di atasnya.
Lihat, misalnya, karya berjudul Kepolisian #2, berukuran 170 x 140 sentimeter. Karya dengan media sederhana pastel lunak di atas kain seragam polisi ini tampak lebih menonjol obyeknya. Dua orang berseragam menyarankan polisi yang tengah terikat borgol satu sama lain; tangan sosok yang satu mengepal ke atas, dan sebelah tangan sosok yang lain menggenggam seutas tali pengikat seekor kambing. Kedua sosok itu digambarkan menuju sebuah bingkai, menyarankan pintu terkunci oleh gembok. Posisi mereka menghadap dinding gelap, yang tak lain kain bahan seragam polisi. Sebuah gambaran jalan yang absurd. Isa menjadikan kain seragam dan goresan-goresan pastelnya sekaligus sebagai media ungkap baru dalam karya-karyanya.
Dalam pameran ini, Isa juga tampak menghadirkan simbol-simbol secara berulang. Misalnya air dalam ember atau baskom, simbol daerah basah yang selalu menggoda para birokrat dan orang berseragam yang akhirnya tergelincir. Kita juga kerap melihat gambar peta Indonesia, lambang burung garuda, simbol dari sebuah identitas. Lalu yang bertali-temali dengan kekuasaan, seperti kursi, kucing, tikus, setrika, wayang, palu; yang berhubungan dengan korban, misalnya kambing; dan sesuatu yang berkaitan dengan keadilan yang diselewengkan, berupa timbangan dengan bentuknya yang janggal.
Memang sebagian besar gambar Isa dihadirkan dalam adegan kegilaan, aneh, dan serba absurd. Yang tampak wajar dan mudah kita pahami adalah judul-judulnya, yang mengingatkan kita pada institusi tertentu, seperti kepolisian, Perhutani, pemerintah daerah, kejaksaan, kehakiman, lembaga pemasyarakatan, dan sekolah dasar. Lihat karya berjudul Kehakiman, berukuran 140 x 200 sentimeter. Dua sosok dalam posisi jongkok menghadap sebaskom air. Tangan sosok yang satu mencekal timbangan simbol keadilan, tapi timbangan sebelahnya berupa seekor ikan gemuk, sebuah simbol keberuntungan yang didapat secara tak wajar. Dan kedua sosok itu seperti saling menuding.
Karya lain adalah instalasi, berupa sederet pakaian seragam sipil dan militer, digantung berjajaran bak jemuran. Di depannya sebuah setrika yang menyala di atas setumpuk gambar peta Indonesia. Karya berjudul Menyetrika Seragam ini merupakan simbol untuk merapikan atau mengembalikan seragam kepada kepatutannya. Ide obyek setrika manual diisi dengan arang bakar itu bangkit dari kenangan masa kecil Isa, ketika sering membaca komik tentang hukuman bagi para pendosa kelak di kemudian hari.
Semua karya dibuat pada 2009, merupakan yang terbaru dari perupa yang pernah mendapat penghargaan Philip Morris Asia Art Award, Hanoi, Vietnam, ini. Isa tampak konsisten dengan tema-tema komentar sosial yang telah diawalinya ketika di bangku kuliah. Namun, untuk menempatkan karya-karyanya selaku seni rupa masa kini—dengan muatan isu publik yang kompleks sebagaimana dikemukakannya—mungkin masih belum cukup hanya lewat simbol dan metafora. Sebab, sebagian besar asumsi publik tentang ekses seragam itu kurang-lebih sama seperti yang dibayangkan Isa. Persoalan kita hari-hari ini bukan hanya ekses penyeragaman, melainkan juga kekacauan dari sebuah keberagaman. Ini memerlukan riset sosial budaya lebih lanjut.
Sekiranya ia mencoba bergerak lebih jauh dengan data obyektif, misalnya mengumpulkan data korupsi dan penyelewengan, melalui kerja sama dengan pelbagai pihak, mungkin efek karya-karyanya akan lebih luas. Sebab, persoalan yang diajukannya cukup kompleks. Mentalitas korup, sebagaimana diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi baru-baru ini, misalnya, tak hanya milik mereka yang berseragam. Tiga puluh persen di antaranya datang dari masyarakat yang juga terbiasa dengan perilaku suap-menyuap. Memperkaya karya dengan data obyektif kini telah menjadi kecenderungan baru dalam seni rupa masa kini.
Asikin Hasan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo