Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ikan asin yang manis

Karya: bertolt brecht sutradara: riantiarno. produksi: teater koma pementasan di: teater tertutup tim resensi oleh: bambang bujono. (ter)

6 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OPERA IKAN ASIN Karya: Bertolt Brecht Saduran Bebas: Tjie Tjin Siang & Riantiarno Musik: Hary Rusli Sutradara: Riantiarno Produksi: Teater Koma INILAH sebuah adegan perkawinan yang indah tapi brengsek. Romantis tapi jorok. Terjadi di sebuah kandang kuda, Mekhit (Riantiarno), si Raja Bandit mengawini Poli (Titi Qadarsih) anak tunggal si Raja Pengemis se-Betawi. Hadirin, tentu saja, para pencoleng lengkap dengan tingkahnya yang norak. Dari perkawinan inilah sesungguhnya opera Brecht berangkat, menjalin kisah dalam lagu. Dan di Teater Tertutup, Taman Ismail Marzuki, 30 Juli sampai 8 Agustus, suasana Jerman di akhir 1920-an diubah menjadi suasana Betawi tahun yang sama. Maka di panggung dengan dekor yang mengesankan perkampungan jelata, berjubel dan jorok itu, diungkapkanlah keberengsekan dunia. Ternyata Komisaris Polisi Kartamarma (Taufan S.) berkomplot dengan Mekhit -- pantas saja Mekhit bebas berkeliaran. Dan si Raja Pengemis Goceng Natasasmita Picum (Didi Petet) ternyata mampu mengorganisasikan para pengemis yang siap mengacau, yang bisa memojokkan Kartamarma untuk menangkap Mekhit. Tapi panggung tidaklah bersuasana muram. Lampu yang disorotkan berkomposisi romantis: kuning dengan latar belakang biru muda -- begitulah kesannya. Dengan dekor yang sumpek itu, nyanyian-nyanyian segar berkumandang, diiringi musik Harry Rusli yang bisa berderap gagah, dan sekali-sekali mengalun merdu. Sesungguhnya inilah kisah cinta yang dilatarbelakangi kehidupan para pencoleng, pengemis, dan pelacur, dan dibumbui kritik sosial yang kocak. Dendam Goceng terhadap Mekhit bukanlah karena soal yang berat-berat: Melainkan hanya dendam seorang ayah yang anaknya kawin lari dengan Raja Bandit -- tanpa mau menengok siapa pula dia sendiri sebenarnya. Dan bila Kartamarma berkomplot dengan Mekhit, adalah karena Lusi (Baby Amin), anaknya, jatuh cinta sama si Bandit. Kali ini Teater Koma tak tampil dengan permainan akting. Yang jadi nomor satu di panggung ialah suasana yang dibentuk oleh musik dan nyanyi. Harry Rusli, 32 tahun, yang pernah mementaskan rock opera Ken Arok dan menggubah musik bunyi Rumah Sakit dan Sikat Gigi, menangani musik Opera Ikan Asin dengan pas. Musik bisa gagah dengan suara genderang ketika di panggung berlangsung adegan para tentara. Tapi pun bisa romantis ketika Mekhit dan Poli berduet menyanyikan perkawinan mereka. Juga, musik bisa menyayat sewaktu Mekhit meratapi nasib di balik jeruji penjara. Kita tak tahu persis karya Bertolt Brecht yang judul aslinya Dreigroschenoper ini berwarna muram atau manis. Mengingat Brecht adalah penulis drama epik yang suka melontarkan kritik sosial dalam karya-karyanya Dreigraschenoper mungkin bersuasana kelam dan terasa pahit. Riantiarno, 34 tahun pun memilih naskah ini karena "situasi yang digambarkan opera ini mirip dengan situasi sekarang: ada masalah ketidakadilan, korupsi, penindasan, pengkhianatan, dan lain-lain." Toh, Opera Ikan Asin yang tampil dipanggung ialah pementasan yang manis dan ceria. Berbeda dengan Bom Waktu karya Riantiarno sendiri, dipenaskannya beberapa lama lewat, yang lebih menampilkan kritik sosial dengan serius, meski disampaikan dengan kocak pula. Bom Waktu meninggalkan "bom" dalam diri penonton. Ada masalah yang tetap menggelitik sehabis kita nonton. Opera Ikan Asin, yang untuk pementasan 10 hari Teater Koma harus membayar royalti sekitar Rp 750 ribu, kepada penulisnya, tak memberikan itu. Yang kita bawa pulang adalah gema nyanyian-nyanyian yang enak didengar, meski liriknya kadang gawat juga. Misalnya, O, kami putus asa/Hanya koruptor yang bisa hidup/Kasihan, sungguh kasihan/Hidup cuma kesia-siaan/ Kami putus asa . . . Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus