GANDHI, SEBUAH OTOBIOGRAFI
terjemahan: Gd. Bagoes Oka, 502
halaman, Yayasan Bali Canti Sena, Den Pasar, 1975.
***
SEORANG anak tak datang ke mata Pelajaran olahraga, dan gurunya
menegur. "Saya merawat ayah saya", jawab si anak. "Saya tak
punya jam dan mendung menyebabkan saya salah memperkirakan
waktu. Ketika saya datang, anak-anak lain sudah tak ada".
Gurunya yang streng berkata: "Kau bohong". Dan anak itu
menangis.
Di tahun 1883 itu Mohandas Gandhi, meski baru 14 tahun, telah
belajar bagaimana sakitnya dianggap berdusta. Sampai ia mati
ditembak seorang fanatik Hindu -- karena ia, yang tetap
beragama Hindu itu, membela nasib para pengungsi Islam dari
Pakistan Barat -- Gandhi tak beranjak dari niatnya untuk selalu
merapat pada kebenaran. Ketika ia roboh kena peluru, suaranya
berkata: "He Rama" (Ya, Tuhan). Mungkin begitulah ia mencapai
apa yang dihasratkannya selama itu, yakni "melihat Tuhan
bermuka-muka". Bagi orang yang berhasrat demikian, kebohongan
lebih berat ketimbang mati, sebab Tuhan senantiasa terasa dekat
sebagai saksi utama. Apalagi mati, baginya, adalah sisi lain
dari hidup. Gandhi tidak gentar ketika beberapa hari sebelum ia
tertembak, sebuah bom diledakkan di dekat tempat ia berdoa,
bersama orang banyak. Kepada polisi mau menjaganya, mencium
adanya komplotan untuk membunuhnya, Gandhi berkata: "Jika saya
harus mati, saya akan mati di pertemuan berdoa itu".
Gandhi bukan jagoan. Ia tak datang ke tempat itu dengan
lenggang Gary Cooper menuju tempat duel dalam film High Noon,
untuk menghadapi salah satu dari kemungkinan itu -- yakni mati.
Gambaran tentang Gandhi yang tepat mungkin ialah sebagai seorang
yang tidak cuma memberi tauladan, melainkan menjadi tauladan,
dalam perbuatan-perbuatan yang nampaknya mustahil tapi ternyata
bisa dilakukan. Justru dengan sikapnya yang santai, tak kurang
humor,tanpa pretensi, tanpa kata-kata besar, rada pemalu.
Generasi-generasi mendatang", tulis Einstein tentang Gandhi di
tahun 1944, mungkin hampir-hampir tak akan percaya bahwa orang
semacam ini pernah hadir, dengan darah dan daging, berjalan di
atas tanah".
Perkiraan Einstein belum terbukti betul. Akhir l975, tepat
dengan hari Natal, di Bali terbit buku otobiograli Gandhi, hasil
jerih-payah seorang penganutnya, nyonya Gd. Bagoes Oka. Bahwa
Ny. Oka adalah seorang Hindu barangkali bukanlah penyebab utama
maka ia menterjemahkan karya Mahatma dari India ttu.
Terjemahannya ini khusus diberi prakata oleh seorang Islam.
Prof. Dr. Syed Abid Husain dari Jamia Millia Delhi University,
yang nampaknya sadar betul bahwa pembaca buku ini sebagian besar
bakal ummat Islam. Terjemahan yang dilakukan dosen bahasa
Inggeris dari Universitas Udayana ini memang membawa missi
tersendiri: melintasi pelbagai golongan, hendak mengajak,
berkenalan dengan hidup dan pemikiran Gandhi. Dan meskipun
teknik cetak buku tebal ini (semua praktis dikerjakan dengan
ongkos sendiri) banyak cacatnya, tapi Ny. Oka mempertahankan apa
yang esensiil dalam bahasa Gandhi: sederhana, jelas ringan,
ikhlas. Soalnya: apakah suara Gandhi akan masih bergema bagi
orang Indonesia kini?
Pekan yang lalu, di harian Kompas terdapat tulisan Y.B.
Mangunwijaya seorang rohaniawan Katolik dari Yogya, penyumbang
tetap harian itu tentang bagaimana Gandhi mendidik anak-anaknya.
Satu cuplikan dari otobiografinya. Dari situ agaknya jelas.
betapa Gandhi menjadi sangat penting bagi sebuah masyarakat
seperti Indonesia kini: masyarakat yang memuja pendidikan
sekolah, gelar, ijazah -- tanpa ingat kembali bahwa makna
"pendidikan" bukan cuma itu. Bahkan terkadang berlawanan dengan
itu. Sekolah, yang kian hari kian mahal, telah bertolak dari
ketidak-adilan sosisl. Sekolah juga akhirnya melanjutkan
ketidak-adilan itu, dengan memberi kesempatan kepada yang mampu
bersekolah lebih dari yang tak mampu. Padahal sekolah tak selalu
menyebabkan orang punya moral dan karakter yang lebih kuat.
Bahkan menjadikan orang cerdas saja kadang tidak. Gandhi mungkin
salah satu orang pertama yang melakukan deschooling orang-orang
di sekitarnya. Maka buku Gandhi tentang pendidikan kiranya perlu
diterjemahkan juga. Dalam hal ini ia memang mendahului Ivan
Illich pemikir yang banyak menggagas perombakan sikap masyarakat
terhadap institusi pendidikan itu. Apa yang khas pada Gandhi
ialah, ia melakukan itu terhadap anak-anaknya sendiri, dengan
hati berat dan pedih, tapi sikap yang mantap. Seluruh hidupnya
(itulah sebabnya otobiografi ini menjadi perlu) memang
merupakan eksperimen dengan kebenaran. Seluruh dirinya
sendiri adalah "kelinci percobaan".
Tapi barangkali sumbangan Gandhi yang terbesar bagi zaman kita
kini bisa ditentukan pada inti pandangan hidup nya. Ia
menahan diri dari arus keinginan memiliki benda-benda. Ia
memahami kebutuhan sebenarnya dari rakyat banyak yang melarat.
Ia ingin menyelamatkan peradaban dari keserakahan,
kemelaratan, kemewahan, kekerasan, ketidakadilan. Dari alat
bersahaja yang dipakai Gandhi -- alat pintal, bukan televisi
berwarna terpancar pesan untuk kita, bahwa yang perlu bukanlah
teknologi yang hebat-hebat. Yang perlu adalah manusia yang
solider. Teknologi hebat sering dianggap penting untuk
didatangkan ke negeri ini, dengan harapan orang akan punya
kecakapan menggunakannya. Tapi kecakapan adalah satu hal,
sementara watak adalah hal lain. Haruskah kita melayani watak
yang tergantung terus kepada benda-benda milik si kaya? Watak
yang tanpa solidaritas dengan si miskin? Kini kita makin tahu
peradaban manusia bisa akhirnya terdampar di sebuah gurun,
akibat sifat tamak yang mengingkari adanya batas kekayaan alam
untuk melayani keinginan manusia. Gandhi telah berkata
"jangan". Siapa tahu buku ini bisa membikin kita malu.
Goenawan Mohammad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini