TAK mudah menemukan sejumlah karya I Nyoman Cokot dalam satu
pameran. Kata orang, karyanya begitu laris. Sehingga waktu dia
meninggal (1971, dalam usia sekitar 85 tahun) tak sebiji patung
ada di rumahnya. Bahkan ketika Balai Seni Rupa Jakarta
mengadakan pameran patung oleh tiga pematung Bali, untuk Cokot
hanya berhasil dikumpulkan empat patung kecil. Tapi kini
mendingan. Dalam acara 12 - 18 Maret di Mitra Budaya, yakni
Pameran Patung Cokot, Putera dan Cucunya, ada terkumpul 12
patung seniman besar itu.
Berdampingan dengan karya kelima anaknya dan kedua cucu, memang
nyata benar perbedaan karya Cokot: sederhana, tapi utuh. Kayu
yang dipahatnya tak lagi terasa sebagai kayu -- tapi benar-benar
patung dengan segala ornamennya. Padahal, ia tak merobah bentuk
kayu itu sendiri. Anak cucunya juga tak merobah bentuk kayu
--namun setelah jadi patung, terasa bentuk patung itu
dicari-cari. Patung Belalang karya Ktut Nongos misalnya, diberi
tambahan batang bulu ayam sebagai tanduk segala. Kelihatan ia
memaksa kayu itu menjadi sesuatu -- hal yang tak pernah
diperbuat bapaknya.
Sebenarnya satu pertanyaan yang aneh bila kita lontarkan kepada
seniman seni rupa Bali: dari mana mereka memperoleh ide. Sebab
cerita Ramayana atau Mahabharata, yang hidup di Bali berkat
agama Hindu, juga suasana pura atau pertunjukan arja, sudah
merupakan ilham yang tak pernah kering. Tapi pertanyaan itu jadi
penting khusus menyangkut Cokot. Sebab, karya patungnya agak
menyimpang dari kebiasaan umum.
Dan, ternyata, penyimpangan itu pun bukan hal aneh. 5 Km dari
Jati, desa kelahirannya, ada Pura Taro -- konon peninggalan
Majapahit. Meskipun tidak banyak, ukiran di pura itu menunjukkan
citarasa primitif: kasar tapi enak dipandang dan memantulkan
suasana magis. Rupanya Cokot muda tertarik pada ukiran itu.
Menurut I Ktut Nongos, anak ketiganya, ayahnya sering bersemadi
di pura tersebut.
Hantu Atau Setan
Tentu, ikut campurnya orang lain sedikit banyak membantu Cokot
melihat dirinya sendiri. Orang lain itu ialah Walter Spies dan
Rudolf Bonnet -- dua pelukis asing yang sejak tahun 30-an
bermukim di Bali. Dan lahirlah satu gaya yang kini disebut
"cokotisme".
Secara fisik "cokotisme" bisa digambarkan begini patung yang
penuh ornamen, yang kadang secara keseluruhan tidak menyarankan
satu bentuk patung tapi mirip relief pada bentuk tiga dimcnsi.
Dan ornamen itu kebanyakan wajahwajah yang mengalami deformasi
sedemikian rupa sehingga memberikan imaji hantu atau setan.
Jelas tak gampang menirunya. Bukan soal sulitnya mengukir kayu,
tapi bagaimana suasana magis atau gaib itu tercipta. Dan suasana
itulah yang belum tentu ada bila kita berbicara tentang
"cokotisme". Sebab anak-cucu Cokot tak mewarisinya. Meskipun di
Bali, konon, berkesenian atau mencipta sudah dianggap seperti
makan dan minum sehingga meniru bukan dosa, toh hasilnya
berbeda.
Lebih-lebih bila kita bandingkan karya Nongos yang mulai
memyimpang dari "cokotisme" -- yang ternyata lebih wajar
daripada karya-karya Nongos yang "cokotisme." Patung Petirnya
menyuguhkan bobot yang bisa dijajarkan dengan karya-karya
ayahnya. Dengan menghilangkan ornamen pada sebagian besar
permukaan patung, hanya menekankan pada bagian tertentu,
ternyata Nongos lebih bisa tampil dengan meyakinkan. Sampai di
sini, mungkin, sebentar lagi "cokotisme" hanya akan tinggal
istilah. I Made Gelis, cucu Cokot, pun lebih berhasil pada Kera
Naik Kuda yang jauh dari bau Cokot.
Pameran ini dalam rangka ulang tahun Yayasan Mitra Budaya ke-12.
Yayasan ini memang sering menyeponsori kegiatan seni rupa, di
samping mengadakan ceramah tentang keris, bahkan tentang adat
makan sirih di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini