Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ida yang meninggalkan sumber

Ida pedanda, seniman dan pemikir falsafah seni bali yang menguasai beragam seni meninggal dunia dalam usia 126 th. semua buah pikirannya dituliskan pada lembar-lembar lontar.(sr)

29 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI sebuah rumah yang sangat sederhana tapi selalu berbau wangi dupa dan selalu terdengar suara genta persembahyangan. Di situ kesenian Bali dan agama Hindu dialihkan ke lembar-lembar rontal oleh tangan yang kurus berkulit keriput, dengan telaten. Sebuah sumber yang bakal sangat bermanfaat, bila nanti orang ingin menemukan hakikat kesenian Bali. Orang tua itu, si pemilik tangan keriput, mungkin contoh terakhir dari seorang Bali yang menguasai beragam seni: tari, arsitektur, topeng, sastra - dan agama - yang dengan konsekuen didarmakannya dalam kehidupan sehari-hari. Orang itu, Ida Pedanda Made Sidemen, 126, dua pekan lalu meninggal. Memang, tak ada karya-karyanya baik arsitektur, seni tari, maupun karya sastra - yang menjadi perhatian orang. Ia lebih dikenal sebagai pemikir falsafah seni. Seseorang yang dianggap sangat memahami dasar-dasar dan sumber segala kesenian Bali. Misalnya, lebih dari pendeta yang lain, Sidemen mempelajari mudra dengan tekun. Mudra, atau gerak-gerak tangan dalam melakukan pemujaan, adalah sumber seni tari Bali. Menurut Robbi Sularto - arsitek yang banyak mempelajari arsitektur Bali - bukan cuma pemahaman dasar semua kesenian yang dituliskan Sidemen pada rontal-rontalnya. Tapl, "tokoh itu punya wawasan sangat luas". Misalnya, Robbi, yang pernah membaca rontal kearsitekturan Bali tulisan Sidemen, mengagumi pandangan Sidemen tentang semua kaidah arsitektur Bali dari segala sudut. Mungkin itu yang menyebabkan Made Sidemen tak segan-segan, bila perlu, untuk menyimpang dari aturan baku. Satu contoh pemahaman Sidemen tentang ke-undagian, dan karena itu tak melihat masalah dengan hitam putih, diceritakan Robbi. Bila memang arsitektur Bali cocok buat orang Bali, bagaimana seandainya semua orang Bali diharuskan membangun rumah dengan kaidah ke-undagian Bali? Sidemen, tutur Robi, langsung menjawab dengan kalem. Itu tidak benar. Sebab, membuat rumah adalah tanggung jawab dan hak imdividual itu sendiri, begitu jawab Sidemen menurut Robbi. Masih ada lanjutannya, yakni, "Tapi bila ada penerangan kepada semua orang Bali cara sebaiknya membuat rumah, itu saya setuju," kata Robbi menirukan Almarhum, yang hidupnya termasuk yang terpanjang di dunia. Kearifannya itulah yang membuat Sidemen, di masa-masa hidupnya, jadi tempat bertanya untuk segala soal. Misalnya, pada 1965, ketika dilancarkan pembersihan terhadap yang terlibat G30-S/PKI, banyak orang Bali bertanya-tanya: Adakah mayat mereka boleh disucikan. Konon, tak seorang pedanda pun yang berani dan mampu menjawab kebingungan itu. Lalu, semuanya menengok Sidemen. Orang tua yang selama hidupnya hampir tak pernah mengenakan baju itu menjawab. Mereka yang jadi korban adalah terkena kerta gena (situasi yang kacau) demi kerta jagat (ketenteraman dunia). Dan yang melakukan itu bukan perseorangan, melainkan pemerintah. Maka, selama keadaan masih kacau jasad mereka yang terkena kerta gena dikuasai pemerintah. Baru setelah keadaan aman, upacara penyucian boleh dilaksanakan. Orang ini, yang diam-dlam dari harl ke hari menuliskan dasar falsafah hampir semua cabang kesenian dan berbagai kaidah agama Hindu di Bali, pada 1974 mendapat piagam Dharma Kusuma dari gubernur Bali. Ia dianggap berjasa dalam semi sastra dan arsitektur, antara lain. Dan 1980, ia mendapat Anugerah Seni. dari pemerintah RI sebagai pembina sastra dan kesenian Bali. Tapi, lebih dari itu, Made Sidemen adalah teladan. Dialah satu-satunya pedanda yang berani mengubah aturan upacara keagamaan. Misalnya, ia tak menganjurkan kemewahan dalam upacara ngaben. Asal semua syarat pokok dicukupi, ltu sudah sesuai dengan perintah agama. Dan itu pula yang dilakukan Ida Ayu Pidin, 78, satu-satunya anak Sidemen yang masih hidup: ia menyempurnakan jasad ayahnya dengan sederhana. Baik dampa (peti mati) maupun sesajennya tidak meriah, tapi komplet - dan itu semua menurut Ida Ayu Pidin sudah disiapkan Sidemen sendiri sebelum memenuhi panggilan Hyang Widi. Sebagai pedanda pun, ia menolak fasilltas khusus, yang sudah lama jadi kebiasaan. Misalnya, tak perlu seorang pedanda harus duduk lebih tinggi dari orang-orang lain. Karena itu, Robbi nenaruh minat untuk mengungkapkan karya-karya arsitektur Made Sidemen yang bertebaran. Di balik kesederhanaan rumah dan pura karya Sidemen, yang sama sekali tak mengundang perhatian, "Saya yakim, pasti ada keistimewaannya," kata Robbi pula. Sebab, rumah atau pura itu - misalnya salah satu pura yang ada di Desa Intaran dekat Sanur - dibangun langsung dengan ditunggui Sidemen. Arsitek tradisional memang tak membangun dengan gambar desain, tapi langsung memimpin di lapangan. Buah pikiran Made Sidemen yang lain baru rontal Ciwa Gama, yang mengungkapkan falsafah agama Ciwa Sidanta yang dialihkan ke dalam huruf Latin oleh Balinologi. Direncanakan, I Gusti Ngurah Bagus, guru besar Fakultas Sastra Universitas Udayana, akan memimpin pengalihan rontal-rontal Sidemen ke dalam huruf latin agar lebih bisa dimanfaatkan banyak orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus