PRODUSER film nasional bukan tak mau membuat film yang lebih berkualitas. Masalahnya, mereka lalu berkelit pada alasan klasik, film begitu membutuhkan biaya besar. Pekerja film punya tarif lebih tinggi. Belum lagi membiayi riset. Ya, kalau film itu kemudian laku di pasaran. Seorang produser mengatakan, membuat film dengan kualitas yang haus -- yang ukurannya beberapa Citra -- memerlukan dana yang jauh lebih besar ketimbang memproduksi film kacangan yang notabene sudah dipesan broker di daerah. Apalagi, seperti dikatakan bos Parkit Film, Ram Punjabi, kepada wartawan TEMPO Syafiq Basri, "Sekarang ini produser sama sekali tidak dibantu oleh pemerintah. Di bidang lain, misalnya ekspor nonmigas, ada bantuan sertifikat ekspor. Di film tidak. Kami para produser harus membantu diri sendiri." Bagaimana dengan sponsor? Usaha ini sudah dilakukan beberapa produser Kanta Indah, misalnya, merangkul Kalbe Farma untuk membuat Saur Sepuh dengan biaya termasuk promosi -- sekitar Rp 1,4 milyar. Imbalannya, iklan Entrostop dan Pro-Cold -- dua produksi Kalbe Farma -- sesuai dengan kontrak, diputar sebelum film dimulai. Memang hanya itu yang mungkin. "Sebab tak mungkin memasukkannya ke dalam cerita," kata A. D. Handriono, Asisten Direktur PT Kalbe Farma. Tentu saja penonton akan tertawa (atau malah kecewa) jika misalnya Satria Madangkara di dalam cerita harus minum Pro-Cold Pada film-film lain, iklan dari sponsor itu memang menyatu di dalam cerita. Wajar atau mengada-ada, soal lain. "Dalam film yang masuk nominasi, produk kami banyak nongol," kata Aditya Kristianto, manajer pemasaran dan promosi rokok Djarum. Tarifnya? "Tak ada ketentuannya. Kebetulan produsernya teman, jadi ya tarif temanlah," ujar Aditya Iklan Djarum, katanya, ditempatkan pada film-film yang ceritanya logis. Tidak sembarang film. Rembulan di Tengah Hari contoh sebuah film yang penuh sponsor. Tapi, menurut Maulana Husin, pemimpin produksi film itu, hanya ada lima perusahaan yang betul-betul membayar, yakni Multi Bintang, Indo Mobil, Texmaco, Ovaltine, dan Tropicana Slim. "Dan iklan-iklan itu secara keseluruhan tidak mengganggu cerita," katanya. "Karena film ini bercerita tentang dunia peragawati. Di setiap fashion show pasti ada sponsor." Dari iklan itu diterima dana sekitar 10% dari biaya produksi yang Rp 500 juta. Rokok Gudang Garam pun mulai masuk ke iklan film. Seperti kata Manajer Promosi PT Gudang Garam, Kediri, "Satu-satunya pilihan beriklan lewat media visualisasi, ya, tinggal layar bioskop." Film yang sudah dimasukinya adalah Menggapai Matahari yang dibintangi Rhoma Irama. Dalam film itu rokok Gudang Garam muncul tujuh kali dengan total waktu sekitar 10 menit. Biaya yang ditarik produser sebesar Rp 35 juta. Menurut Johny Mongi biaya itu cukup mahal. "Namun, di film efektivitasnya sangat tinggi, karena diputar di mana-mana dan jangka waktu pemutarannya bisa lama," katanya. Lagi pula, iklan itu betul-betul wajar, karena masuk dalam alur cerita dan bukan tempelan. Menurut Teguh Karya, iklan-iklan itu tidak ada yang salah. "Itu namanya budi daya," kata Teguh. "Tapi, tolong, tempatkan masing-masing pada proporsinya. Film itu mahal, butuh uang. Iklan itu ditempatkan yang betul, tidak hanya asal tempel. Seperti Coca-Cola, boleh saja dimasukkan dalam adegan di restoran." Arswendo pun bisa menerima iklan seperti itu "Cara ini sebenarnya paling berkembang di Muangthai. Bahkan di sana hampir semua film menggunakan sponsor," katanya. Bahkan ada cara yang lebih kasar yang disebut "sinema kotor". Caranya dengan membuat adegan-adegan yang diatur begitu rupa sehingga memperoleh sudut atau peluang menampilkan iklan. Dalam salah satu film Warung Kopi, Arswendo menemukan "sinema kotor" itu. "Tapi kita mau apa? Kode etiknya belum ada " MC & YH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini