Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ilham dari pura taro

Yayasan mitra budaya memamerkan patung i nyoman cokot, putera dan cucunya. sulit mendapatkan patung cokot, putera dan cucunya tidak ada yang mewarisi. dua pelukis asing menyebutnya gaya "cokotisme". (sr)

24 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK mudah menemukan sejumlah karya I Nyoman Cokot dalam satu pameran. Kata orang, karyanya begitu laris. Sehingga waktu dia meninggal (1971, dalam usia sekitar 85 tahun) tak sebiji patung ada di rumahnya. Bahkan ketika Balai Seni Rupa Jakarta mengadakan pameran patung oleh tiga pematung Bali, untuk Cokot hanya berhasil dikumpulkan empat patung kecil. Tapi kini mendingan. Dalam acara 12 - 18 Maret di Mitra Budaya, yakni Pameran Patung Cokot, Putera dan Cucunya, ada terkumpul 12 patung seniman besar itu. Berdampingan dengan karya kelima anaknya dan kedua cucu, memang nyata benar perbedaan karya Cokot: sederhana, tapi utuh. Kayu yang dipahatnya tak lagi terasa sebagai kayu -- tapi benar-benar patung dengan segala ornamennya. Padahal, ia tak merobah bentuk kayu itu sendiri. Anak cucunya juga tak merobah bentuk kayu --namun setelah jadi patung, terasa bentuk patung itu dicari-cari. Patung Belalang karya Ktut Nongos misalnya, diberi tambahan batang bulu ayam sebagai tanduk segala. Kelihatan ia memaksa kayu itu menjadi sesuatu -- hal yang tak pernah diperbuat bapaknya. Sebenarnya satu pertanyaan yang aneh bila kita lontarkan kepada seniman seni rupa Bali: dari mana mereka memperoleh ide. Sebab cerita Ramayana atau Mahabharata, yang hidup di Bali berkat agama Hindu, juga suasana pura atau pertunjukan arja, sudah merupakan ilham yang tak pernah kering. Tapi pertanyaan itu jadi penting khusus menyangkut Cokot. Sebab, karya patungnya agak menyimpang dari kebiasaan umum. Dan, ternyata, penyimpangan itu pun bukan hal aneh. 5 Km dari Jati, desa kelahirannya, ada Pura Taro -- konon peninggalan Majapahit. Meskipun tidak banyak, ukiran di pura itu menunjukkan citarasa primitif: kasar tapi enak dipandang dan memantulkan suasana magis. Rupanya Cokot muda tertarik pada ukiran itu. Menurut I Ktut Nongos, anak ketiganya, ayahnya sering bersemadi di pura tersebut. Hantu Atau Setan Tentu, ikut campurnya orang lain sedikit banyak membantu Cokot melihat dirinya sendiri. Orang lain itu ialah Walter Spies dan Rudolf Bonnet -- dua pelukis asing yang sejak tahun 30-an bermukim di Bali. Dan lahirlah satu gaya yang kini disebut "cokotisme". Secara fisik "cokotisme" bisa digambarkan begini patung yang penuh ornamen, yang kadang secara keseluruhan tidak menyarankan satu bentuk patung tapi mirip relief pada bentuk tiga dimcnsi. Dan ornamen itu kebanyakan wajahwajah yang mengalami deformasi sedemikian rupa sehingga memberikan imaji hantu atau setan. Jelas tak gampang menirunya. Bukan soal sulitnya mengukir kayu, tapi bagaimana suasana magis atau gaib itu tercipta. Dan suasana itulah yang belum tentu ada bila kita berbicara tentang "cokotisme". Sebab anak-cucu Cokot tak mewarisinya. Meskipun di Bali, konon, berkesenian atau mencipta sudah dianggap seperti makan dan minum sehingga meniru bukan dosa, toh hasilnya berbeda. Lebih-lebih bila kita bandingkan karya Nongos yang mulai memyimpang dari "cokotisme" -- yang ternyata lebih wajar daripada karya-karya Nongos yang "cokotisme." Patung Petirnya menyuguhkan bobot yang bisa dijajarkan dengan karya-karya ayahnya. Dengan menghilangkan ornamen pada sebagian besar permukaan patung, hanya menekankan pada bagian tertentu, ternyata Nongos lebih bisa tampil dengan meyakinkan. Sampai di sini, mungkin, sebentar lagi "cokotisme" hanya akan tinggal istilah. I Made Gelis, cucu Cokot, pun lebih berhasil pada Kera Naik Kuda yang jauh dari bau Cokot. Pameran ini dalam rangka ulang tahun Yayasan Mitra Budaya ke-12. Yayasan ini memang sering menyeponsori kegiatan seni rupa, di samping mengadakan ceramah tentang keris, bahkan tentang adat makan sirih di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus