Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Pesinden, di dalam & di luar pentas

Menjadi pesinden perlu pandai main mata dengan penonton. akibatnya banyak yang kawin cerai. tapi mereka, memang tak pernah kekurangan diut karena sering mentas di mana-mana. (sd)

22 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WANITA penyanyi lagu-lagu tradisional yang disebut "pesinden' biasanya hidup enak. Tidak kurang duit. Sering berkelana ke mana-mana. Tapi rumah tangganya banyak yang berantakan. Beberapa orang dikenal sebagai tukang kawin cerai. Bahkan ada yang menuduh profesi tersebut penuh dengan hal yang bukan-bukan. Apalagi banyak di antaranya yang janda. Bagaimana sih sebenarnya? "Dengan modal suara dan menahan kantuk semalaman, kita sudah bisa dapat duit banyak," ujar Dudeh Diwangsih (39 tahun), pesinden di Karawang. Ia sudah nyinden sejak duduk di bangku kelas III SD di Kampung Babakan Cengeng. Pada zaman awal kemerdekaan, ia sudah tersohor sebagai dalang wayang golek. Ibunya sendiri juga seorang pesinden beken. Dudeh hidup lumayan. Selama 30 tahun karirnya, ia ternama di Jawa Barat juga sebagai tukang kawin cerai. Bekas Gubernur Jawa Barat, Solihin menjulukinya "Si Botol Kecap". Dari 200-an pesinden di Jawa Barat, Dudeh terhitung "hot". Untuk menghangatkan pentas, ia tak ragu-ragu menembang sambil berdiri. Sebagaimana diketahui umumnya pesinden nembang sambil duduk tertib. Tidak hanya itu saja. Dudeh juga menyanyi membelakangi penonton sambil memutar pinggulnya. "Kebanyakan orang tergila-gila karena goyang pinggul saya di panggung," kata wanita itu terus terang. Banyak juga penonton yang terangsang oleh pinggul Dudeh. Tapi tak sedikit pula yang jadi sebal dan mengutuk. Dudeh dianggap merusak seni, "Lha yang saya perbuat itu keindahan, agar penonton puas," tangkis Dudeh. Biasanya ia menutup telinga rapat-rapat sambil terus main goyang. "Tak sedikit lelaki yang menafsirkan saya perempuan murahan yang bisa dibawa kencan," kata Dudeh mengadu. Kehidupan yang selalu diintai oleh lelaki tersebut memang membutuhkan seorang suami yang tabah. Barangkali itu sebabnya Dudeh ganti suami sampai 3 kali. "Dia tidak mengerti jiwa seni," kata Dudeh menjuluki suaminya yang kedua. Sedangkan yang ketiga, meskipun seorang dalang yang seringkali manggung bersama-sama, dianggapnya pencemburu. "Namanya saja pesinden, mesti bisa main mata buat memikat," kata Dudeh. Suaminya yang dalang itu rupanya lebih suka main tampar dan main injak. Langsung menggebuk kalau lagi cemburu. "Sehingga saya tak beda dengan bola," kata Dudeh mengadukan nasibnya. Sekarang Dudeh lebih suka menjanda. Katanya kalau punya suami ia sering sakit. "Tapi sekarang saya dituduh lesbian," katanya kesal. Soalnya ia hidup bersama Yoyoh Suprihatin, seorang pesinden usia 34 tahun yang juga janda. "Terserah kalau mau dibilang begitu. Pokoknya dia sudah seperti adik sendiri," ucap Dudeh. Sementara itu pekerjaannya tetap lancar. Sekali naik pentas bisa menyapu sekitar Rp 75 ribu. Bulan Rajab, Sya'ban dan Zulhijjah adalah bulan yang baik untuk melakukan hajat. Pada bulan-bulan itulah Dudeh kebanjiran duit. Baik diundang orang yang nikah maupun khitanan. Kadangkala ia sudah dibuking 3 bulan sebelumnya. Tarip pun bisa melambung. Ia bisa terpental sampai ke Majalengka, Kuningan dan Bogor. Uang itu disimpannya dengan hati-hati sebab ingat masa depan. Hasilnya adalah sebuah rumah gedong besar bernilai Rp 5 juta dan satu hektar tanah. Kalau membandingkan kehidupan pesinden sekarang dengan di masa tahun 50-an, Dudeh merasa ada perbaikan besar. Sebagai contoh, di tahun-tahun itu, waktu masih gadis, ia pernah dipanggil ke Cirebon. Waktu berangkat memang ada jemputan. Tapi pulangnya kemudian ternyata hanya jalan kaki. Bekalnya habis di perjalanan. Terpaksa di Kecamatan Jatisari ia ngamen. Akhirnya setelah 2 hari baru sampai di rumah. Yoyoh Suprihatin, teman Dudeh ikut membenarkan betapa enaknya kehidupdn pesinden sekarang. Zaman dulu mana ada pesinden yang rekaman. Yoyoh sudah menyelesaikan 15 buah kaset rekaman. Setiap kaset rata-rata memberikan honor Rp 100 ribu. Belum lagi panggilan rutin ke seluruh Jawa Barat. Kini ia sedang menyelesaikan pembangunan rumah buat orang tuanya di Cikampek. Padahal dulu orang tuanya melarang ia jadi pesinden. Sidem Permanawatu, 21 tahun, pesinden asal Sliyeg, Indramayu, juga ikut membuktikan betapa enaknya kehidupan pesinden kini. Ia hanya berpendidikan SMP, karena profesinya sempat keliling Eropa selama 3 bulan. Ia sudah melihat Jerman, Swiss, Belanda dan Prancis, pengalaman yang pasti tidak akan terlupakan seumur hidupnya. Yang membawanya pergi adalah rombongan Bagong Kussudiardjo. Di padepokan Bagong pulalah pesinden muda yang pernah main di TIM ini mendapat penggodokan selama 6 bulan. Ia termasuk anak didik angkatan pertama yang disayangi Bagong. Iman Sidem menikah tahun 1978. Suaminya seorang pegawai perusahaan swasta di Jakarta. Ketika ada tawaran berkeliling Eropa, suaminya memberikan izin. Akan tetapi begitu pulang dari pengembaraan, tiba-tiba ia harus menelan kenyataan pahit, sang suami menyambutnya dengan perceraian. "Ia cemburu, saya dituduh berbuat yang tidak-tidak," ujar Sidem dengan murung. Pesinden yang susah hidup juga ada. Pipin Supini misalnya. Wanita (38 tahun) ini, menjadi pesinden di Karawang sejak 1954. Ia juga tergolong pesinden yang punya nama di Karawang. Pernah jadi pemenang pertama lomba pesinden tingkat Jawa Barat tahun 1968 sampai 1971. Karena jasmaninya mulai kendor, kini Pipin jarang naik panggung. Anaknya sudah 6 orang. Untuk menyalurkan darah pesinden yang diwarisi dari ibunya, ia mengajar tarik suara di kalangan Pemerintah Daerah Karawang. Honornya lumayan. Tapi kalau kebetulan ia dapat panggilan untuk manggung, honornya empat atau lima ribu rupiah. Pipin mengaku sendiri, ia tidak komersial. Untunglah ada Syukur, suaminya, seorang dalang yang ikut memikul beban 6 anak. Bagi Pipin rumah tangga nomor satu. Pekerjaan nomor dua. Barangkali ini sebabnya ia tidak terlalu laris. Baginya yang penting jiwa seni tersalur sudah bagus. Uang soal kedua. "Untuk kelangsungan grup, kita nombok terus, tapi tak soal asal grup maju dan bisa bertahan hidup," kata Pipin. Ia tidak memiliki apa-apa sebagai hasil nyinden. Jangankan sawah, rumahnya pun buruk. "Kadang, malu jika ada tamu datang ke rumah," katanya polos. Terhadap dunia pesinden yang dituduh banyak orang sebagai dunia hitam yang berselubung, ia ikut prihatin dan kesan. "Tak semua pesinden bermoral rendah," sambung Cicih Cunaesih pesinden dari Pegaden, Subang. Pemenang Lomba Pesinden tingkat Jawa Barat tahun 1977 ini mengakui pesinden banyak digoda oleh lelaki. Ia juga. Tetapi pesinden yang dijuluki Si Geureuleung ini berhasil mempertahankan pagar moralnya. Cicih sudah bersuami. Ke mana ia pergi, suaminya ikut mengawal. Rumah tangganya tak pernah ribut. Kebetulan suaminya adalah Kepala Desa Pegaden. "Kalau iman kita kuat, godaan yang bagaimana pun tak bakal mempan," ujarnya dengan mantap. Nyi Rubinem Penyanyi gending-gending Jawa yang disebut waranggono juga mudah kaya karena profesinya. Nyi M. M. Rubinem (52 tahun) misalnya. Waranggono yang memulai karirnya di Yogya sejak usia 17 tahun ini, mencapai puncak karirnya 1965. Di masa itu ia bisa main sampai 40 kali sebulan, dengan imbalan Rp 3000 sampai Rp 4000 (nilai uang waktu itu). Sejak zaman Jepang Nyi Rubinem menjadi anggota kesenian RRI stasiun Nusantara II Yogya. Meskipun honornya hanya sampai Rp 25 ribu ia berhasil membeli 2 buah rumah mentereng serta sebidang sawah. Ia sempat juga mendapat tawaran ke luar negeri. Pada 1973 ia mengundurkan diri sebagai waranggono RRI untuk menikah keempat kalinya dengan dalang dan pimpinan ketoprak PS Bayu yang bernama Gito Gati. Pernikahan tersebut kemudian membunuh perlahan-lahan karirnya. "Sekarang segalanya jadi berantakan karena ikut Pak Gito. Kalau senang ya main kalau tidak senang ya tidak kalau dikasih honor berapa pun," kata walanggono itu dengan agak pasrah. Barangkali karena tidak serius lagi melayam panggilan main, satu per satu hartanya mulai dilego. Namun sisa-sisa kekayaannya masih kelihatan pada sebuah rumah di pinggir utara Yogya yang kini ditempatinya. Sebuah bangunan dengan arsitektur modern bernilai Rp 20 juta. Sebagai waranggono Nyi Rubinem menyenangi semua gending. Ia telah banyak membuat rekaman kaset. Tetapi rumah tangga kini menjadi sangat penting. Sekarang ia Iebih banyak membuntuti suami. Dapat dimengerti karena pernikahannya dibayar cukup mahal. Rubinem lebih dahulu bercerai dengan suaminya yang ketiga. sedangkan Gito menceraikan kedua Istrmya yang terdahulu. Kenang-kenangan Rubinem sebagai waranggono tampaknya lebih merupa kan cerita yang menyenangkan. "Tapisering juga menangis karena kelewat kesal, sebab terlalu lama duduk, kaki sakit, sampai-sampai tidak bisa berdiri. Selain itu tidur juga di andong. "Habis dulu kan belum ada kolt seperti sekarang," katanya kepada TEMPO. Sekarang ia jadi bakul candak kulak emas berlian. Nyi Tjondro Loekito "Sebagai waranggono, godaan selalu ada, kalau tak kuat iman nama memang bisa cemar," kata Nyi Tjondro Loekito ratu waranggono yang memiliki suara beningempuk dan menjadi kesayangan istana baik di zaman Bung Karno atau Pak Harto. Ada yang bilang, mendengarkan suaranya, orang sakit bisa sembuh. Wanita kelahiran Pogong -- 5 km dari Yogya -- ini, pernah merebut 22 buah medali emas karena suaranya. "Hati-hati lho, banyak godaan," kata ayah Nyi Tjondro ketika wanita ini memulai karirnya pada usia 13 tahun. Ia ditemukan oleh seorang anak buah Tumenggung KRT Djojodipuro yang sedang berburu burung. Waktu itu Nyi Tjondro masih bernama Turah. Ia sedang asyik nembang menidurkan adiknya. Utusan Tumenggung terkejut, melihat ada anak bisa ditidurkan dengan tembang. Akhirnya Turah dibawa menghadap yang Tumenggung. Turah terus dibawa ke Kepatihan Danuredjo. Namanya diganti menjadi Peni Laras pada 1933. Peni Laras akhirnya diboyong ke Kraton Sultan Hamengkubuwono ke VIII. Namanya diganti menjadi Pondosih. Pada 1937, ia disunting oleh Tjondro Loekito, hingga kini tetap menjadi istri setia Tjondro Loekito dengan menghasilkan 11 anak, 14 cucu. Pada 1940, suaminya pernah menghentikan karirnya. Ia hanya nyanyi untuk keluarga. Tapi 15 tahun kemudian, ketika mereka sekeluarga menjadi warga Jakarta, Nyi Tjondro dibolehkan lagi nembang di RRI untuk menambah penghasilan keluarga. Sampai sekarang. Nyi Tjondro yang dulu ayu dan langsing seperti Srikandi, sekarang sudah gembrot. Tapi namanya tetap besar dan bersih. Setiap kali nembang pasti ada pengawalnya. Kalau tidak saudara ya famili atau suami Satu ketika di zaman Bung Karno, seorang utusan datang minta Nyi Tjondro menyanyi 2 jam -- karena hanya ada waktu 2 jam. Gamelan tidak usah di panggung tapi di bawah saja, supaya praktis. Nyi Tjondro ternyata tidak bersedia. "Kalau repot hanya karena panggung, tak usah uyon-uyon saja," jawabnya kepada utusan itu. Ia termasuk orang yang benar-benar ingin menjunjung seni. Tanggapan Bung Karno Tjondro Loekito itu memang rewel, tapi ya, betul juga."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus