OPERA IKAN ASIN
Karya: Bertolt Brecht
Saduran Bebas: Tjie Tjin Siang & Riantiarno
Musik: Hary Rusli
Sutradara: Riantiarno
Produksi: Teater Koma
INILAH sebuah adegan perkawinan yang indah tapi brengsek.
Romantis tapi jorok. Terjadi di sebuah kandang kuda, Mekhit
(Riantiarno), si Raja Bandit mengawini Poli (Titi Qadarsih) anak
tunggal si Raja Pengemis se-Betawi. Hadirin, tentu saja, para
pencoleng lengkap dengan tingkahnya yang norak.
Dari perkawinan inilah sesungguhnya opera Brecht berangkat,
menjalin kisah dalam lagu. Dan di Teater Tertutup, Taman Ismail
Marzuki, 30 Juli sampai 8 Agustus, suasana Jerman di akhir
1920-an diubah menjadi suasana Betawi tahun yang sama.
Maka di panggung dengan dekor yang mengesankan perkampungan
jelata, berjubel dan jorok itu, diungkapkanlah keberengsekan
dunia. Ternyata Komisaris Polisi Kartamarma (Taufan S.)
berkomplot dengan Mekhit -- pantas saja Mekhit bebas
berkeliaran. Dan si Raja Pengemis Goceng Natasasmita Picum (Didi
Petet) ternyata mampu mengorganisasikan para pengemis yang siap
mengacau, yang bisa memojokkan Kartamarma untuk menangkap
Mekhit.
Tapi panggung tidaklah bersuasana muram. Lampu yang disorotkan
berkomposisi romantis: kuning dengan latar belakang biru muda
-- begitulah kesannya. Dengan dekor yang sumpek itu,
nyanyian-nyanyian segar berkumandang, diiringi musik Harry Rusli
yang bisa berderap gagah, dan sekali-sekali mengalun merdu.
Sesungguhnya inilah kisah cinta yang dilatarbelakangi kehidupan
para pencoleng, pengemis, dan pelacur, dan dibumbui kritik
sosial yang kocak. Dendam Goceng terhadap Mekhit bukanlah karena
soal yang berat-berat: Melainkan hanya dendam seorang ayah yang
anaknya kawin lari dengan Raja Bandit -- tanpa mau menengok
siapa pula dia sendiri sebenarnya. Dan bila Kartamarma
berkomplot dengan Mekhit, adalah karena Lusi (Baby Amin),
anaknya, jatuh cinta sama si Bandit.
Kali ini Teater Koma tak tampil dengan permainan akting. Yang
jadi nomor satu di panggung ialah suasana yang dibentuk oleh
musik dan nyanyi. Harry Rusli, 32 tahun, yang pernah mementaskan
rock opera Ken Arok dan menggubah musik bunyi Rumah Sakit dan
Sikat Gigi, menangani musik Opera Ikan Asin dengan pas. Musik
bisa gagah dengan suara genderang ketika di panggung berlangsung
adegan para tentara. Tapi pun bisa romantis ketika Mekhit dan
Poli berduet menyanyikan perkawinan mereka. Juga, musik bisa
menyayat sewaktu Mekhit meratapi nasib di balik jeruji penjara.
Kita tak tahu persis karya Bertolt Brecht yang judul aslinya
Dreigroschenoper ini berwarna muram atau manis. Mengingat
Brecht adalah penulis drama epik yang suka melontarkan kritik
sosial dalam karya-karyanya Dreigraschenoper mungkin bersuasana
kelam dan terasa pahit. Riantiarno, 34 tahun pun memilih naskah
ini karena "situasi yang digambarkan opera ini mirip dengan
situasi sekarang: ada masalah ketidakadilan, korupsi,
penindasan, pengkhianatan, dan lain-lain."
Toh, Opera Ikan Asin yang tampil dipanggung ialah pementasan
yang manis dan ceria. Berbeda dengan Bom Waktu karya Riantiarno
sendiri, dipenaskannya beberapa lama lewat, yang lebih
menampilkan kritik sosial dengan serius, meski disampaikan
dengan kocak pula. Bom Waktu meninggalkan "bom" dalam diri
penonton. Ada masalah yang tetap menggelitik sehabis kita
nonton. Opera Ikan Asin, yang untuk pementasan 10 hari Teater
Koma harus membayar royalti sekitar Rp 750 ribu, kepada
penulisnya, tak memberikan itu. Yang kita bawa pulang adalah
gema nyanyian-nyanyian yang enak didengar, meski liriknya kadang
gawat juga. Misalnya, O, kami putus asa/Hanya koruptor yang bisa
hidup/Kasihan, sungguh kasihan/Hidup cuma kesia-siaan/ Kami
putus asa . . .
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini