WANITA penyanyi lagu-lagu tradisional yang disebut "pesinden'
biasanya hidup enak. Tidak kurang duit. Sering berkelana ke
mana-mana. Tapi rumah tangganya banyak yang berantakan. Beberapa
orang dikenal sebagai tukang kawin cerai. Bahkan ada yang
menuduh profesi tersebut penuh dengan hal yang bukan-bukan.
Apalagi banyak di antaranya yang janda. Bagaimana sih
sebenarnya?
"Dengan modal suara dan menahan kantuk semalaman, kita sudah
bisa dapat duit banyak," ujar Dudeh Diwangsih (39 tahun),
pesinden di Karawang. Ia sudah nyinden sejak duduk di bangku
kelas III SD di Kampung Babakan Cengeng. Pada zaman awal
kemerdekaan, ia sudah tersohor sebagai dalang wayang golek.
Ibunya sendiri juga seorang pesinden beken.
Dudeh hidup lumayan. Selama 30 tahun karirnya, ia ternama di
Jawa Barat juga sebagai tukang kawin cerai. Bekas Gubernur Jawa
Barat, Solihin menjulukinya "Si Botol Kecap". Dari 200-an
pesinden di Jawa Barat, Dudeh terhitung "hot". Untuk
menghangatkan pentas, ia tak ragu-ragu menembang sambil berdiri.
Sebagaimana diketahui umumnya pesinden nembang sambil duduk
tertib. Tidak hanya itu saja. Dudeh juga menyanyi membelakangi
penonton sambil memutar pinggulnya. "Kebanyakan orang
tergila-gila karena goyang pinggul saya di panggung," kata
wanita itu terus terang.
Banyak juga penonton yang terangsang oleh pinggul Dudeh. Tapi
tak sedikit pula yang jadi sebal dan mengutuk. Dudeh dianggap
merusak seni, "Lha yang saya perbuat itu keindahan, agar
penonton puas," tangkis Dudeh. Biasanya ia menutup telinga
rapat-rapat sambil terus main goyang. "Tak sedikit lelaki yang
menafsirkan saya perempuan murahan yang bisa dibawa kencan,"
kata Dudeh mengadu.
Kehidupan yang selalu diintai oleh lelaki tersebut memang
membutuhkan seorang suami yang tabah. Barangkali itu sebabnya
Dudeh ganti suami sampai 3 kali. "Dia tidak mengerti jiwa seni,"
kata Dudeh menjuluki suaminya yang kedua. Sedangkan yang ketiga,
meskipun seorang dalang yang seringkali manggung bersama-sama,
dianggapnya pencemburu. "Namanya saja pesinden, mesti bisa main
mata buat memikat," kata Dudeh. Suaminya yang dalang itu rupanya
lebih suka main tampar dan main injak. Langsung menggebuk kalau
lagi cemburu. "Sehingga saya tak beda dengan bola," kata Dudeh
mengadukan nasibnya.
Sekarang Dudeh lebih suka menjanda. Katanya kalau punya suami ia
sering sakit. "Tapi sekarang saya dituduh lesbian," katanya
kesal. Soalnya ia hidup bersama Yoyoh Suprihatin, seorang
pesinden usia 34 tahun yang juga janda. "Terserah kalau mau
dibilang begitu. Pokoknya dia sudah seperti adik sendiri," ucap
Dudeh. Sementara itu pekerjaannya tetap lancar. Sekali naik
pentas bisa menyapu sekitar Rp 75 ribu.
Bulan Rajab, Sya'ban dan Zulhijjah adalah bulan yang baik untuk
melakukan hajat. Pada bulan-bulan itulah Dudeh kebanjiran duit.
Baik diundang orang yang nikah maupun khitanan. Kadangkala ia
sudah dibuking 3 bulan sebelumnya. Tarip pun bisa melambung. Ia
bisa terpental sampai ke Majalengka, Kuningan dan Bogor. Uang
itu disimpannya dengan hati-hati sebab ingat masa depan.
Hasilnya adalah sebuah rumah gedong besar bernilai Rp 5 juta dan
satu hektar tanah.
Kalau membandingkan kehidupan pesinden sekarang dengan di masa
tahun 50-an, Dudeh merasa ada perbaikan besar. Sebagai contoh,
di tahun-tahun itu, waktu masih gadis, ia pernah dipanggil ke
Cirebon. Waktu berangkat memang ada jemputan. Tapi pulangnya
kemudian ternyata hanya jalan kaki. Bekalnya habis di
perjalanan. Terpaksa di Kecamatan Jatisari ia ngamen. Akhirnya
setelah 2 hari baru sampai di rumah.
Yoyoh Suprihatin, teman Dudeh ikut membenarkan betapa enaknya
kehidupdn pesinden sekarang. Zaman dulu mana ada pesinden yang
rekaman. Yoyoh sudah menyelesaikan 15 buah kaset rekaman. Setiap
kaset rata-rata memberikan honor Rp 100 ribu. Belum lagi
panggilan rutin ke seluruh Jawa Barat. Kini ia sedang
menyelesaikan pembangunan rumah buat orang tuanya di Cikampek.
Padahal dulu orang tuanya melarang ia jadi pesinden.
Sidem Permanawatu, 21 tahun, pesinden asal Sliyeg, Indramayu,
juga ikut membuktikan betapa enaknya kehidupan pesinden kini. Ia
hanya berpendidikan SMP, karena profesinya sempat keliling Eropa
selama 3 bulan. Ia sudah melihat Jerman, Swiss, Belanda dan
Prancis, pengalaman yang pasti tidak akan terlupakan seumur
hidupnya. Yang membawanya pergi adalah rombongan Bagong
Kussudiardjo. Di padepokan Bagong pulalah pesinden muda yang
pernah main di TIM ini mendapat penggodokan selama 6 bulan. Ia
termasuk anak didik angkatan pertama yang disayangi Bagong.
Iman
Sidem menikah tahun 1978. Suaminya seorang pegawai perusahaan
swasta di Jakarta. Ketika ada tawaran berkeliling Eropa,
suaminya memberikan izin. Akan tetapi begitu pulang dari
pengembaraan, tiba-tiba ia harus menelan kenyataan pahit, sang
suami menyambutnya dengan perceraian. "Ia cemburu, saya dituduh
berbuat yang tidak-tidak," ujar Sidem dengan murung.
Pesinden yang susah hidup juga ada. Pipin Supini misalnya.
Wanita (38 tahun) ini, menjadi pesinden di Karawang sejak 1954.
Ia juga tergolong pesinden yang punya nama di Karawang. Pernah
jadi pemenang pertama lomba pesinden tingkat Jawa Barat tahun
1968 sampai 1971.
Karena jasmaninya mulai kendor, kini Pipin jarang naik panggung.
Anaknya sudah 6 orang. Untuk menyalurkan darah pesinden yang
diwarisi dari ibunya, ia mengajar tarik suara di kalangan
Pemerintah Daerah Karawang. Honornya lumayan. Tapi kalau
kebetulan ia dapat panggilan untuk manggung, honornya empat atau
lima ribu rupiah.
Pipin mengaku sendiri, ia tidak komersial. Untunglah ada Syukur,
suaminya, seorang dalang yang ikut memikul beban 6 anak. Bagi
Pipin rumah tangga nomor satu. Pekerjaan nomor dua. Barangkali
ini sebabnya ia tidak terlalu laris. Baginya yang penting jiwa
seni tersalur sudah bagus. Uang soal kedua. "Untuk kelangsungan
grup, kita nombok terus, tapi tak soal asal grup maju dan bisa
bertahan hidup," kata Pipin.
Ia tidak memiliki apa-apa sebagai hasil nyinden. Jangankan
sawah, rumahnya pun buruk. "Kadang, malu jika ada tamu datang ke
rumah," katanya polos. Terhadap dunia pesinden yang dituduh
banyak orang sebagai dunia hitam yang berselubung, ia ikut
prihatin dan kesan.
"Tak semua pesinden bermoral rendah," sambung Cicih Cunaesih
pesinden dari Pegaden, Subang. Pemenang Lomba Pesinden tingkat
Jawa Barat tahun 1977 ini mengakui pesinden banyak digoda oleh
lelaki. Ia juga. Tetapi pesinden yang dijuluki Si Geureuleung
ini berhasil mempertahankan pagar moralnya.
Cicih sudah bersuami. Ke mana ia pergi, suaminya ikut mengawal.
Rumah tangganya tak pernah ribut. Kebetulan suaminya adalah
Kepala Desa Pegaden. "Kalau iman kita kuat, godaan yang
bagaimana pun tak bakal mempan," ujarnya dengan mantap.
Nyi Rubinem
Penyanyi gending-gending Jawa yang disebut waranggono juga
mudah kaya karena profesinya. Nyi M. M. Rubinem (52 tahun)
misalnya. Waranggono yang memulai karirnya di Yogya sejak usia
17 tahun ini, mencapai puncak karirnya 1965. Di masa itu ia bisa
main sampai 40 kali sebulan, dengan imbalan Rp 3000 sampai Rp
4000 (nilai uang waktu itu).
Sejak zaman Jepang Nyi Rubinem menjadi anggota kesenian RRI
stasiun Nusantara II Yogya. Meskipun honornya hanya sampai Rp 25
ribu ia berhasil membeli 2 buah rumah mentereng serta sebidang
sawah. Ia sempat juga mendapat tawaran ke luar negeri. Pada 1973
ia mengundurkan diri sebagai waranggono RRI untuk menikah
keempat kalinya dengan dalang dan pimpinan ketoprak PS Bayu yang
bernama Gito Gati. Pernikahan tersebut kemudian membunuh
perlahan-lahan karirnya.
"Sekarang segalanya jadi berantakan karena ikut Pak Gito. Kalau
senang ya main kalau tidak senang ya tidak kalau dikasih honor
berapa pun," kata walanggono itu dengan agak pasrah. Barangkali
karena tidak serius lagi melayam panggilan main, satu per satu
hartanya mulai dilego. Namun sisa-sisa kekayaannya masih
kelihatan pada sebuah rumah di pinggir utara Yogya yang kini
ditempatinya. Sebuah bangunan dengan arsitektur modern bernilai
Rp 20 juta.
Sebagai waranggono Nyi Rubinem menyenangi semua gending. Ia
telah banyak membuat rekaman kaset. Tetapi rumah tangga kini
menjadi sangat penting. Sekarang ia Iebih banyak membuntuti
suami. Dapat dimengerti karena pernikahannya dibayar cukup
mahal. Rubinem lebih dahulu bercerai dengan suaminya yang
ketiga. sedangkan Gito menceraikan kedua Istrmya yang terdahulu.
Kenang-kenangan Rubinem sebagai waranggono tampaknya lebih
merupa
kan cerita yang menyenangkan. "Tapisering juga menangis karena
kelewat kesal, sebab terlalu lama duduk, kaki sakit,
sampai-sampai tidak bisa berdiri. Selain itu tidur juga di
andong. "Habis dulu kan belum ada kolt seperti sekarang,"
katanya kepada TEMPO. Sekarang ia jadi bakul candak kulak emas
berlian.
Nyi Tjondro Loekito
"Sebagai waranggono, godaan selalu ada, kalau tak kuat iman nama
memang bisa cemar," kata Nyi Tjondro Loekito ratu waranggono
yang memiliki suara beningempuk dan menjadi kesayangan istana
baik di zaman Bung Karno atau Pak Harto. Ada yang bilang,
mendengarkan suaranya, orang sakit bisa sembuh. Wanita kelahiran
Pogong -- 5 km dari Yogya -- ini, pernah merebut 22 buah medali
emas karena suaranya.
"Hati-hati lho, banyak godaan," kata ayah Nyi Tjondro ketika
wanita ini memulai karirnya pada usia 13 tahun. Ia ditemukan
oleh seorang anak buah Tumenggung KRT Djojodipuro yang sedang
berburu burung. Waktu itu Nyi Tjondro masih bernama Turah. Ia
sedang asyik nembang menidurkan adiknya. Utusan Tumenggung
terkejut, melihat ada anak bisa ditidurkan dengan tembang.
Akhirnya Turah dibawa menghadap yang Tumenggung. Turah terus
dibawa ke Kepatihan Danuredjo. Namanya diganti menjadi Peni
Laras pada 1933.
Peni Laras akhirnya diboyong ke Kraton Sultan Hamengkubuwono ke
VIII. Namanya diganti menjadi Pondosih. Pada 1937, ia disunting
oleh Tjondro Loekito, hingga kini tetap menjadi istri setia
Tjondro Loekito dengan menghasilkan 11 anak, 14 cucu. Pada 1940,
suaminya pernah menghentikan karirnya. Ia hanya nyanyi untuk
keluarga. Tapi 15 tahun kemudian, ketika mereka sekeluarga
menjadi warga Jakarta, Nyi Tjondro dibolehkan lagi nembang di
RRI untuk menambah penghasilan keluarga. Sampai sekarang.
Nyi Tjondro yang dulu ayu dan langsing seperti Srikandi,
sekarang sudah gembrot. Tapi namanya tetap besar dan bersih.
Setiap kali nembang pasti ada pengawalnya. Kalau tidak saudara
ya famili atau suami
Satu ketika di zaman Bung Karno, seorang utusan datang minta Nyi
Tjondro menyanyi 2 jam -- karena hanya ada waktu 2 jam. Gamelan
tidak usah di panggung tapi di bawah saja, supaya praktis. Nyi
Tjondro ternyata tidak bersedia. "Kalau repot hanya karena
panggung, tak usah uyon-uyon saja," jawabnya kepada utusan itu.
Ia termasuk orang yang benar-benar ingin menjunjung seni.
Tanggapan Bung Karno Tjondro Loekito itu memang rewel, tapi ya,
betul juga."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini