MUSIM dingin belum lagi menggigit Eropa ketika Menteri Pertambangan dan Energi Subroto bertolak ke Wina, Selasa sore pekan ini. Memimpin delegasi kecil, antara lain Dirut Pertamina A.R. Ramly dan penasihat menteri, Wijarso, Prof. Subroto tak langsung menuju markas besar OPEC di Austria. Tapi akan singgah beberapa hari di Lagos, ibu kota Nigeria, untuk berbincang-bincang dengan Ketua OPEC Rilwanu Lukman. Boleh jadi yang akan dibicarakan di Lagos lebih menyangkut soal produksi, ketimbang masalah harga yang belakangan ini menurun, akibat kelebihan minyak (glut) di pasaran. Bagaimana harga rata-rata per barel yang 18 dolar bisa dipertahankan, kalau banyak anggota, terutama Irak, gemar menggenjot produksi di atas kuota yang sudah disepakati. Irak, yang masih terus saja baku hantam melawan Iran, memang tidak bersedia menandatangani konsensus OPEC. Mereka menolak diberi jatah 1.540.000 barel sehari, dan minimal minta disamakan dengan Iran, musuh bebuyutannya, yang kebagian kuota 2.369.000 barel sehari. Untuk membiayai mesin perangnya, Presiden Saddam Hussein bahkan membiarkan negerinya menggenjot produksi hingga di atas jatah resmi Iran, konon pernah sampai 2,7 juta barel. Lain lagi ulah Iran. Sekalipun bisa menerima konsensus OPEC, Iran, yang kabarnya berani memberikan potongan harga 2 sampai 3 dolar di pasaran minyak tunai (spot), bersikeras menuntut kenaikan harga. Didukung Libya dan Aljazair. Alasan Iran dkk. masuk akal juga: petrodolar yang mereka terima semakin turun gengsinya. Sudah sejak 5 November, bermula di Paris, trio menteri OPEC, Subroto, Rilwanu Lukman, dan Arturo Hernandes Grisanti dari Venezuela, membujuk semua anggota agar mematuhi kuota produksi, supaya tercipta harga yang stabil. Raja Fahd dari Arab Saudi kabarnya mendukung. Juga Presiden Soeharto, sewaktu menerima kunjungan panitia kuota di Bina Graha, Jakarta, pertengahan November, disertai Penjabat Sekjen OPEC Fadhil al-Chalabi, orang Irak. Presiden kabarnya berpesan kepada Subroto agar sidang reguler OPEC di Wina bisa berhasil menciptakan suatu kesepakatan yang baru. Mungkinkah? "Ya, mereka mau tidak mau harus ke luar dengan suatu konsensus," kata seorang konsultan minyak di Jakarta. Tapi sumber TEMPO tersebut tidak menutup kemungkinan, sidang yang akan dibuka 9 Desember di Hotel Inter-Continental, Wina, akan keluar dengan keputusan yang mengambang. Alias, "Setuju untuk tidak setuju (agree to disagree,)" katanya. Keputusan mentah seperti itu pernah dialami OPEC, antara lain pada sidang akhir tahun di Wina, lima tahun silam. Masalahnya menjadi rumit karena masalah politis kian mewarnai tubuh OPEC yang kini berusia 28 tahun. Perang tanker di Teluk Persia, yang mau tidak mau melibat negara seperti Kuwait dan Uni Emirat Arab, merasa terancam ulah Iran. Dan, ini yang penting, peristiwa berdarah di kota suci Mekah menambah renggang hubungan Arab Saudi dengan Iran. Menteri Perminyakan Arab Saudi Hisham Nazer tentu harus menekan perasaan menghadapi rekannya dari Iran. Sampai sekarang, peran Arab Saudi, produsen minyak terbesar, masih diharapkan banyak orang. Tapi seberapa jauh Arab Saudi bisa dipercaya? "Arab Saudi masih berproduksi dalam batas-batas kuotanya yang 4,3 juta barel, dan berpegang pada harga 18 dolar," kata seorang pejabat minyak di Jakarta kepada TEMPO. Kalau sidang OPEC nantinya menunjukkan gelagat buntu, pejabat minyak itu percaya, sidang akan menoleh ke arah Hisham Nazer. Kalau benar begitu, Arab Saudi tentunya perlu terlebih dulu "mengamankan" sikap Kuwait dan Uni Emirat Arab. Kedua emirat yang kaya memang tak mendukung kenaikan harga. Tapi kabarnya mereka termasuk tak mematuhi kuota. "Sikap Kuwait belakangan rada aneh, mereka ribut kalau disinggung produksinya," kata sebuah sumber yang mengetahui. Definisi produksi minyak banyak tafsirnya. Seperti tulis James Tanner, dalam The Asian Wall Street Journal pekan lalu, beberapa negara baru menghitungnya sebagai produksi, setelah minyaknya dijual. "Maka, Kuwait bisa mengatakan produksinya masih dalam batas-batas kuota, sekalipun aliran minyaknya yang diangkut kapal-kapal tanker melalui Teluk Persia mengatakan lain," tulis Tanner. "Uni Emirat Arab tak lagi memperhitungkan produksi minyaknya jenis Upper Zakum sebanyak 150.000 barel sehari karena, menurut laporan mereka, lapangan itu masih dalam pengetesan. Tapi 'pengetesan' itu telah berjalan bertahun-tahun." Wartawan senior yang sejak dulu menulis masalah perminyakan berpendapat, tak mudah mengetahui secara persis produksi, kecuali oleh para anggota. Karena berbagai alasan, setiap anggota merahasiakan tingkat produksi sebenarnya, sehingga, paling tidak, hanya diketahui sedikit orang, termasuk kepala negara. Bagi Irak dan Iran, produksi minyak jelas rahasia militer. Sikap kerahasiaan serupa belakangan juga dianut negara Teluk lainnya. Empat perusahaan minyak AS yang mengoperasikan Aramco, Pertaminanya Arab Saudi, misalnya, konon dilarang membicarakan produksi minyak kerajaan itu. Arab Saudi, misalnya, tak memasukkan 200.000 barel minyaknya sehari dari lapangan yang dikenal sebagai Zone Netral, karena digunakan untuk membantu korban perang Irak. Tapi jumlah itu konon tetap saja tak diperhitungkan setelah hasilnya digunakan untuk membiayai ekonomi Saudi sendiri. Alhasil, seperti dikatakan Rilwanu Lukman, panitia kuota dalam penelitiannya berangkat dari pertimbangan produksi fisik anggota per anggota. "Tapi hal itu mengandung implikasi politik dan keamanan," katanya. Hasil pemantauan trio Rilwanu memperkirakan seluruh produksi OPEC saat ini berkisar antara 18 dan 18,3 juta barel sehari. Berarti, setiap hari pasaran minyak dibanjiri kelebihan 1,5 juta barel minyak OPEC. Glut itulah yang membuat kebanyakan anggota berpikir dua kali memperjuangkan kenaikan harga. Termasuk, di luar dugaan, Aljazair. Wakil Menteri Energi, Sadeq Businna, mengatakan awal pekan ini, negerinya menginginkan harga yang adil untuk mengimbangi jatuhnya dolar. Tapi "apa yang adil dan mungkin ada bedanya," katanya. Fikri Jufri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini