Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Ia telah berkata "jangan"

Penterjemah:gd. bagoes oka denpasar: yayasan bali ganti sena, 1975 resensi oleh: goenawan mohamad. (bk)

21 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GANDHI, SEBUAH OTOBIOGRAFI terjemahan: Gd. Bagoes Oka, 502 halaman, Yayasan Bali Canti Sena, Den Pasar, 1975. *** SEORANG anak tak datang ke mata Pelajaran olahraga, dan gurunya menegur. "Saya merawat ayah saya", jawab si anak. "Saya tak punya jam dan mendung menyebabkan saya salah memperkirakan waktu. Ketika saya datang, anak-anak lain sudah tak ada". Gurunya yang streng berkata: "Kau bohong". Dan anak itu menangis. Di tahun 1883 itu Mohandas Gandhi, meski baru 14 tahun, telah belajar bagaimana sakitnya dianggap berdusta. Sampai ia mati ditembak seorang fanatik Hindu -- karena ia, yang tetap beragama Hindu itu, membela nasib para pengungsi Islam dari Pakistan Barat -- Gandhi tak beranjak dari niatnya untuk selalu merapat pada kebenaran. Ketika ia roboh kena peluru, suaranya berkata: "He Rama" (Ya, Tuhan). Mungkin begitulah ia mencapai apa yang dihasratkannya selama itu, yakni "melihat Tuhan bermuka-muka". Bagi orang yang berhasrat demikian, kebohongan lebih berat ketimbang mati, sebab Tuhan senantiasa terasa dekat sebagai saksi utama. Apalagi mati, baginya, adalah sisi lain dari hidup. Gandhi tidak gentar ketika beberapa hari sebelum ia tertembak, sebuah bom diledakkan di dekat tempat ia berdoa, bersama orang banyak. Kepada polisi mau menjaganya, mencium adanya komplotan untuk membunuhnya, Gandhi berkata: "Jika saya harus mati, saya akan mati di pertemuan berdoa itu". Gandhi bukan jagoan. Ia tak datang ke tempat itu dengan lenggang Gary Cooper menuju tempat duel dalam film High Noon, untuk menghadapi salah satu dari kemungkinan itu -- yakni mati. Gambaran tentang Gandhi yang tepat mungkin ialah sebagai seorang yang tidak cuma memberi tauladan, melainkan menjadi tauladan, dalam perbuatan-perbuatan yang nampaknya mustahil tapi ternyata bisa dilakukan. Justru dengan sikapnya yang santai, tak kurang humor,tanpa pretensi, tanpa kata-kata besar, rada pemalu. Generasi-generasi mendatang", tulis Einstein tentang Gandhi di tahun 1944, mungkin hampir-hampir tak akan percaya bahwa orang semacam ini pernah hadir, dengan darah dan daging, berjalan di atas tanah". Perkiraan Einstein belum terbukti betul. Akhir l975, tepat dengan hari Natal, di Bali terbit buku otobiograli Gandhi, hasil jerih-payah seorang penganutnya, nyonya Gd. Bagoes Oka. Bahwa Ny. Oka adalah seorang Hindu barangkali bukanlah penyebab utama maka ia menterjemahkan karya Mahatma dari India ttu. Terjemahannya ini khusus diberi prakata oleh seorang Islam. Prof. Dr. Syed Abid Husain dari Jamia Millia Delhi University, yang nampaknya sadar betul bahwa pembaca buku ini sebagian besar bakal ummat Islam. Terjemahan yang dilakukan dosen bahasa Inggeris dari Universitas Udayana ini memang membawa missi tersendiri: melintasi pelbagai golongan, hendak mengajak, berkenalan dengan hidup dan pemikiran Gandhi. Dan meskipun teknik cetak buku tebal ini (semua praktis dikerjakan dengan ongkos sendiri) banyak cacatnya, tapi Ny. Oka mempertahankan apa yang esensiil dalam bahasa Gandhi: sederhana, jelas ringan, ikhlas. Soalnya: apakah suara Gandhi akan masih bergema bagi orang Indonesia kini? Pekan yang lalu, di harian Kompas terdapat tulisan Y.B. Mangunwijaya seorang rohaniawan Katolik dari Yogya, penyumbang tetap harian itu tentang bagaimana Gandhi mendidik anak-anaknya. Satu cuplikan dari otobiografinya. Dari situ agaknya jelas. betapa Gandhi menjadi sangat penting bagi sebuah masyarakat seperti Indonesia kini: masyarakat yang memuja pendidikan sekolah, gelar, ijazah -- tanpa ingat kembali bahwa makna "pendidikan" bukan cuma itu. Bahkan terkadang berlawanan dengan itu. Sekolah, yang kian hari kian mahal, telah bertolak dari ketidak-adilan sosisl. Sekolah juga akhirnya melanjutkan ketidak-adilan itu, dengan memberi kesempatan kepada yang mampu bersekolah lebih dari yang tak mampu. Padahal sekolah tak selalu menyebabkan orang punya moral dan karakter yang lebih kuat. Bahkan menjadikan orang cerdas saja kadang tidak. Gandhi mungkin salah satu orang pertama yang melakukan deschooling orang-orang di sekitarnya. Maka buku Gandhi tentang pendidikan kiranya perlu diterjemahkan juga. Dalam hal ini ia memang mendahului Ivan Illich pemikir yang banyak menggagas perombakan sikap masyarakat terhadap institusi pendidikan itu. Apa yang khas pada Gandhi ialah, ia melakukan itu terhadap anak-anaknya sendiri, dengan hati berat dan pedih, tapi sikap yang mantap. Seluruh hidupnya (itulah sebabnya otobiografi ini menjadi perlu) memang merupakan eksperimen dengan kebenaran. Seluruh dirinya sendiri adalah "kelinci percobaan". Tapi barangkali sumbangan Gandhi yang terbesar bagi zaman kita kini bisa ditentukan pada inti pandangan hidup nya. Ia menahan diri dari arus keinginan memiliki benda-benda. Ia memahami kebutuhan sebenarnya dari rakyat banyak yang melarat. Ia ingin menyelamatkan peradaban dari keserakahan, kemelaratan, kemewahan, kekerasan, ketidakadilan. Dari alat bersahaja yang dipakai Gandhi -- alat pintal, bukan televisi berwarna terpancar pesan untuk kita, bahwa yang perlu bukanlah teknologi yang hebat-hebat. Yang perlu adalah manusia yang solider. Teknologi hebat sering dianggap penting untuk didatangkan ke negeri ini, dengan harapan orang akan punya kecakapan menggunakannya. Tapi kecakapan adalah satu hal, sementara watak adalah hal lain. Haruskah kita melayani watak yang tergantung terus kepada benda-benda milik si kaya? Watak yang tanpa solidaritas dengan si miskin? Kini kita makin tahu peradaban manusia bisa akhirnya terdampar di sebuah gurun, akibat sifat tamak yang mengingkari adanya batas kekayaan alam untuk melayani keinginan manusia. Gandhi telah berkata "jangan". Siapa tahu buku ini bisa membikin kita malu. Goenawan Mohammad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus