Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Museum kecil buat anda

Popo iskandar, 56, pelukis & dosen seni rupa ikip bandung meresmikan berdirinya museum seni rupa miliknya. museum tidak perlu gedung besar & mewah, dihadiri antara lain oleh st. takdir alisyahbana. (sr)

24 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Bandung, 3 Maret yang lalu ada acara pembukaan sebuah museum seni rupa. Itu museum pribadi pelukis Popo Iskandar (56 tahun), yang juga dosen IKIP Bandung jurusan Seni Rupa dan anggota Akademi Jakarta. Tapi jangan heran kalau yang disebut museum itu hanya berukuran 150 mÿFD pada sebidang tanah 600 mÿFD -- lebih sempit dari Ruang Pameran TIM atau Balai Budaya di Jakarta. Hanya saja semangat yang melandasi berdirinya museum itu tidak kecil. "Pembinaan dan perkembangan seni budaya tidak hanya menyangkut seniman, budayawan atau seni budayanya saja," kata Popo kepada Hasan Syukur dari TEMPO. "Yang tidak kurang pentingnya ialah segi sosialnya." Dengan menekankan aspek sosial, maka Popo mendobrak gambaran yang biasaya menyertai kata 'museum' itu: sebuah gedung besar dan mewah yang berisi koleksi banyak karya. Museum tidak harus begitu. Dan berdirilah museum Popo yang kini baru bisa diisi 30 lukisan -- target Popo nanti sekitar 60 lukisan. Ternyata ide Popo muncul setelah melihat contoh. Popo mengunjungi Museum Bateau Lavoir, di Paris. Dan museum yang terkenal itu (bekas studio pelukis Picasso dan Braque) memang sederhana saja, meskipun cukup luas. Maka muncullah ide di tahun 1976 itu -- yang mendorongnya mencari cara-cara efisien untuk mewujudkannya. Alhamdulillah setelah tiga tahun akhirnya terwujud: museum itu berdiri di dekat rumahnya, masih dalam lingkungan kampus IKIP Bandung. Semua biaya keluar dari saku Popo sendiri, dan hitung-hitung sampai pembukaan kemarin sudah Rp 9 juta. Usaha Popo lantas banyak mengundang simpati. Walikota Bandung Husen Wangsaatmadja menyatakan bersedia menjadi pelindung. Dari Jakarta beberapa sahabat Popo memerlukan hadir dalam pembukaan: Mochtar Lubis, Rusli, Nashar, Sutan Takdir Alisjahbana. Benar, museum ini bukan museum pribadi yang pertama. Di Yogya sudah ada museum Affandi. Tapi memang ada yang unik dari museum Popo. Ruang tersebut tak hanya digunakan untuk menggantung lukisan, tapi direncanakan juga kadang digunakan untuk berkarya Harapan Popo "dengan begitu akan teriadi keakraban dengan masyarakat. Juga menarik tidak hanya karya Popo saja yang digantung di museumnya. Ia pun mengharap bahwa sesuatu karya pelukis lain, kalau pelukisnya setuju-dan tentu juga kalau Popo setuju -- bisa nanti ditukar dengan lukisan Popo sendiri. Lalu dipasang di situ. Yang belum dikatakan Popo ialah bagaimana dia menyeleksi karyanya sendiri untuk museumnya. Apakah sekedar karya yang dianggap baik, atau misalnya karya yang menandai awal perubahan gayanya. Balai Seni Rupa Jakarta misalnya, menurut direkturnya, Sudarmadji, membeli kedua jenis tersebut. Tapi Popo tentunya sudah berfikir tentang karya-karyanya sendiri, terutama. Kalau misalnya semua seniman penting membuat museum sendiri-sendiri, itu saja sudah bukan main -- walaupun kecil saja. Lebih-lebih karena hal ini merupakan satu pemecahan. Seperti dikakatakan Mochtar Lubis: "Kalau menunggu sebuah museum yang megah, kapan kita akan punya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus