BAGAIMANA menggali sumber minyak di daerah yang belum berpagar? Untuk Timor Gap, Menlu Australia Gareth Evans dan Menlu Indonesia Ali Alatas telah menjawabnya. Dalam Joint Statement bulan lalu, kedua negara mencanangkan pembentukan Zone of Cooperation tepat di selatan Provinsi Timor Timur, untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber minyak. Jadi, sebelum sepakat mana landas kontinen (continental shelf) Indonesia, dan mana yang Australia, kedua negara ingin memanfaatkannya bersama-sama. Urusan landas kontinen (LK) termasuk perkara yang tak boleh dilewatkan. Soalnya, dasar dan tanah di bawah laut itu (seabed and sub-soil) berada di luar daerah laut teritorial. Jadi, di luar wilayah negara, tapi sumber alamnya mau dimanfaatkan. Konsep ini telah diserap ke dalam Konvensi Landas Kontinen 1958. Waktu itu klaim boleh sampai batas kedalaman 200 meter, tak soal berapa jauh dari pantai. Tentu saja ada kemungkinan tumpang tindih antara sesama LK masing-masing. Dalam hal Indonesia dan Australia juga begitu. Kedua negara pun berunding, mula-mula pada 1971. Ini delimitasi untuk LK mulai dari selatan Irian Jaya, yang kemudian disepakati sebagai titik A1. Terus ke barat, sedemikian rupa, sampai pada titik A12 di selatan Pulau Aru. Titik-titik itu menciptakan garis-garis pembatas yang lurus. Karena kedalaman laut pada daerah LK ini tidak lebih dari 200 meter, maka garis-garis demarkasi itu merupakan garis tegah (median line) sama jarak dari pantai masing-masing, atau lebih tepat garis-garis pangkal masing-masing. Setahun pun berlalu. Bagaimana dengan arah barat dari titik A12, yakni mulai dari Laut Arafuru sampai ke dekat Pulau Ashmore? Mereka berunding lagi. Tapi LK di sini tidak selandai LK yang sudah dibagi sebelumnya. Tak sampai 50 mil dari pantai Pulau Tanimbar, Rote, dan Timor, dasar laut itu tiba-tiba anjlok, tak tanggung-tanggung, sampai kedalaman lebih dari 2.000 meter. Australia bilang itu trough atau trench. Dari Australia trench ini cukup jauh. Dengan kedalaman tidak lebih dari 200 meter, Australia dapat mencapai trench itu sampai lebih dari 200 mil. Maka, menurut Australia, LK-nya bisa sampai di situ, sedang LK Indonesia, ya berhenti menjelang trench tersebut. Jadi, karena LK itu tidak satu, tidak bisa dibagi dua dengan garis tengah. Toh persetujuan ditandatangani juga. Lahirlah titik A13 dan berhenti pada titik A16 di selatan Pulau Tanimbar, karena Timor Timur waktu itu bukan wilayah RI. Kemudian di selatan Timor (barat) di-plot titik A17 terus ke kiri sampai dengan titik A25. Jadi, Australia saat itu berhasil mendesakkan kenyataan adanya trench itu sebagai special circumstances, sehingga bentangan LK-nya amat luas. Konon, Indonesia saat itu sedang getol-getolnya mengegolkan konsep negara kepulauan yang tentunya butuh dukungan dan merebut simpati negara-negara lain, termasuk Australia. Sebetulnya, batas LK suatu negara bisa sampai kedalaman lebih dari 200 meter, berdasarkan Konvensi 1958. Asalkan kedalaman laut masih memungkinkan dilakukannya eksploitasi. Tapi kriteria ini pada kenyataannya bukannya memberi jalan keluar, malah bikin pusing. *** PULAU Timor kemudian utuh sebagai wilayah RI. Bagaimana dengan sisa LK antara titik A16 dan A17, yang disebut Timor Gap itu? Diteruskan sajakah celah antara kedua titik itu? Australia maunya begitu. Itu artinya bentangan LK Australia pada celah ini pun kira-kira sama luasnya dengan LK per 1972. Indonesia berpendapat lain dan menginginkan agar pada daerah ini LK kedua negara itu dibagi dua atas dasar median line. Tidakkah itu menyimpang dari persetujuan 1972? Betul. Tapi menurut Prof. Mochtar Kusuma-Atmadja, sewaktu masih Menlu, bukti terakhir menyatakan, Timor Trench tidak merupakan batas alamiah yang sebenarnya. "Ujung landas kontinen itu sebenarnya di utara Timor," katanya. Trench itu, katanya, sebenarnya penurunan (depression). Maka, tidak benar ada dua LK. Karena itu, menurut dia, jika itu memang depression, dan bukan ujung landas, Indonesia berhak menuntut perhitungan berdasar median line. Prof. Mochtar beberapa tahun kemudian menyatakan, Australia menginginkan Indonesia mengisi celah tersebut dengan menyambung situasi berdasarkan perjanjian 1971 dan 1972. Menurut Mochtar, itu artinya Australia menginginkan kita berunding sekarang, tapi memakai Konvensi 1958, yang menurut dia telah banyak direvisi. Pada Konvensi Hukum Laut 1982, luas LK tidak lagi dipengaruhi trench. Maka, kuat sekali alasan untuk memakai garis tengah sebagai demarkasi. Dari sudut hukum perjanjian, KHL 1982 memang masih belum efektif. Tapi, sebagaimana pada ZEE, rupanya Indonesia ingin agar prinsip-prinsip yang tercantum dalam KHL 1982, yang sudah diratifikasi oleh Indonesia dan ditandatangani oleh Australia, mulai diberlakukan. Begitulah, perundingan terus berlangsung. Belum selesai, walau belum buntu. Tapi daerah tersebut bisa sia-sia, paling tidak bagi Indonesia. Maka, muncullah gagasan kerja sama di zona tersebut. *** BELUM diketahui bagaimana wujud pengelolaan zone of cooperation itu. Yang jelas banyak aspek terkait di situ. Konsep kerja sama tersebut rupanya terus digodok hingga bisa dituangkan dalam satu persetujuan dalam waktu tidak lebih dari jangka setahun ini. Yang sudah disiarkan: zona itu, yakni pada celah antara A16 dan 17, dibagi 3 bagian. Pertama, daerah yang tunduk pada yurisdiksi nasional masing-masing. Area C untuk Indonesia dan Area B buat Australia. Dari peta kasar tampak sekali, Area B jauh lebih luas ketimbang Area C. Area A -- terletak antara C dan B tadi sepenuhnya bakal tunduk pada sistem pengusahaan bersama. Direncanakan akan ada Ministerial Council serta Joint Authority. Zona semacam ini tidak baru. Malaysia dan Muangthai, misalnya, sudah lama bekerja ke arah ini. Tapi agak tersendat karena adanya keengganan investor yang sudah mulai menambang di sana untuk mengakui kewenangan otorita bersama tersebut. Mereka khawatir, jangan-jangan sistem bagi hasil Malaysia akan diterapkan, dibanding sistem Muangthai, yang lebih meringankan investor. Malaysia dan Brunei juga sudah bekerja sama. Begitu pula banyak negara lain. Model dan prinsip pengaturan tentu bervariasi. Penyelesaian dengan cara ini sejalan dengan KHL 1982: sebelum ada persetujuan tetap tentang batas LK antarnegara, mereka melakukan pengaturan sementara yang bersifat praktis. Akankah model kerja sama ini juga akan dilakukan dengan Vietnam, yang LK-nya pada tempat tertentu di Laut Cina Selatan bertumpang tindih dengan LK Indonesia? Mungkin banyak sekali faktor pembeda yang harus dipertimbangkan sejak dini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini