Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Improvisasi Sekawanan Wayang

Baru enam bulan terbentuk, Shadow Puppets mampu menghadirkan belasan komposisi jazz yang cukup kaya akan warna. Muda, energetik, dan menghibur.

12 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Panggung masih sedikit gelap ketika kode ketukan drum berbunyi. Begitu layar terbuka penuh dan lampu menyala, terlihatlah mereka, para personel Shadow Puppets. Satu perempuan dan tiga laki-laki. Yang pria bersetelan jas lengkap dengan dasi, dan si perempuan dengan sack dress hitam. Seolah tak memberikan kesempatan penonton di Teater Salihara menikmati kemudaan fisik mereka, empat musisi jazz itu mulai menggebrak.

Rentetan pukulan snare drum Yusuf Shandy Satya yang berhenti sesa at langsung disambut nada-nada riang hasil petikan gitar Robert Mulyarahardja. Permainan kontrabas Indrawan Tjhin dan piano Irsa Destiwi pun langsung mengambil tempat. Mereka memainkan Pete’s Tune dengan cukup cepat dan semarak.

Belum semenit, Indra langsung me nyajikan permainan solo. Lulus an Koninklijk Conservatorium of the Hague, Belanda, ini membetot dawai dengan keras dan cepat, menghadirkan rangkaian nada rendah dan berat yang terus berjalan.

Setelah itu, bergantian gitar dan piano menjadi lead. Menghadirkan aroma bebop nan lugas. Drum pun beberapa kali bermain sendirian, pemain lain memberikan sedikit rhythm, sebelum sedikit mengentak menjelang akhir lagu. Shadow Puppets mampu membuka pertunjukan Sabtu dua pekan lalu itu dengan energi yang menular ke sekitar 100 penonton. Antusiasme terwujud melalui tepuk tangan beberapa kali meski lagu belum selesai.

Lagu kedua, Errands to Run, tak kalah ceria. Dibuka dengan sedikit gaya piano klasik dan permainan sederhana drum, gaya swing cukup terasa pada lagu ini. Hitungan rhythm yang digunakan tak biasa, 5/4 dan kemudian berganti menjadi 9/4. Toh, perubahan hitungan yang tak mudah itu mudah saja dilahap seperti tanpa kesukaran, dan menghasilkan harmonisasi yang menarik.

Permainan solo Irsa dilanjutkan dengan gitar solo Robert. Lulusan Berklee College of Music ini merangkai nada-nada yang tak rumit tapi hangat di ku ping dengan gitar Epiphone Sheraton II. Di tengah lagu, beberapa kali tiga per sonel diam dan memberikan kesempatan Shandy tampil solo beberapa detik dengan stik kuasnya. Nyaring dan kaya akan variasi pukulan.

Melihat penampilan Shadow Puppets, agak sulit dipercaya mereka baru terbentuk enam bulan terakhir. Shandy bercerita, pertemuan mereka bermula dari workshop di Goethe Haus akhir tahun lalu. Setelah itu, mereka bertemu kembali dan rutin latihan satu kali sepekan. ”Pertama kali latihan langsung klop,” Irsa menambahkan. Nama Shadow Puppets, yang berarti wayang kulit, dipilih untuk tak meninggalkan tapi juga mengglobalkan keindonesiaan mereka.

Mereka masih lajang dan muda. Tertua Indra, 30 tahun, dan termuda Shandy, 23 tahun. Semua personel menciptakan komposisi. Sudah belasan lagu mereka hasilkan, empat di antaranya masuk dalam album pertama. Komposisi mereka terasa hangat dan mudah diterima, bahkan bagi yang baru pertama kali mendengar. Mereka menggabungkan berbagai elemen jazz, mulai bebop hingga swing, dan elemen lain seperti bossanova dan klasik.

Malam itu, mereka memainkan 11 lagu dalam dua sesi. Setelah rehat pun penampilan Shadow Puppets tak menurun, seolah energi mereka tak ada habisnya. Teknik individu tiap personelnya bisa saling melengkapi dan padu. Bergantian mereka menjadi lead dan memberikan ruang bagi pemain lain untuk berimprovisasi.

Indra beberapa kali mengganti petikan jarinya dengan gesekan bow, seperti dalam Those Five Days. Ia mampu memainkan melodi tanpa menghilangkan kewajibannya sebagai pemberi tekanan dan pengiring. Irsa menunjukkan gaya klasik yang telah ditekuni nya sejak usia empat tahun. Berkali-kali ia dengan manis menyajikan melodi sederhana dengan interval yang dekat dengan rhythm. Robert, dengan kecepat annya, menghasilkan nada-nada yang tak monoton, hanya menggunakan efek delay dan chorus. Kadang melengking tinggi, kadang mengalir dari fret rendah ke tinggi atau sebaliknya.

Penampilan Shandy juga mengesankan meski menggunakan drum set yang hanya terdiri atas satu snare, floor tom, hi tom, bas, hi-hat, dan dua simbal. Suara bas drum yang lambat bisa berubah bertalu seperti lagu-lagu diskotek—tanpa mengurangi rasa jazz—dengan pukulan tambahan pada pinggiran snare dan tom, seperti dalam The Pattern Improves.

Improvisasi empat anak muda itu cukup impresif. Penonton terhibur. Mereka kembali ke tempat duduk setelah istirahat 15 menit, meski saat itu ada hiburan lain yang diputar di sisi lain Salihara, pertandingan Piala Dunia antara Jerman dan Argentina. Komposer Tony Prabowo pun memuji penampilan mereka. ”Luar biasa untuk usia mereka,” katanya.

Pramono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus