DI Bandung, 3 Maret yang lalu ada acara pembukaan sebuah museum
seni rupa. Itu museum pribadi pelukis Popo Iskandar (56 tahun),
yang juga dosen IKIP Bandung jurusan Seni Rupa dan anggota Akademi
Jakarta. Tapi jangan heran kalau yang disebut museum itu hanya
berukuran 150 mÿFD pada sebidang tanah 600 mÿFD -- lebih sempit dari
Ruang Pameran TIM atau Balai Budaya di Jakarta. Hanya saja semangat
yang melandasi berdirinya museum itu tidak kecil. "Pembinaan dan
perkembangan seni budaya tidak hanya menyangkut seniman, budayawan
atau seni budayanya saja," kata Popo kepada Hasan Syukur dari
TEMPO. "Yang tidak kurang pentingnya ialah segi sosialnya."
Dengan menekankan aspek sosial, maka Popo mendobrak gambaran
yang biasaya menyertai kata 'museum' itu: sebuah gedung besar
dan mewah yang berisi koleksi banyak karya. Museum tidak harus
begitu. Dan berdirilah museum Popo yang kini baru bisa diisi 30
lukisan -- target Popo nanti sekitar 60 lukisan.
Ternyata ide Popo muncul setelah melihat contoh. Popo
mengunjungi Museum Bateau Lavoir, di Paris. Dan museum yang
terkenal itu (bekas studio pelukis Picasso dan Braque) memang
sederhana saja, meskipun cukup luas. Maka muncullah ide di tahun
1976 itu -- yang mendorongnya mencari cara-cara efisien untuk
mewujudkannya. Alhamdulillah setelah tiga tahun akhirnya
terwujud: museum itu berdiri di dekat rumahnya, masih dalam
lingkungan kampus IKIP Bandung. Semua biaya keluar dari saku
Popo sendiri, dan hitung-hitung sampai pembukaan kemarin sudah
Rp 9 juta.
Usaha Popo lantas banyak mengundang simpati. Walikota Bandung
Husen Wangsaatmadja menyatakan bersedia menjadi pelindung. Dari
Jakarta beberapa sahabat Popo memerlukan hadir dalam pembukaan:
Mochtar Lubis, Rusli, Nashar, Sutan Takdir Alisjahbana.
Benar, museum ini bukan museum pribadi yang pertama. Di Yogya
sudah ada museum Affandi. Tapi memang ada yang unik dari museum
Popo. Ruang tersebut tak hanya digunakan untuk menggantung
lukisan, tapi direncanakan juga kadang digunakan untuk berkarya
Harapan Popo "dengan begitu akan teriadi keakraban dengan
masyarakat.
Juga menarik tidak hanya karya Popo saja yang digantung di
museumnya. Ia pun mengharap bahwa sesuatu karya pelukis lain,
kalau pelukisnya setuju-dan tentu juga kalau Popo setuju -- bisa
nanti ditukar dengan lukisan Popo sendiri. Lalu dipasang di
situ.
Yang belum dikatakan Popo ialah bagaimana dia menyeleksi
karyanya sendiri untuk museumnya. Apakah sekedar karya yang
dianggap baik, atau misalnya karya yang menandai awal perubahan
gayanya. Balai Seni Rupa Jakarta misalnya, menurut direkturnya,
Sudarmadji, membeli kedua jenis tersebut.
Tapi Popo tentunya sudah berfikir tentang karya-karyanya
sendiri, terutama. Kalau misalnya semua seniman penting membuat
museum sendiri-sendiri, itu saja sudah bukan main -- walaupun
kecil saja. Lebih-lebih karena hal ini merupakan satu pemecahan.
Seperti dikakatakan Mochtar Lubis: "Kalau menunggu sebuah museum
yang megah, kapan kita akan punya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini